Kinanti berpikir, pria ini sepertinya anggota angkatan entah darat, laut, udara, atau kepolisian. Perawakannya oke banget. Karena pemalu, Kinanti tak pernah berani menoleh memperhatikan wajah blasteran pria cukup tampan itu.
"Maaf, saya sangat lelah. Izin istirahat," lanjut Kinan berbasa-basi.
"Go ahead," jawab si tetangga.
Dalam sekian detik, Kinan baru menyadari bahwa sebelahnya itu bukan pribumi. Namun, kantuk mengalahkan hasrat untuk bertanya lebih lanjut.
Ya, Kinanti. Gadis manis yang rela menguburkan cita-cita hendak kuliah hanya karena ingin memperbaiki nasib. Ia merantau dan menjadi pejuang devisa di mancanegara mengingat rumah reyot dan kumuh mereka. Sejak ayah berpulang dua tahun sebelumnya, kehidupan keluarga kian terpuruk. Ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga orang kaya di desa sebelah tampak sangat kelelahan.
Sarwendah, adik perempuan satu-satunya yang masih kelas 1 SMA saat itu sangat butuh biaya pendidikan. Karena itulah, Kinanti merelakan masa remajanya dengan ikut menyingsingkan lengan baju, bekerja menjadi perawat orang tua di mancanegara. Setidaknya, ia akan bisa mengirim uang untuk ibunya. Bahkan, Kinan berencana merenovasi rumah agar terlihat lebih layak huni.
***
 "Ingat, Kinan. Jangan percaya siapa pun! Kamu harus menabung untuk diri sendiri!" pesan Indar me-wanti-wanti.
"Kan ... ibuku. Masa ibuku tega?"
"Hmmm ... kalau yang namanya uang, sungguh! Kau tidak bisa mempercayai siapa pun! Sekalipun itu ibumu!" lanjut Indar yang sengaja mengajak ketemuan di salah sebuah tempat pertemuan para pekerja migran macam mereka.
"Aku tidak berpikir seburuk itu!"