Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Diary

First Love Never Dies

14 Juni 2024   05:17 Diperbarui: 14 Juni 2024   06:36 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Setelah mengucapkan terima kasih kepada guru penolongku, aku hampiri Mas Yustinus  dan otomatis meluncur dari mulutku kemarahan yang tak kalah seru. 

Aku berteriak lantang, "Ok, Mas. Jika ada lelaki, yang membawakanku sepeda motor enreiyen, aku bersedia jadi isterinya, tak peduli itu siapa!" 

Aku benar-benar naik pitam karena jelas aku tidak punya uang, dan uangku sudah kubayarkan di warung untuk membayar utang makan dia.

Marah sampai ubun-ubun rasanya! Yah, uangku habis gegara membayar SPP semester ganjil untuknya ditambah membayar utang warungnya. Mengapa dia tega menyebutku wanita bensin, coba?

Sejak saat itu hubungan kami renggang. Apalagi kulihat dan kuketahui kalau dia pun mulai bermain api dengan adik kelas dan mengatakan  aku ini bukan pacarnya, melainkan saudaranya. Sekalian mundur, pikirku. Daripada orang tua, khususnya ibunya, tidak menyetujui dan bersikap kurang baik padaku, mending aku mundur teratur. Meskipun mencintainya, jika ibunya tidak menyetujui hubungan kami, lebih baik menyudahinya! Demikian kata hatiku.

Sebulan kemudian. Karena liburan semester, aku pun pulang ke desa. Tiga hari di desa, tiba-tiba ada tamu yang membawakan sepeda motor baru untuk melamarku. Aku tidak mengenalnya dengan baik. Hanya saja, dia mendengar langsung teriak marahku beberapa saat lalu ketika Mas Yustinus  mengataiku wanita bensin. Makanya, dia membawakan sepeda motor gres untuk melamarku.

Aku kaget setengah mati, karena tidak pernah terpikir kalau ada orang yang mendengar, menanggapi, dan benar-benar melamarku dengan mas kawin seperti itu. Padahal, jujur, aku marah tak terkontrol saja!

Kakek nenek yang berlaku sebagai orang tuaku pun terheran-heran dengan kisahku.

"Salahmu sendiri. Mulutmu sudah mengucapkan, maka kamu harus menerima lamaran ini! Makanya, hati-hati dengan mulutmu!" kata mereka. "Ini sayembara buatanmu sendiri, kan? Jadi  kamu harus bertanggung jawab! Tinggalkan cinta monyetmu! Terima pinangan itu!"

Dan, ah ... ya benar! Apa pun yang pernah kuucapkan dari mulutku selalu kuperoleh seperti itu. Beberapa kali terjadi! Misalnya saja, saat kecil aku mengatakan jika besar ingin tinggal di kota ini. Aku pingin punya ini itu, begini begitu. Semua yang pernah kuutarakan itu dikabulkan-Nya! Termasuk jika aku menikah ingin dengan anak tunggal! Ya, terjadi seperti itu!

Orang yang membawakanku sepeda motor itu sering melihatku, tetapi tidak mengenalku langsung. Dia teman dari teman indekosku. Ke indekosku pun sebenarnya bertujuan untuk mencari temanku itu karena mesin ketik manual beliau dipinjam dan digadaikan temanku. Maklum, teman indekosku itu ambil satu kamar untuk pasutri, sudah berkeluarga, punya satu balita, bahkan istrinya sedang hamil anak kedua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun