Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pertemuan Jodoh

30 Mei 2024   04:58 Diperbarui: 30 Mei 2024   06:58 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

PERTEMUAN JODOH
Ninik Sirtufi Rahayu

Kita tahu bahwa paling tidak manusia memiliki tiga fase dalam kehidupan, yakni lahir, menikah, dan meninggal. Sebagai manusia awam, tentu kita tidak dapat mengetahui dengan pasti bagaimana cara lahir kita, bagaimana cara kita menemukan jodoh, dan bagaimana pula kelak ketika kita meninggal. Kita pun tidak pernah mengetahui siapa yang akan menjadi orang tua kita dan siapa pula jodoh kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah berserah kepada Sang Sutradara Agung: semua merupakan kehendak-Nya semata!

Demikian pulalah yang terjadi padaku. Aku tidak pernah mengetahui siapakah jodohku. Pernah memang, saat aku duduk di kelas dua SPG (Sekolah Pendidikan Guru) beberapa anak indekos yang tinggal di rumah kami bermain Jaelangkung. Tahu, kan? Permainan itu berbahaya sebenarnya karena mengundang roh-roh orang yang sudah meninggal untuk menjawab beberapa pertanyaan dari para pemain. Entah bagaimana, aku diminta masuk kamar dan dikunci dari dalam. Beberapa mbak indekos berkerumun di ranjang. Di atasnya ada semacam alat dan mereka tertawa-tawa mendengar jawaban roh yang hadir berupa tulisan dengan menggabungkan huruf yang ditunjuk.  

Saat itu aku sudah bertunangan dengan teman dari salah seorang guru SPG-ku. Kami bertemu saat aku membantu salah seorang teman untuk ikut membuat dekorasi janur kuning. Di situlah teman-teman pengantin pria, guru biologiku, menghadiri pernikahan tersebut. Salah seorang di antara teman guruku itu, menginginkan aku untuk menjadi istrinya.

Beberapa waktu setelah pernikahan guruku itu, guruku mengatakan bahwa ada surat untukku. Ternyata, surat itu adalah surat cinta dari salah satu temannya. Selanjutnya, aku dipanggil oleh guruku dan ditanyai macam-macam. Seminggu setelah itu, teman guruku datang ke rumah bersama guruku. Di hadapan guruku itulah temannya itu memintaku kepada kakek nenek. Ya, aku tinggal bersama kakek nenekku sejak bayi merah.

Anehnya, tanpa bertanya bagaimana perasaanku, kakek nenek menyetujui permohonannya. Begitu gerak cepat, bulan berikutnya orang tua dan keluarganya datang untuk meresmikan pertunangan kami.

Sejujurnya, aku juga kurang menyukai pertunangan itu. Apalagi teman guru SPG-ku itu tentu saja terpaut jauh denganku: delapan tahun! Kupikir, aku masih terlalu muda. Perihal perjodohan itu diterima oleh kakek nenekku hanya karena masalah biaya hidup. 

Kakek nenek hanya mengandalkan gaji pensiunan dan hasil indekosan saja. Jadi, karena biayalah mereka menerima lamaran itu. Kakek nenek merasa sudah tidak memiliki biaya untuk hidupku dan biaya yang kuminta untuk rencanaku kuliah selulus sekolah. Kedua beliau sudah merasa angkat tangan. Kakek nenek mengemukakan hal itu, sementara pihak mereka menyetujui untuk memberikan kesempatan padaku melanjutkan kuliah. Maka, dengan terpaksa aku menerima pertunangan itu, tetapi sekali lagi hatiku menolaknya!

Nama tunanganku itu sebut saja Kuntoro, seorang mahasiswa doktoral dan asisten dosen di IKIP Surabaya. Tubuhnya tinggi semampai dengan tinggi badan sekitar 180 cm, sementara aku hanya 151 cm saja. Ketika kami berdiri bersisian, aku hanya sebatas pundaknya saja. Kemudian, mohon maaf, wajahnya dipenuhi jerawat besar yang memerah. Inilah pula barangkali yang menyebabkan hatiku menolaknya. Kupikir saat itu aku masih sangat idealis. Aku ingin pasangan yang setidaknya serasi denganku.

Pada permainan Jaelangkung yang diselenggarakan oleh beberapa anak indekos di salah satu kamar indekos kami, para pemain menanyakan siapakah jodoh kami. Alat permainan itu adalah kayu yang dibuat sedemikian rupa, dengan kaki dan bagian atas bulat dan dapat diputar. Sebuah  pensil diikat menggantung pada alat tersebut. Alat itu diletakkan di atas kertas berbentuk lingkaran sebagaimana alas jam dinding. Angka jam dinding tersebut diganti dengan susunan huruf A hingga Z.

Ketika roh, entah roh siapa yang datang, itu ditanya siapa namanya, pensil akan bergerak menuju huruf dan akan bisa dibaca setelah huruf itu dicatat oleh para pemain. Roh itu menyebut bahwa dirinya dari etnis Tionghoa, meninggal karena kecelakaan. Setelah ditanya apakah berkenan menjelaskan beberapa pertanyaan, menjawab bersedia, ditanyakanlah jodoh masing-masing kami. Roh yang datang itu akan menunjukkan huruf dengan menggerakkan pensil ke arah huruf di bawahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun