Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yati Gembrot

28 Mei 2024   14:26 Diperbarui: 28 Mei 2024   15:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat di sekolah menengah pertama ini, aku mendapat julukan baru. Akan tetapi, tidak untuk bermaksud mengolok-olok. Guru sejarah kami membahas tokoh yang bernama Sun Yat Sen. Beliau menceritakan bahwa mantan Presiden Tiongkok ini luar biasa, maka dimintanya aku juga menjadi sosok yang luar biasa.


Entahlah apa beliau mengetahui masa laluku saat di sekolah dasar, aku tidak tahu. Akan tetapi, dimintanya aku menjadi  matahari yang selalu bersinar menyinari bumi dan dipanggillah aku sebagai Sun Yat Sen di kelas kami. Sun shine every day!  


Sungguh, tiga tahun tidak terasa karena setiap hari selalu manis yang kurasakan. Aku pun lulus dengan predikat bagus, bahkan menduduki peringkat lulusan terbaik. Bersyukur, karena prestasi tersebut, aku memperoleh undangan untuk masuk sekolah menengah atas berbeasiswa yang berada di kota. Aku bertekad menunjukkan kepada ayah bahwa aku mengerti dan melakukan apa yang menjadi nasihatnya saat itu.


***
Hingga kini aku tak malu menyandang nama Yatini yang biasa dipanggil Yati Gembrot oleh teman-teman sebaya dan sepermainanku. Bahkan, aku sering meminta teman-teman baruku untuk memanggil seperti itu.


"Nggak mau ah, terasa ndeso!" ujar temanku.


"Tak apa, justru rasa ndeso itu yang mengingatkan aku agar selalu rendah hati!" sahutku sambil menikmati es teh lemon yang menyisakan kulacino di meja kaca bundar di hadapan kami.


"Kamu masih tidak suka kopi kapucinokah?" tanya teman minumku siang ini di kafe ketika istirahat siang di kantor.


Ya, aku kini telah menjadi seseorang yang dianggap pantas pegang kendali di suatu kantor. Penampilanku juga sudah tidak ndeso amat karena bagaimana pun aku harus menghargai kantorku, atasan langsungku, dan beberapa tamu yang memerlukan jasaku. Tidak berdandan menor, tetapi sukup sederhana dan menampilkan kesan berwibawa saja.


"Nggak ... lebih segar ini!" jawabku sambil mengangsurkan es teh lemon yang tinggal seperempat gelas. Sekali lagi geseran kulacino pun mencetak gambar abstrak di meja itu.


Kini badanku sudah langsing tidak lagi seperti gajah. Ingat gajah, senyum pun tersungging di bibirku. "Pasti teman-teman pangling kalau bertemu aku lagi," senandikaku mengagetkan kawan di kursi sebelah.


"Barusan kamu ngomong apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun