Bias Bianglala Senja (Part 4)
Aku tersenyum mengangguk. Dengan terbata-bata ia berkata, "Aku berjanji akan setia dan mempersiapkan masa depan dengan lebih bersemangat!" sambil mengambil kedua telapak tanganku untuk dibawa ke dadanya.
"Terima kasih, Mbak!" lalu diciumnya kedua punggung tanganku. Â
Aku tersenyum bahagia. Ada getar yang tak dapat kutahan, "Mulai saat ini jangan pernah ubah panggilanmu padaku, ya Mas ...'Mbak' ... !" kataku manja. Dia tersenyum malu.
Rupanya, hujan pun telah reda. Kulihat  ada selembar pelangi di langit tenggara. Aku turun sejenak menikmati udara sore berpelangi indah.
"Hmm, di balik hujan ada pelangi, 'kan?" kata Prima lembut.
"Iya, tapi aku lebih suka menyebutnya bianglala!" tukasku.
"Ha? Bianglala, ya? Seperti wahana permainan, ya? Semacam  roler coaster?" sorot netra jenaka menyelidik retinaku. Ada damai yang kurasa.
"Iya, bias bianglala ... indah. Bias bianglala menjelang senja! Padahal, tadi sepertinya hujan tak kunjung reda!" sambil kutatap betapa indah pelangi di langit tenggara itu.
Kami pun menikmati panorama yang langka di lazuardi merangkak senja. Sebenarnya, tidak langka, sih ... hanya kami yang tak sempat melihatnya karena bertumpuk aktivitas saja. Maka, ketika berdua menikmati, serasa alam pun bersukaria karena kami sudah resmi 'jadian'. Ya, dapat dikatakan bahwa kini, tepatnya beberapa menit lalu, kami resmi menjadi sepasang kekasih. Direngkuhnya pundakku mesra sehingga siapa pun yang melihat ikut tersenyum bahagia. Â
"Maaf ...," senyumnya mengembang sebelum merengkuhku dalam pelukannya.
"Maaf, Mbak ... aku belum pernah berpacaran. Kalau kurang mesra, ajarin ya," bisiknya. Aku gemas dan kugelitiklah pinggang rampingnya. Tentu saja dia menggelinjang kegelian!
Sementara, matahari sudah kian tergelincir ke ufuk tenggara hendak menuju peraduannya. Tak lama kemudian, semburat jingga swastamita pun memulai tugasnya. Kian merona dengan pesona indah menggantikan pelangi saptawarna. Â
Beberapa saat kemudian, langit senja benar-benar pamerkan swastamita jingga.indah menyilaukan netra. Seolah ikut bergembira karena kami memulai memadu cinta. Warna mewah merona menyemburat di lazuardi tenggara pun menerpa wajah kami berdua.
Cinta kami pun terpancar dengan indahnya. Pelangi alias bianglala pun memudar semakin menghilang berganti jingga semata. Jadilah nuansa jingga mendominasi senja, sama dengan tanah yang kami pijak. Ternyata, kami berada di bawah pohon flamboyant yang sedang pamer mahkota jingga pula. Berguguranlah mahkota jingga itu membentuk permadani jingga. Nah, serba jingga melingkupi diri kami. Pada  sore jingga itulah kami pulang dengan sejuta rasa!
 "Nah, Tuhan mampu membolak-balikkan keadaan, bukan?" suara lembut Prima menyentil telapak tangan kananku lembut. Aku tersipu. Mungkin bagai buah tomat masak rona raut mukaku kala itu!  Atau bak lobster rebus? Entahlah! Yang jelas berada di dekatnya membuatku begitu nyaman.
***
Seminggu  kemudian, Prima dipanggil tes di salah satu kantor bank ternama. Tes tersebut akan berlanjut sekitar sepuluh kali. Karena itu, dia datang kepada Ayah dan Ibu. Katanya sebagai pengganti orang tuanya. Dia  datang untuk memohon izin dan sekalian restu agar semuanya berjalan lancar.
Tes demi tes diikutinya dengan sabar dan tetap bertekun dalam berdoa. Beberapa  bulan kemudian, setelah mengikuti serangkaian tes, Prima dipanggil dan diterima sebagai karyawan bank ternama di ibu kota. Sebelum melaksanakan tugas, sekali lagi dia datang kepada kedua orang tuaku untuk memohon restu, sekaligus mengemukakan keinginan hendak mempersuntingku setelah persiapannya matang.
Orang tua kami menyerahkan semuanya kepadaku. Ketika aku mengangguk, dia pun mendatangi tempat dudukku. Sambil berjongkok di depan lututku, dia mengatakan, "Aku berjanji akan mempersiapkan masa depan kita. Aku juga berjanji di hadapan kedua orang tua kita bahwa aku berniat membahagiakanmu! Berjanjilah padaku untuk setia menungguku!" aku mengangguk tanpa menjawab sambil berurai air mata.
Selanjutnya dia datang pula ke pangkuan kedua orang tuaku untuk meminta doa sambil menitipkan adiknya karena dia merasa tidak mungkin mengawasi dari kejauhan. Orang tuaku menyanggupinya.
Sejak saat itu, atas inisiatif orang tuaku, rumah Prima disewakan dan Pamungkas diminta tinggal bersama kami. Pamungkas yang sudah menduduki bangku sekolah menengah atas menyetujuinya. Apalagi  jarak sekolahnya juga dekat dengan rumah kami sehingga dia tinggal berjalan kaki sekitar satu kilometer saja. Pamungkas tahu bahwa Prima sudah menjadi calon suamiku sehingga di antara kami sudah ada ikatan batin yang kuat.
***
Dua tahun telah berlalu. Aku sudah menyelesaikan kuliahku. Saat wisuda, ternyata Prima beroleh cuti dan bisa menghadiri tanpa memberitahuku sebelumnya. Surprise! Lengkaplah kebahagiaanku.
Kami berfoto ria bersama. Lengkap. Ada kedua orang tuaku, ada Mas Prima yang tetiba hadir, ada juga Pamungkas calon adik ipar yang setia membersamai kami.
Saat wisuda dan berfoto bersama itulah akhirnya aku tahu bahwa ternyata Rianti dan Mas Dewo pun sudah sampai tahap akhir. Mereka berdua akan segera melangsungkan pernikahan.
Maka, aku bersyukur sekali ada Mas Prima, yang ternyata lebih tampan dan lebih mapan daripada Mas Dewo, dan selalu berada di sampingku. Bahkan, sesekali Mas Prima melingkarkan tangan ke pundak atau pinggangku. Memelukku mesra seolah tidak ingin berpisah lagi.
"Selamat ya, Nin. Pacarmu tampan sekali!" bisik Rianti sambil memelukku tatkala terpisah dari Mas Dewo.
Aku hanya tersenyum dan memintanya datang ke rumah untuk merayakan syukuran. Aku juga memperkenalkan Mas Prima kepada Rianti.
"Ini, Mas Prima, calon suami aku!" kataku kepada Rianti, "Dan ini Rianti, teman aku Mas!" kataku kepada Mas Prima saat Rianti terpisah dari Mas Dewo yang sedang berfoto bersama keluarganya.
Setelah wisuda usai, kedua orang tuaku ternyata memprakarsai dan mengacarai kami untuk melangsungkan pernikahan sederhana.Â
Ternyata, diam-diam orang tua telah mendaftarkan pernikahan kami tersebut sehingga benar-benar merupakan surprise bagi kami berdua.
***
 Setahun berikutnya aku tengah menunggu persalinan di sebuah rumah sakit bersalin. Hujan mengguyur bumi sejak semalaman. Ibuku menunggui dengan sabar, sementara Mas Prima masih belum bisa datang. Urusan kantor belum beres dan katanya baru besok bisa memperoleh izin.
Hujan begitu derasnya. Bunyi dentingnya riuh menimpa atap seng beranda belakang rumah sakit itu. Aku sedang berjalan-jalan sambil menunggu pembukaan jalan lahir. Tetiba rasa rindu menyergapku. Aku rindu dan teringat saat Mas Prima menyatakan cintanya di dalam mobil kala itu. Aku rindu sekali. Pria santun yang telah setahun menikahiku dan tiga bulan terakhir harus terpisah dariku ini sungguh membuatku tersanjung bagai seorang ratu. Aku harus rela menahan rindu hanya karena ingin lahiran di kota asal.
Beberapa menit kemudian, paramedis berhamburan karena tetiba seorang pasien baru datang. Semua tergopoh-gopoh mempersiapkan kedatangan pasien yang dirujuk dari rumah sakit lain. Aku  sedang berada di dekat pintu menuju ruang bersalin.Â
Kaget luar biasa kurasakan. Ya, ampun! Pasien itu Rianti ... didorong di brankar dan diantar Mas Dewo!
bersambungÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H