Bias Bianglala Senja (Part 2)
Hari pertama kursus, seorang bapak sepuh menjadi instrukturku. Beliau menanyakan alasanku mengikuti kursus. Kukatakan jujur bahwa aku sedang mengalihkan perhatian dari kegalauan. Entahlah aku juga heran mengapa begitu polos dan jujurnya aku menceritakan kondisiku.Â
Bapak itu memahaminya. Lalu beliau mengatakan bahwa untuk menguasai kendaraan, hati kita harus tenang, tidak boleh grogi, dan harus tetap berkonsentrasi. Meskipun hanya satu jam setiap kali pertemuan, tetap saja aku dituntut untuk berkonsentrasi. Tanpa konsentrasi, pelajaran mengendarai kendaraan bermotor apa pun jenisnya akan sangat sulit dilakukan.
Baiklah. Aku justru hendak mengalihkan kesedihan dan kegalauanku. Aku pun berkonsentrasi penuh saat diberi teori dan sekaligus praktik menjalankan kendaraan. Bersyukur, hari pertama aku bisa mengatasinya. Lolos! Sudah mampu menjalankan walau masih gigi persneleng satu. Untuk belajar memang disarankan menggunakan mobil jenis manual, bukan matic.
Saat pulang dari tempat kursus, tanpa sengaja aku melihat Mas Dewo sedang berjalan menuju kampus. Terkejut dan spontan aku berusaha tidak menyapanya. Bahkan, sengaja sepeda motor yang kukendarai kualihkan menuju tempat lain dahulu. Lalu, aku singgah di kantin agar dia berlalu dari penglihatanku.
"Loh, Nin. Tumben sendiri? Mas Dewo mana?" tanya Rianti beruntun. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.
Ya, siapa pun tak boleh tahu kalau aku sudah berniat meninggalkannya. Hubungan kami sudah berakhir dan aku segera ingin bisa move on. Menjauhi dan melupakannya! Itu tekadku. Tentang hubungan kami, biarlah orang tahu dengan sendirinya tanpa aku memberitahu.
"Kau pesan apa, Nin?" tanya Rianti lagi.
"Biasa, gado-gado!"
"Ok. Hari ini aku mentraktirmu!"
"S-serius?" pelototku menyelidik.