Sebuah Upaya Merangkul yang Tersisa
Ketika mendengar bahwa kedua orang tua tewas karena kecelakaan pesawat udara, Vivi jatuh sakit. Sekitar seminggu Vivi tidak mau makan sehingga kondisinya kian memprihatinkan. Setiap hari, hingga menggigau pun dipanggillah papa mamanya yang telah tiada itu. Hal ini membuat siapa pun tidak tega mendengar rintih dan melihat kesedihannya.
Saat berada di rumah sakit itulah, Prasojo berinisiatif membelikan sebuah boneka lucu yang bisa menangis dan berkedip agar sang putri angkat itu terhibur dan dengan demikian mempercepat kesembuhannya.
Ternyata Vivi sangat senang mendapatkan boneka yang menurutnya sangat luar biasa itu.
"Wuahhh, terima kasih, Om Papa!" kata Vivi langsung memeluk bonekanya.
"Cepat sembuh, ya, Sayang. Ayo makan disuapi Om Papa supaya cepat sehat. Nanti Om Papa belikan baju-baju bonekamu, ya. Tetapi Vivi sendiri yang harus memilihnya. Setuju?" usul Prasojo sambil mengusap kepala dan menciumi pipi Vivi.
Netra Vivi berbinar-binar dan langsung meminta disuapi. Ketika Nadya melihat betapa sang suami sangat menyayangi kemenakannya, ia sangat senang. Dengan demikian harapan Vivi akan sembuh dan segera melupakan kesedihan segera terwujud.
"Terima kasih, Mas. Usahamu sangat bagus untuk pemulihan Vivi!" sambutnya bangga.
Benar saja. Vivi cepat pulih dan dibawa tinggal bersamanya. Nadya yakin, Vivi akan bisa segera bangkit dari keterpurukan asal mereka berdua menyayangi setulus hati. Sejak saat itu, Nadya mengusulkan agar Vivi tidur sekamar bersama mereka. Setelah Vivi sanggup melupakan kedua orang tuanya, barulah  dilepas untuk tidur sendiri di kamar yang sengaja disiapkan untuknya setelah berita kecelakaan itu mereka terima.
Boneka hadiah dari sang suami tak pernah dilepaskannya kecuali saat bersekolah. Dan tidak pernah disangka kalau sepuluh tahun setelahnya, sang suami memberinya kado boneka bernyawa saat kemenakan itu mulai merekah bertumbuh menjadi gadis remaja! Sungguh, sesuatu yang di luar dugaan sama sekali. Kini kehadiran boneka bernyawa itu telah memutuskan tali pernikahan yang telah dirajut sepuluh tahun.
"Adakah yang salah dengan boneka itu? Mengapa itu menjadi pertanda bahwa petaka benar-benar terjadi? Mengapa selalu boneka?" keluhnya lirih.
Nadya tercenung, "Ya, Tuhanku, Allahku ... mampukanlah hamba melupakan semua yang telah terjadi," ucapnya lirih sambil mengelus perut membuncit.
"Biarkanlah hamba meraih kebahagiaan bersama keluarga  baru hamba. Izinkanlah Mas Pambudi menjadi imam yang bijak di dalam keluarga baru hamba," doanya tak putus sambil mematikan laptop dan menyimpan kembali flasdisk di tempat semula.
Baru saja selesai menyimpan flasdisk itu, tetiba didengarlah klakson pertanda Pambudi, sang suami, datang dari kantor. Didengarnya Bik Irah menjawab lantang, "Tunggu sebentar ....," sambil bergegas membukakan pintu gerbang dan pintu garasi.
Dibersihkanlah mukanya dari sisa air mata dengan menggunakan waslap basah kemudian disambutlah suaminya dengan senyum ceria. Nadya bertekad hendak merebut kembali kebahagiaan yang sempat terenggut. Diniatinya melupakan masa kelam yang menghunjam sanubari dan dibuangnya jauh-jauh ke tong sampah apa yang bernama masa silam itu.
_bersambung_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H