Walau belum melihat sendiri cumplung itu, aku pun segera ikut-ikutan berlari pulang. Bahkan, karena ketakutan bukan hanya terkencing-kencing, melainkan sandal jepit pun ikut protes. Ya, sandal yang kupakai itu putus karena terantuk batu nisan sehingga aku harus pulang bertelanjang kaki.
Karena sempat membetulkan tali sandal, tentu saja aku tertinggal lumayan jauh dari teman-teman lain. Merebak pulalah tangis kami masing-masing. Berteriak, menjerit-jerit, menghebohkan sesiapa yang mendengar di sepanjang perjalanan pulang kami.
Beberapa orang anggota masyarakat segera mengecek kebenaran berita yang kami siar sebarkan mendadak. Hampir semua orang memarahi karena kami bermain-main di area makam desa.
"Anak aneh! Mengapa kalian bermain-main di kuburan, hah?"
"Se-se-sebenarnya ... ka-kami mau cari daun dan bunga kamboja buat tugas sekolah!" Yatini anak penjual soto ayam itu terbata-bata menjawab Pak Bayan, salah seorang perangkat desa.
"Benar begitu, Nin?" interogasi Pak Carik kepadaku.
"I-iya. Mau bikin herbarium!"
"Kalian sudah dapat? Mana?"
Aku menggeleng. Karena ketakutan, daun dan mahkota bunga kamboja itu entah tercecer di mana. Padahal, besok harus dikumpulkan.
"Masih mau mencari? Kalau masih berani, berangkat sana sendiri!" Pak Bayan menyuruh kami kembali ke makam sambil menunjuk arah makam.
Tentu saja tak satu pun kami yang berani ikut ke makam.