Wajah Kinan langsung pias. Sendi-sendi tulangnya melemas. Apa yang dikhawatirkan Indar benar-benar terbukti. Ibunya tidak bisa menunjukkan buku tabungan yang ia minta.
Kinan menunjukkan hasil print out kapan dan berapa kiriman selama dua tahun terakhir yang dihitung mencapai hampir seratus jutaan. Akan tetapi, ternyata tidak ada sama sekali. Uang hasil kerja kerasnya menguap begitu saja.
Terbayang bagaimana ia harus menahan kantuk saat menjaga majikan tua di negeri orang. Betapa lelah dan lapar ditahan demi bisa mengirim uang sebagai tabungan masa depan. Namun, ternyata semua sia-sia belaka.
Kinan terduduk lemas. Air mata mengalir deras. Tak ada rasa belas kasihan ibu kepadanya. Padahal, sejatinya Kinan hendak meminta sang bunda membangun rumah agar  tidak lagi terkesan kumuh.
"Lalu ... selama ini ... ke mana dana itu mengalir?" pikirnya dalam diam.
"Kamu baru saja datang, malah mengungkit-ungkit kiriman yang nggak seberapa. Kau tanyakankah bagaimana kondisi kami di sini?" hardik ibunya.
"Ya, sudah. Terima kasih."
Kinan langsung berkemas-kemas. Kopor yang  baru saja diletakkan dan belum dibongkar itu langsung diambil kembali. Kinan menghubungi Kang Kurmen untuk meminta diantar ke rumah nenek di desa tetangga.
"Bu, Kinan pamit izin ke rumah nenek," pamitnya sambil mencium tangan.
Hari masih benderang tatkala Kinan meninggalkan rumah kembali. Tidak banyak yang tahu karena kepulangannya memang tidak diberitahukan kepada siapa pun.
Di perjalanan, Kang Kurmen sempat menanyakan mengapa tidak menginap di rumah. Kinan berdalih ada pekerjaan di tempat lain yang harus segera ditangani.