Harus Mulai Tahu Diri
Air mata Nadya pun mengucur deras seiring kepergian suami menuju ke kamar Vivi yang kini diam-diam sudah menjadi madunya itu. Dibenamkanlah mukanya ke permukaan bantal sambil dipuaskan tangis di sana. Nadya tahu, bahtera rumah tangganya sudah retak dan sebentar lagi akan pecah  berkeping-keping. Nadya pasrah. Dia benar-benar pasrah.
Prasojo mengetuk kamar putrinya dengan pelan, "Sayang, buka pintunya. Ini aku!"Â
Beberapa saat kemudian, pintu pun dibuka Vivi. Prasojo langsung memeluk erat dan menggendong si kekasih itu menuju ranjang. Si putri jelita yang semula ketakutan memikirkan kondisi tubuhnya menjadi sedikit terhibur.Â
Dipukulinya Prasojo meminta diturunkan dari gendongan, "Enggak mau, turunkan! Turunkan!" serunya sambil menggeliat. Mereka pun tergelak.
 Prasojo tidak peduli, dia menghadiahi si kekasih hati dengan kasih sayang seutuhnya. Bayangkan, sudah sekian lama menunggu saat-saat manis itu, kini ternyata tanpa disadari telah berada di depan mata. Cukup dua kata untuk menggambarkan kondisi Prasojo: Terlalu bahagia!
"Selamat datang putraku Sayang, bikin Mamamu nyaman sampai lahiran nanti, Nak sayang!"
Netra Vivi membelalak, "Paa ... jadi ... Vivi hamil?"
"Hmmm ..., biarkan Papamu ini bahagia! Terima kasih, moment ini sudah Papa nantikan sejak lamaaa ... banget. Menjadi seorang ayah adalah dambaan Papa!" katanya berurai air mata sambil memeluk dan menciumi ujung kepala sang kekasih.
Vivi pun menangis sesenggukan.
"Bagaimana dengan Mama, Pa? Apa Mama tidak marah?"
"Tidak, Sayang. Kami sangat bahagia. Kamu tidak usah khawatir. Mama menerima dengan senang hati. Papa akan menikahimu secepat mungkin, tetapi kamu harus berhenti sekolah dulu. Tidak elok jika keadaan tubuh yang kian membengkak ini diketahui banyak orang, terutama teman-temanmu. Maka sebelum seorang pun menyadari keberadaan putra kita di rahimmu ini, kita akan pindah ke kota lain hingga kamu lahiran nanti!"
"Vivi sedikit takut, Pa. Bagaimana dengan Mama?" tanyanya manja.
"Justru ini ide genius Mamamu, Sayang. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu adalah tanggung jawab kami, Papa dan Mamamu!"
Sang bidadari menangis di pelukan Prasojo. "Vivi nggak nyangka ... hamil! Jujur, takut juga," tangisnya.
"Takut bagaimana?"
"Kalau nanti lahiran ... katanya sakit banget, ya?"
"Hmmm ... kan saat itu Vivi nggak menangis, kan? Vivi kuat. Kelak, pasti kuat jugalah. Ingat, tidak semua orang diberi kesempatan untuk hamil dan melahirkan. Buktinya bibimu masih belum diberi kepercayaan, kan? Jadi, kalau saat ini kamu hamil, berarti ... dipilih Tuhan untuk melaksanakan perkembangbiakan. Ini tugas utama wanita yang tidak tergantikan, loh. Menjadi seorang ibu, sungguh dambaan tiap wanita dewasa. Kamu tahu bagaimana upaya bibimu untuk menjadi seorang ibu, kan? Makanya, jangan sia-siakan kesempatan emas ini, Sayang. Kamu dikirim oleh Allah untuk melengkapi hidup Papa."
"Nanti, ... Papa tungguin saat lahiran, kan, Pa? Janji, ya, Pa! Soalnya sedikit takut dan malu sama petugasnya," lirihnya.
"Iya, Cantik. Jangan khawatir. Papa pasti mendampingimu. Maafkan Papa kalau selama ini kurang memperhatikan dirimu! Mulai sekarang, Papa dan Mama akan selalu memperhatikanmu!" kata Prasojo sambil masih memperlakukan kekasihnya itu dengan manis.
Agar Vivi makin tenang, Prasojo pun memberikan kasih sayangnya sekali lagi dengan sangat lembut dan berhati-hati.
"Pa ... boleh tahu nggak? Sejak kapan Papa suka sama Vivi?"
"Mulanya, saat itu ... Papa melihatmu kehujanan. Papa baru menyadari bahwa Papa telah jatuh cinta dan sangat mencintaimu. Sejak pertama kali bersamamu, hati Papa sangat bahagia. Ya, sangat bahagia! Semangat Papa muncul kembali sehingga Papa merasa menjadi lebih muda. Terima kasih, Sayangku!"
Hati sang putri pun meleleh sesaat setelah mendengar Prasojo mengatakan hal itu. Prasojo ingin mengenang kembali peristiwa beberapa bulan lalu ketika pertama kali dia menyentuh si jelita. Lalu diulanglah persis seperti apa yang mereka lakukan pertama kali. Kali ini tentu saja dengan perasaan  membuncah. Sangat  bahagia karena diketahui bahwa buah cinta mereka telah bertumbuh dan berkembang di rahim kekasih.
Sang bidadari pun sangat bahagia. Hal  inilah yang akan membantunya menghilangkan kecemasan selama menanti kelahiran buah hati. Setelah beberapa saat, mereka berdua masih menjalin kebersamaan, masih baringan di ranjang, Prasojo pun masih mengelus perut kekasihnya yang mulai membuncit.
"Nak, Papa sangat merindukanmu. Tenanglah, kami akan memperlakukanmu dengan sangat istimewa! Bertumbuh dan berkembanglah dengan sempurna, kami menantikan kelahiranmu dengan bahagia!"
"Sayang, jika kamu menginginkan sesuatu jangan segan-segan, ya! Papa akan melakukannya. Misalnya, kamu ingin makan apa gitu ... Â jangan tidak diomong supaya baby kita pun bahagia!" tolehnya kepada pasangan.
Sang  putri hanya mengangguk sambil tersenyum manis.
"Pa, Vivi takut Mama marah. Bagaimana Vivi harus bersikap?"
"Nggak apa-apa. Mama mau mengerti dan sangat bahagia melihat Papa bisa memiliki keturunan. Kamu tenang saja, ya!"
"Beneran, Mama nggak apa-apa ...? Vivi segan karena merebut suaminya," ujarnya lirih.
"Tak ada yang merebut Papa, tetapi ... Papa justru sangat bahagia beroleh hadiah istimewa dari Vivi. Bukan dari yang lain! Percayalah. Inilah yang Papa tunggu sejak lamaaaa banget!" rayunya menatap teduh netra sang kekasih.
"Emmm ... gimana dengan keluarga yang lain kalau tahu, Pa?"
"Jangan berpikir macam-macam. Papa minta, kamu fokus dengan kandunganmu, buah cinta kita! Biarkanlah baby bahagia, ya!" rajuknya dengan manis.
"Tapi ...."
"Nggak pakai tapi-tapian, Sayang. Ingat, kita harus mempertanggungjawabkan cinta kita, baik di hadapan sesama, terlebih di hadapan Tuhan. Kita harus menerima dengan senang hati apa yang sudah diskenariokan oleh-Nya!"
"Kamu telah mempersembahkan semuanya buat Papa, kan? Ingat?"
"Iyaaa ...."
"Nah, mari kita hadapi masa depan tanpa pikiran negatif. Bisa, kan? Semuanya demi si baby, Sayang! Kita telah mengundangnya hadir, jadi ... kita harus memberikan fasilitas dengan baik. Paham, kan? Kamu juga harus ngerti ... kalau ...."
"Apa?"
"Papa ... sudah sangat ingin menimang darah daging Papa! Ini sudah sangat terlambat ...," tetiba netra Prasojo berembun.
"Paaa .... Vivi ikhlas, kok. Papa jangan menangis, dong! Vivi janji akan membuat Papa bahagia," dibawalah tangan Prasojo ke dada meluncur ke perut buncitnya.
Kedua calon orang tua baru itu tergugu dalam tangis bahagia.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H