Demikian pula ketika dilontarkan pertanyaan tentang jodohku. Pensil itu bergerak menuju huruf yang ada di bawah pensil yang menggantung. Ketika huruf pertama ditunjuk K, para pemain bersorak gembira karena mereka mengira bahwa roh Jaelangkung itu akan menyebut nama tunanganku. Huruf kedua ditunjuk ke arah huruf U, nah sorak pemain pun riuh. Aku masih kebingungan mengapa mbak-mbak indekos mencoba menanyakan jodohku. Ternyata, huruf ketiga yang ditunjuk bukan N, melainkan S. Wah, permainan semakin seru bagi mereka.
Setelah pensil tidak bergerak lagi dan rangkaian huruf mereka baca, ditemukanlah nama Kusaeni bukan Kuntoro. Mereka, terutama aku, sangat heran dan takut. Kami bertanya-tanya siapakah nama yang disebut roh itu. Akan tetapi, karena kuanggap hanya permainan belaka, aku pun segera melupakannya.
Ketika tanda kelulusan sudah kuterima, Mas Kun datang ke rumah mengajakku ke Kediri seperti biasa. Ya, setiap libur semester beliau pasti akan datang dan mengajakku ke rumah ayahnya di Kediri. Sepulang dari Kediri, dan sesampai di rumah, beliau mengatakan bahwa ayahnya meminta agar kami segera menikah karena berpacaran dan bertunangan lebih dari satu tahun itu tidak baik bagi kami.
Saat itu, entah mengapa, tiba-tiba aku meradang karena janjinya aku diizinkan kuliah. Beliau mengatakan bahwa aku tetap diizinkan kuliah, tetapi harus menikah dulu. Aku marah apalagi aku belum siap untuk menikah.
Hubungan kami pun menjadi renggang. Beberapa bulan selanjutnya aku diterima sebagai mahasiswi di IKIP Malang. Aku tidak memberi kabar apa pun. Lalu, menginjak masa tentamen, surat pertamanya datang melalui fakultas. Surat yang terpajang di semacam majalah dinding kampus itu, beruntung kuketahui dan segera kuambil. Di tempat kos surat itu kubaca isinya mengemukakan bahwa sejak saat itu aku tidak perlu lagi memikirkannya. Nah, saking senangnya, langsung cincin pertunangan kujual kubelikan perlengkapan kuliahku.
Semester dua sejak aku merasa resmi tidak memiliki tunangan lagi, aku menerima pernyataan cinta seseorang yang sama-sama berasal dari kotaku. Dia kakak kelasku sejurusan, putra kedua dari tujuh bersaudara. Kelima adiknya masih membutuhkan biaya pendidikan sehingga dia pun harus mencari penghidupan dengan mengajar di sekolah swasta. Bahkan, seringkali beasiswa yang diterima dikirimkan untuk adik-adiknya.
Aku sangat mencintainya. Bucin istilah sekarang, ya. Cinta yang mampu membuatku bertekuk lutut. Namun, setelah beberapa saat berpacaran, kuketahui bahwa kedua orang tua kekasihku ini tidak merestui hubungan kami. Aku pun limbung. Apalagi kulihat kekasihku juga bermain mata di belakangku. Kepada adik tingkat yang elok wajahnya dikatakannya bahwa aku hanya sekadar saudara jauh, bukan kekasihnya. Aku sangat sedih.
Ketika ditanyakan apa bukti cintaku padanya, selalu kujawab dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti membantu membayar SPP-nya karena kebetulan aku juga menerima beasiswa di samping ada dana dari ayah kandungku setiap bulan. Aku juga membelikan kemeja, kaos, dan lain-lain. Kepada adiknya pun selalu kukirimkan beberapa kebutuhan sekolah, seperti buku, tempat pensil, dan sebagainya yang lucu-lucu. Maksudnya sekadar pendekatan agar hubungan kami semakin lancar.
Suatu saat menjelang semester terakhirnya di tingkat doktoral, Â dia meminta agar aku pindah indekos di dekat tempat kosnya agar aku bisa membantunya mencucikan bajunya. Nah, karena aku pun sangat mencintai dan tidak mau kehilangan dia, aku menyetujuinya. Jadilah aku dicarikan tempat indekos yang tidak jauh dari tempat indekosnya.
Saat itu aku sudah berada di semester kelima. Sudah tidak ada lagi mata kuliah yang kuambil karena sudah habis kuambil pada lima semester sebelumnya. Aku tinggal mengikuti PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) selama sekitar satu semester dengan mengajar di suatu sekolah yang ditentukan oleh pihak kampus. Kebetulan aku ditempatkan di luar kota, di SMPN 4 Kepanjen. Jarak antara Malang Kepanjen sekitar dua puluh lima kilometer ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum. Dari tempat indekos bisa kutempuh dengan naik bemo dan lanjut dengan bus arah ke Blitar. Saat itu untuk bus dengan ongkos lima puluh rupiah, sementara bemo seingatku kurang dari itu.
Pagi hari sebelumnya, aku harus membayar uang makan kekasihku di warung sehingga lupa bahwa uangku tidak cukup kugunakan pergi pulang. Yang penting aku sudah bisa sampai di sekolah tempatku mengajar. Ketika hendak pulang, aku menegemukakan kesulitanku kepada guru pamong. Beliau langsung tanggap dan mencari salah seorang guru yang pulang ke Malang dengan mengendarai sepeda motor. Kemudian, beliau menitipkan aku kepada guru yang bersepeda motor tersebut. Bersyukur, aku bisa kembali ke Malang meskipun tanpa ongkos.