Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Damar Derana (Part 19)

23 Mei 2024   15:48 Diperbarui: 23 Mei 2024   16:03 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Damar Derana Part 19

"Sebentar, Nak Sayang ... tunggulah  sebentar lagi, ya ... !" kata Vivi sambil tetap melaksanakan tugas sebagai seorang istri  piawai dalam membahagiakan suami. Prasojo bangga. Kini Vivi semakin luar biasa. Hal yang tidak pernah dirasakan ketika Prasojo bersama Nadya.

Vivi yang masih sangat belia ini ternyata  justru lebih mahir membuatnya knock out. Ada saja yang dilakukan sehingga hal itu selalu membuatnya ketagihan bahkan kecanduan. Vivi  tidak pernah mengelak atau menolak kapan pun Prasojo membutuhkan pelayanan yang satu itu. Luar biasa. Inilah yang membuat tidak mampu melepaskan barang sedetik pun! Cinta Prasojo telah terpatri mati.  

Prasojo tidak tahu kalau Vivi selalu mencari tahu lewat internet bagaimana teknik menaklukkan hati suami. Ini dilakukannya agar dia tidak disingkirkan seandainya Prasojo hanya menginginkan anak darinya. Vivi tidak mau diceraikan! Karena itu dia giat mengubah diri menjadi istri idaman. Dia juga tidak mau mamanya menyuruh kembali bersekolah dan hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan anak saja. Vivi ingin mempertahankan rumah tangganya. Selain karena sangat mencintai Prasojo, ia juga ingin membuktikan bahwa perbedaan usia bukan halangan untuk menjadi bahagia.

Meskipun bersekolah dan berkuliah tinggi, tidak memperoleh suami setampan,  sebaik, dan semapan Prasojo, menurut Vivi percuma saja. Maka, senyampang ia telah dipilih oleh Prasojo untuk menjadi istri, merasa dicintai dengan seluruh jiwa raga, ia akan membalas cinta itu dengan sekuat tenaga.

Orang tua Prasojo juga sangat menyayanginya. Mereka sangat senang memperoleh seorang cucu yang cantik  sehingga seluruh keluarga itu mendukung pernikahannya tetap dipertahankan. Menurut mereka, jika Vivi bisa membuat Prasojo bertekuk lutut, pasti Nadya akan mundur secara teratur. Dan itu benar, 'kan?

Sejak Pravitasari hadir, dengan berbagai alasan mamanya itu tidak lagi mau menjenguk. Ini artinya apa? Bukankah mamanya telah mundur? Inilah pula yang membuat Vivi harus tetap bersemangat mempertahankan keharmonisan rumah tangganya.

"Paaa ... !" ujarnya manja.

"Hmmm ...  ada apa, Sayang?"

"Papa merasa bahagiakah hidup dengan Vivi?"

"Iya, Sayang. Papa bahagia banget. Papa sudah menjadi seorang ayah bagi putri kita yang secantik mamanya ini, lalu mama pun aduhai pokoknya!" bisik Prasojo sambil memperlakukan sang istri semanis mungkin. Istri yang tampak semakin jelita di netra.
 
"Aaahhh ... jangan cuma membuat Vivi besar kepala, dong, Pa," rajuk Vivi manja.

"Enggaklah. Papa bilang sejujurnya. Bahkan, teman-teman Papa di kantor bilang ...,"

"Bilang bagaimana?"

"Papa tampak makin fresh dan lebih muda!"

"Wow, iyakah?"

"Iya! Apalagi ...,"

"Apa?"

"Selalu mendapat jamuan istimewa baik di meja makan maupun di kamar tidur!"

"Hehe ... Papa bisa aja!"

"Bener, kok. Jujur!"

"Hmm ... waaahh ... bagaimana kalau  membuat Vivi kangen, nih? Rayuan Papa selangit soalnya!"

"Jangan khawatir. Papa masih punya cadangan tenaga, kok! Mau sekarang? Mau lagi?" tantangnya.

Vivi tertawa, "Ahh, ... enggak. Simpan saja buat besok pagi, bagaimana?"

"Boleh. Kapan pun kamu minta, pasti akan Papa berikan. Bukankah hanya milikmu seorang, Cantik?"

"He he he ... iya sih. Ehh, ngomong-ngomong, sejak kita melakukan yang pertama kali dulu, maaf ... apakah Papa melakukannya dengan Mama juga? Ehh, ... maaf!" kata Vivi sambil menggelendot manja.

Prasojo menggeleng pelan. "Entahlah, sejak bersamamu dulu Papa sudah tidak berselera dengan siapa pun. Apalagi kegiatan mamamu seperti itu. Papa juga lupa tidak memberikan nafkah batin kepadanya. 'Kan sudah ada kamu? 'Kan sejak saat itu kita selalu melakukannya tanpa jeda? Jadi, Papa merasa kebutuhan sudah tercukupi. Tidak tega juga melihat mamamu yang kelelahan saat itu!" kata Prasojo sambil menerawang.

"Kenapa kok tiba-tiba kautanyakan itu? Cemburu, apa gimana?" selorohnya.

"Hehe .... Iya. Vivi akui, cemburu banget. Takut Papa meninggalkan Vivi karena tidak mungkin Vivi bisa dengan orang lain kan? Vivi sudah berubah status. Kalaupun menikah, harus dengan Papa. Tidak boleh tidak!"

"Hmm, ... gitu, ya?"

"Emangnya ... apa yang ada di pikiran Papa saat itu? Apakah Vivi hanya akan dimanfaatkan sebagai pabrik pencetak anak karena kalian belum dikaruniai anak?"

"Nggak pernah terpikir seperti itu, Sayang! Yang Papa lakukan spontan dan murni atas nama cinta, kok! Nggak sampai sejauh itu. Nggak pernah terlintas juga kalau Vivi bakal hamil!"

"Hmmm ... Vivi juga. Rasanya saat itu happy banget. Dan itu sudah sangat cukup!"

"Nah, betul. Makanya, cukup kaget juga saat mendengar Vivi hamil. Sekaligus bangga dan bahagia! Tanpa melihat bagaimana perasaan mamamu!"

"Hmmm ... iya. Jadi, peristiwa itu kayaknya sudah hampir setahunan ya, Pa?"

"Hmm iya, ... !"

"Bagaimana kabar Mama, ya Pa?"

"Entahlah. Nomor Papa diblokirnya. Ketika Papa samperin ke kantornya, selalu tidak berhasil ditemui. Sejak kelahiran putri kita, entah mamamu ke mana. Di rumah lama juga jarang disinggahinya!" kata Prasojo lirih.

Diam-diam Vivi bangga. Dia bangga menjadi satu-satunya istri yang dinomorsatukan suaminya. Meskipun memperoleh suami dengan cara seolah-olah merebut dari bibinya, Vivi tahu seandainya si bibi bisa memberikan keturunan pasti paman itu tidak akan mencintainya seperti itu. Vivi bersyukur dipertemukan dengan suaminya bagaimana pun caranya, maka Vivi bertekad mempertahankan.

Pengakuan Si Madu

"Pa, mengapa dulu tiba-tiba Papa melakukan itu kepada Vivi?" tanyanya pelan.

"Papa diam-diam mencintaimu! Lalu, kenapa kamu mau menyerahkannya?"

"Aku juga mencintai Papa. Aku setiap malam memimpikan Papa tidur di sampingku!"

"Oohh, ... sejak kapan?"

"Sejak melihat Papa dan Mama bertempur dulu. Habisnya kalian melakukan itu di depan mataku ... mmmm ... maka ... aku selalu membayangkan Papa membegitukan aku!" urai Vivi sambil tertawa ceria.

"Ohh ...!"

 "Ketika Papa melakukan, itu jelas yang pertama kali buat Vivi. Aku  sangat bahagia. Itu yang ingin kupersembahkan buat Papa untuk selamanya. Makanya, meskipun sakit, nyeri, berdarah-darah  aku sangat bahagia. Papa tahu aku tidak menangis, tetapi air mata meleleh juga, kan? Dan Papa mengusap air mataku sambil berkata, 'Lama-lama sakitnya akan tak terasa lagi, Sayang' saat itu aku mengangguk, aku yakin, yang penting bagiku asal Papa bahagia. Sakit bisa aku atasi. Sungguh pengalaman yang luar biasa ketika aku bisa mempersembahkan yang pertama kalinya untuk orang yang kucintai!" tutur Vivi sambil berkaca-kaca.

"Oohh ... terima kasih, Cantik. Lalu apa kamu tidak takut hamil saat itu?"

"Enggak mikir gitu. Aku nggak nyadar. Ketika bajuku nggak muat semua, aku berkaca, kulihat tubuhku berubah, lalu Mama mengetahuinya saat itu, barulah yakin kalau aku hamil. Aku senang sekali saat itu, Pa!"

"Nggak takut juga?"

Vivi menggeleng, "Kan itu bukti dan tanda bahwa aku sangat sayang pada Papa. Mengapa harus takut?"

"Ohh ... !" Prasojo pun kian mengeratkan pelukannya.

"Tapi ... dengar-dengar melahirkan itu sakit sekali. Vivi sempat takut banget. Apalagi orang bisa mati saat melahirkan. Jadi, takut dan ngeri juga!"

"Trus?"

"Vivi cari tahu bagaimana proses kelahiran. Bagaimana sikap menghadapi masa melahirkan, gitu-gitu ...!"

"Sekarang aku tahu bahwa istriku ini sangat hebat!"

"Kok baru tahu sekarang?"

"Enggak, sih. Sejak melihatmu berusaha sekuat tenaga mengikuti arahan bidan saat partus, upaya kerasmu agar putri kita lahir. Itu  pun aku tahu bahwa istriku ini hebat!"

"He he he ... Papa pingin anak berapa orang?"

"Berapa pun dikasihnya. Yang penting jika Papa pingin, istriku melayaniku dengan baik! Itu saja cukup!"

"Aku ingin lima orang anak. Papa mau segitu atau kurang?"

"Haaahh ... banyak banget, Sayang?! Dua sajalah agar istriku masih bisa melayaniku dengan baik! Ya, ... dua sajalah!" protes Prasojo sementara Vivi tertawa berderai.

"Kok cuma dua, apa nggak kurang?"

"Nggak, ahh ... he he ... dua saja, ya Sayang!"

"Ok, baiklah. Jika sudah punya dua, aku diminta Bu Bidan untuk ber-KB. Kalau KB kalender ... takutnya terlalu dekat jarak kelahiran. Setuju, ya?"

"Mana bagusnya buat Vivi saja, aku nurut!"

 Akan tetapi, Vivi yang masih menyusui balitanya ini tiba-tiba merasa pusing dan mual luar biasa. Ia tidak menyangka kalau baby-nya akan punya adik lagi.

Ya, ketika Pravita belum genap berusia tujuh bulan, ternyata Vivi sudah mengandung lagi anak kedua mereka. Ya, benar. Seperti yang orang Jawa biasa katakan, "Bayi pitu meteng telu!" artinya anaknya usia tujuh bulan, istrinya hamil tiga bulan. Bahkan, kali ini kandungan Vivi telah memasuki usia kehamilan empat bulan! Luar biasa cepat, bukan?

Demi mendengar penjelasan dokter yang menyatakan bahwa dirinya hamil lagi, Vivi justru sangat bangga dan bahagia. Demikian halnya dengan Prasojo suaminya. Bukan main senangnya dan berharap kali ini baby-nya cowok. Dia merasakan inilah sesuatu yang ditunggunya sejak lama. Kebahagiaannya yang tertunda!

***

bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun