Jampi Matori
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Pada masa itu belum ada klinik, puskesmas, apalagi rumah sakit di daerah pedesaan seperti tempat kami. Dokter? Sangat langka. Kalaulah ada bidan desa hanya seorang se-kecamatan. Itu pun sudah sangat sepuh. Bu Yuram namanya. Sementara mantri kesehatan ada, tetapi rumahnya sangat jauh sekitar 6 km. Nah, karena itu masyarakat terbiasa mengonsumsi jejamuan.
Ada lapak penjual jamu di dalam Pasar Kliwon yang sangat terkenal dan ramai pembeli. Apalagi kalau hari pasaran Kliwon, jangan tanya ramainya. Bahkan ada hiburan murah semacam sulap dan bakul jamu menampilkan badut. Pada saat hari pasaran itu, masyarakat dari daerah pegunungan seperti Srabah, bahkan naik lagi hingga Pagerwojo pun rela turun ke pasar. Tujuan mereka selain untuk berjualan hasil bumi, juga membeli jamu racikan. Jamu yang terkenal cespleng bagi konsumen.
Demikianlah tidak ada seorang pun yang tidak kenal dengan Pak Matori, si pedagang jamu. Konon keterampilannya diperoleh secara turun-temurun sehingga orang percaya akan kualitas keampuhan dan kemanjurannya. Bentuknya bubuk racik, tetapi belum ada selontong kapsul seperti zaman canggih sekarang ini. Jadi, mau tak mau penikmat harus bersedia menelan pahitnya.
Setelah minum ramuan pahit itu, biasanya diberi gejah9 agar tidak merasakan kepahitan. Gejah terbuat dari pupus daun asam jawa. Daun pupus muda itu dikenal dengan istilah sinom. Jika direbus, ditambahkan gula merah, diminum hangat-hangat memang sangat oke. Kadang juga diberi permen bersalut gula rasa minyak kayu putih. Maksudnya, agar rasa pahit di lidah segera luntur.
Kalau layanan untuk anak-anak, biasanya diberi yang rasanya enak. Anak-anak umumnya sangat menyukai beras kencur dan kunyit madu. Itu sungguh sangat enak rasanya.
"Ndhuk, cepet Bapak tukokno jamu neng nggone Matori!" teriak Kakek menyuruh Nindi membelikan jamu.
Nindi baru saja sampai di rumah dan sedang menyandarkan sepeda jengkinya di dekat dinding kamar indekos. Mendengar teriakan itu, ia langsung bereaksi.
"Mana duitnya?" sambil bergegas mendekati kakek meminta dana.
Tanpa pikir panjang, Nindi mengambil kembali sepedanya bersegera menuju Pasar Kliwon tempat penjual jamu racik berdagang.