"Kalau serius, kami mau melamarkan untukmu. Sekalian kami juga kangen keluarga di Jawa. Bagaimana? Setuju, ya? Sebelum kedahuluan orang lain!" kata iparku terbahak.
Jujur aku salah tingkah, tetapi bahagia sekali.
"Kadek ini sebenarnya nggak perlu bekerja keras juga. 'Kan warisan dari almarhum orang tua sudah turun, toh?" tanya iparku.
"Kadek maunya belajar dari nol sih, Pak Bos. Kalau ada warisan, nanti sekalian untuk melanjutkan usaha yang kurintis ... usaha setelah kami menikah. Rencana sih seabreg, tetapi  nomor satu tentang pasangan hidup. Semalam berpikir bahwa saya harus mencari pendamping hidup, mencari tulang rusuk, eh ... hari ini Tuhan kirim seorang bidadari," cerocosnya.
Aku kagum akan pernyataan cintanya yang terang-terangan itu. Jujur ini sangat menyentuh dan menggetarkan hati. Aku benar-benar dibuatnya salah tingkah. Apakah ini jawaban dari doa-doaku? Aku benar-benar kelu.
"Aku mau jujur dan terus terang. Kalau diterima, janji, aku nggak akan menyia-nyiakan!" tegasnya.
"Nah, bagaimana? Lanjut lamaran ke Jawa, ya? Setuju?" tegas kakakku.
"Gimana? Kita segera ke Jawa kalau kamu mau. Sebelum Kadek berubah pikiran, loh!" desak iparku.
"Kesempatan itu nggak datang dua kali, loh Dik!" jelas kakakku. "Jangan khawatir, kalau Kadek macam-macam, badik di dapur Kakak siap beraksi!" tantangnya.
"Waduh ... waduh ... ha ha ha ... cintaku tulus. Cinta pada pandangan pertama yang tak akan pernah sirna!" katanya lantang.
"Ini ... kok nembak nggak ada mesra-mesranya sih, ya ... hihihi," aku terkekeh melihat ulahnya.
Kendaraan diberhentikan di dekat pasar.