"Maaf, Mbak ... aku belum pernah berpacaran. Kalau kurang mesra, ajarin ya," bisiknya. Aku gemas dan kugelitiklah pinggang rampingnya. Tentu saja dia menggelinjang kegelian!
Sementara, matahari sudah kian tergelincir ke ufuk tenggara hendak menuju peraduannya. Tak lama kemudian, semburat jingga swastamita pun memulai tugasnya. Kian merona dengan pesona indah menggantikan pelangi saptawarna. Â
Beberapa saat kemudian, langit senja benar-benar pamerkan swastamita jingga.indah menyilaukan netra. Seolah ikut bergembira karena kami memulai memadu cinta. Warna mewah merona menyemburat di lazuardi tenggara pun menerpa wajah kami berdua.
Cinta kami pun terpancar dengan indahnya. Pelangi alias bianglala pun memudar semakin menghilang berganti jingga semata. Jadilah nuansa jingga mendominasi senja, sama dengan tanah yang kami pijak. Ternyata, kami berada di bawah pohon flamboyant yang sedang pamer mahkota jingga pula. Berguguranlah mahkota jingga itu membentuk permadani jingga. Nah, serba jingga melingkupi diri kami. Pada  sore jingga itulah kami pulang dengan sejuta rasa!
 "Nah, Tuhan mampu membolak-balikkan keadaan, bukan?" suara lembut Prima menyentil telapak tangan kananku lembut. Aku tersipu. Mungkin bagai buah tomat masak rona raut mukaku kala itu!  Atau bak lobster rebus? Entahlah! Yang jelas berada di dekatnya membuatku begitu nyaman.
***
Seminggu  kemudian, Prima dipanggil tes di salah satu kantor bank ternama. Tes tersebut akan berlanjut sekitar sepuluh kali. Karena itu, dia datang kepada Ayah dan Ibu. Katanya sebagai pengganti orang tuanya. Dia  datang untuk memohon izin dan sekalian restu agar semuanya berjalan lancar.
Tes demi tes diikutinya dengan sabar dan tetap bertekun dalam berdoa. Beberapa  bulan kemudian, setelah mengikuti serangkaian tes, Prima dipanggil dan diterima sebagai karyawan bank ternama di ibu kota. Sebelum melaksanakan tugas, sekali lagi dia datang kepada kedua orang tuaku untuk memohon restu, sekaligus mengemukakan keinginan hendak mempersuntingku setelah persiapannya matang.
Orang tua kami menyerahkan semuanya kepadaku. Ketika aku mengangguk, dia pun mendatangi tempat dudukku. Sambil berjongkok di depan lututku, dia mengatakan, "Aku berjanji akan mempersiapkan masa depan kita. Aku juga berjanji di hadapan kedua orang tua kita bahwa aku berniat membahagiakanmu! Berjanjilah padaku untuk setia menungguku!" aku mengangguk tanpa menjawab sambil berurai air mata.
Selanjutnya dia datang pula ke pangkuan kedua orang tuaku untuk meminta doa sambil menitipkan adiknya karena dia merasa tidak mungkin mengawasi dari kejauhan. Orang tuaku menyanggupinya.
Sejak saat itu, atas inisiatif orang tuaku, rumah Prima disewakan dan Pamungkas diminta tinggal bersama kami. Pamungkas yang sudah menduduki bangku sekolah menengah atas menyetujuinya. Apalagi  jarak sekolahnya juga dekat dengan rumah kami sehingga dia tinggal berjalan kaki sekitar satu kilometer saja. Pamungkas tahu bahwa Prima sudah menjadi calon suamiku sehingga di antara kami sudah ada ikatan batin yang kuat.