"Tidak, Sayang. Kami sangat bahagia. Kamu tidak usah khawatir. Mama menerima dengan senang hati. Papa akan menikahimu secepat mungkin, tetapi kamu harus berhenti sekolah dulu. Tidak elok jika keadaan tubuh yang kian membengkak ini diketahui banyak orang, terutama teman-temanmu. Maka sebelum seorang pun menyadari keberadaan putra kita di rahimmu ini, kita akan pindah ke kota lain hingga kamu lahiran nanti!"
"Vivi sedikit takut, Pa. Bagaimana dengan Mama?" tanyanya manja.
"Justru ini ide genius Mamamu, Sayang. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu adalah tanggung jawab kami, Papa dan Mamamu!"
Sang bidadari menangis di pelukan Prasojo. "Vivi nggak nyangka ... hamil! Jujur, takut juga," tangisnya.
"Takut bagaimana?"
"Kalau nanti lahiran ... katanya sakit banget, ya?"
"Hmmm ... kan saat itu Vivi nggak menangis, kan? Vivi kuat. Kelak, pasti kuat jugalah. Ingat, tidak semua orang diberi kesempatan untuk hamil dan melahirkan. Buktinya bibimu masih belum diberi kepercayaan, kan? Jadi, kalau saat ini kamu hamil, berarti ... dipilih Tuhan untuk melaksanakan perkembangbiakan. Ini tugas utama wanita yang tidak tergantikan, loh. Menjadi seorang ibu, sungguh dambaan tiap wanita dewasa. Kamu tahu bagaimana upaya bibimu untuk menjadi seorang ibu, kan? Makanya, jangan sia-siakan kesempatan emas ini, Sayang. Kamu dikirim oleh Allah untuk melengkapi hidup Papa."
"Nanti, ... Papa tungguin saat lahiran, kan, Pa? Janji, ya, Pa! Soalnya sedikit takut dan malu sama petugasnya," lirihnya.
"Iya, Cantik. Jangan khawatir. Papa pasti mendampingimu. Maafkan Papa kalau selama ini kurang memperhatikan dirimu! Mulai sekarang, Papa dan Mama akan selalu memperhatikanmu!" kata Prasojo sambil masih memperlakukan kekasihnya itu dengan manis.
Agar Vivi makin tenang, Prasojo pun memberikan kasih sayangnya sekali lagi dengan sangat lembut dan berhati-hati.
"Pa ... boleh tahu nggak? Sejak kapan Papa suka sama Vivi?"