Burung di Udara Dipelihara
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Sekitar jam sepuluh pagi. Tidak ada hujan, tetapi angin kencang bertiup cukup menakutkan. Hal itu karena di sisi kiri dan depan rumah rumpun bambu, Â dengan suara gemuruhnya meliuk-liukkan batangnya dengan mengerikan. Dedaunan berguguran memenuhi lahan kosong di sebelah rumah. Kotor yang luar biasa tentunya. Sementara, angin masih menggoyang-goyangkan pelbagai pepohonan rimbun yang ada di halaman. Puting beliung melanda dengan menggelora!
Aku masih menimang-nimang dompet. Isinya, ahh ... berharap cukup untuk memenuhi kebutuhanku sebulan ini. Sementara, aku pun tak banyak berharap dari tempatku bekerja karena di masa pandemi ini tak banyak juga siswa yang meminta belajar secara offline. Aku mencoba berpasrah diri sambil berdoa dengan bersyukur. Bersyukur karena masih dianugerahi-Nya kesehatan sehingga otomatis tidak ada pengeluaran untuk masalah kesehatan dan obat-obatan. Ini sungguh sangat membantu mengatasi kondisi dompetku.
Tiba-tiba ... Â kluning ... kluning ... gawaiku menandakan adanya pesan masuk. Kulihat sepintas, "Oohh, cuma iklan!"
Lagi-lagi iklan yang membuatku harus rajin menghapusnya. Jika tidak menawarkan pinjaman, menawarkan permainan dingdong atau judi online, yang terparah adalah pemberitahuan tentang menang hadiah tertentu. Padahal, sungguh aku tak pernah mengikuti aplikasi pembelian dengan model apa pun, tetapi diberitahukan menjadi pemenang lomba. Aneh-aneh saja model penipuan yang ditawarkan via gawai.
Belum sempat beranjak, ada lagi pemberitahuan via sms, pesannya, "Mbak, ada di rumahkah?" dari nomor tak dikenal. "Hadaahh ... apa lagi ini ...!" gumamku.
Belum juga sempat kujawab, kedua anjingku ramai menyalak. Tandanya ada seseorang yang tak dikenalnya hendak masuk rumah atau barangkali hanya sekadar numpang berteduh di tepi jalan. Biasanya jika ada seseorang yang berhenti di depan pintu garasi, kedua anjingku ributnya bukan main. Seolah memberi tahu kalau ada tamu.
Sebentar kemudian terdengar grendel pintus single-ku dipermainkan, maksudnya memberitahuku untuk meminta dibukakan pintu. Ketika kutengok, ternyata sahabat lamaku datang ke rumah.
"Wahhh, ... tumben. Padahal, nggak ada suara burung prenjak yang nyaring sebagai isyarat. Lalu, angin apa yang membawamu kemari?!" sambutku membuatnya tertawa berderai.
" Entahlah ... kangen saja! Sudah lama banget tidak bertemu!" katanya mengawali perjumpaan kami.
***
Beberapa tahun silam, dengan putri sulung teman yang melebihi saudara ini datang ke rumah. Ia meminta agar putrinya diajari akuntansi karena merasa lemah dalam pelajaran tersebut. Sementara suamiku yang jago mengajar memang memberi les privat ke mana-mana bidang ekonomi dan akuntansi.
Jika siswa mau datang ke rumah, suami membebaskannya dari uang les. Tentu saja gratis untuk belajar atau biaya kursus, tetapi jika ingin mengikuti ujian nasional yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan subpendidikan luar sekolah harus mengurus dan membiayainya sendiri.
Ada beberapa siswa yang berasal dari masyarakat kurang beruntung datang ke rumah dengan jadwal yang ditentukan. Ada kalanya berbarengan dua atau tiga orang, adakala secara privat. Tempat sederhana memang kami siapkan untuk itu. Jika kami tidak bisa membantu dengan dana, semoga apa yang bisa kami lakukan ini cukuplah dianggap sebagai amal. Begitu pikiran kami.
Biasanya, siswa diminta membawa sendiri spidol white board  untuk menjelaskan materi. Spidol tersebut boleh dibawanya pulang. Jadi, kami hanya menawarkan tenaga saja. Sementara, jika ada yang meminta kursus privat berbayar, kami akan menyediakan spidol dan white board atau kaca tempel sebagai pengganti agar bisa menjelaskan materi dan permasalahan akuntansi dengan lebih jelas dan leluasa.
Sekitar dua tahun belajar gratis, akhirnya putri teman kami tersebut diterima sebagai karyawati di sebuah instansi yang diidamkan banyak pemuda. Bahkan, setelah setahun berkarya, putrinya dipromosikan jabatannya hingga jauh menuju ibu kota. Luar biasa. Putrinya yang cantik, manis, pintar, dan baik hati ini akhirnya menduduki suatu jabatan yang strategis di ibu kota.
Padahal, masa kecil si putri, sebut saja bernama Bunga, ikut bersama kedua orang tua mengais rezeki hingga larut malam. Kedua orang tuanya berjualan nasi goreng, cap cay, dan pangsit mie dengan menggunakan gerobak di suatu tepi jalan  cukup ramai.
Sejak usia bayi hingga balita, si Bunga selalu dibawa serta berjualan dengan diletakkan di dalam gerobak yang satu lagi.
Ya, ada dua gerobak yang dimiliki. Satu dipergunakan untuk memasak, dengan sebuah kompor sebelum musim kompor gas, dan aneka bahan untuk pembuatan nasi goreng, cap cay, dan pangsit mie. Satunya lagi dipasang melintang, sebagai gerobak kosong tanpa kompor. Di dalam ada tempat untuk menidurkan bayi. Seolah kemah untuk camping , tetapi berwujud gerobak beroda. Dua gerobak itu dipasang layaknya huruf L sehingga baik bayi maupun pelanggan pun cukup nyaman.Â
Nanti usai berjualan kedua orang tuanya akan meminggirkan dua gerobak beroda tersebut dan menutupinya dengan terpal. Besuk sorenya sekitar pukul empat hingga tengah malam atau sampai dagangannya habis, mereka akan tinggal bertiga di dua gerobak tersebut. Dengan demikian, Bunga akan tetap hangat meskipun malam telah larut saat orang tuanya berjualan.
Ketika Bunga agak besar dan memiliki seorang adik lelaki, kedua orang tuanya beralih profesi. Ibunya diterima sebagai karyawati di salah satu pabrik rokok terkenal dan ayahnya bekerja sama dengan pamannya masih setia berjualan nasi goreng, cap cay, dan pangsit mie. Selain itu, Â karena talenta khususnya, ternyata ayah dan pamannya bisa memberikan layanan pijat urat. Karena itu, jika menerima panggilan pijat, ayah dan pamannya bergantian untuk berjualan. Keduanya sangat kompak sehingga dapur mereka tetap mengepul.
Saat Bunga telah memiliki jabatan tinggi, dimodalinya orang tua dan sang paman untuk membuka sebuah cafe dengan menyewa lahan di suatu tempat. Sayang, persaingan kuliner di kota kami terlalu marak sehingga cafe tersebut kurang berkembang sebagaimana harapan.
***
Pagi itu, teman lama itu datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Setelah bercerita ke sana kemari, dia berpamitan pulang. Tiba-tiba disodorkannya paksa kepadaku sebuah amplop tebal.
"Haahh, ... apaan ini?" tanyaku.
"Hussshh, ... sudahlah, ambil saja! Ini rezeki dari Tuhan! Ayo, jangan tolak!" katanya sambil menyorongkan ke tanganku. "Pokoknya, ini dari Tuhan, Mbak! Titik! Makanya jangan ditolak!" pesannya sambil tersenyum, kemudian dituntunlah Vario barunya pulang.Â
Aku pun berterima kasih sambil menitip salam untuk seluruh keluarga.
Nah, dompet yang tadi kutimang dengan sedikit gusar, ternyata telah diisi Tuhan dengan cara luar biasa. Maka, benar kata orang tua dan sabda-Nya di kitab suci, "Jangan pernah khawatir akan apa yang kamu makan, kamu minum, dan kamu pakai. Sedang burung di udara yang tidak menabur saja diberi-Nya makan!" aku hanya tepekur. "Tuhan, terima kasih atas pemeliharaan-Mu!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H