Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dosen Terbang

7 Mei 2024   09:44 Diperbarui: 30 Mei 2024   03:48 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Dosen Terbang

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Aku sedang berada di kelas jarak jauh, kali ini tepatnya di Tumpang, saat seorang petugas menyerahkan presensi mahasiswa. Petugas ini tertawa kepadaku, tetapi aku merasa belum mengenalnya sehingga aku bersikap biasa saja, terlalu formal bahkan. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengannya. Ia sok akrab dengan selalu tersenyum lebar saat melihatku dari jarak jauh pun sehingga aku lumayan salah tingkah. 

Saat beristirahat, dan aku berada di kantor, dia menjejeri tempat dudukku, "Sampeyan lali karo aku toh, Mbak?" tanyanya sambil tetap tersenyum lebar. Artinya menanyakan apakah aku melupakannya. Aku masih kebingungan sambil meneliti wajahnya. Aku benar-benar lupa!

"Aku biyen sering mboncengke sepedah onthel, loh! Soko Jethakan!" lanjutnya masih tertawa terkikik.

Aku makin penasaran. Dia pernah memberiku tumpangan naik sepeda kayuh? Ingatanku berputar-putar, masih bingung.

Lalu, tiba-tiba seorang temannya memanggilnya, "Anu, Pak Tadji, ngapunten.  Kami mohon izin untuk mengambil berkas tugas! Paling dua puluh menit sudah kembali, Pak!" pamitnya. 

Aku mengingat-ingat kembali. "Pak Tadji?" senandikaku. 

"Mbak, aku Sutadji, koncomu SMP Kalangbret lan SPG Tulungagung!" 

"Oh, Tuhan!" pekikku sambil memukul dadanya bertubi-tubi.

"Iya, tubuhku mekar sehingga maklum kalau Mbak Nik melupakanku!" katanya.

Temanku selama enam tahun bersekolah di jenjang SMP dan SPG yang bahkan menjadi teman sekelasku ini dahulu ramping, kini minta ampun. Berat tubuhnya hampir satu kuintal katanya.  Ternyata dia justru menjadi pengurus perguruan tinggi swasta yang kuikuti sejak beberapa tahun silam. Baru kali ini aku ditugaskan ke daerah wilayah kerjanya sehingga bisa bertemu dengannya. Itulah mengapa dia tersenyum dan tertawa-tawa melihatku. Dia melihat profil pengajar sehingga mengetahui aku terlebih dahulu. Sementara itu, aku mengabaikannya karena memang aku lupa kepadanya. Maklum hampir tiga puluh tahunan tidak bersua. 

"Sejak lulus SPG dulu, aku ditempatkan di sini. Lalu aku melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta kita ini. Selanjutnya, ketika menjadi kepala sekolah, aku terpikir untuk meminta diadakan perkuliahan di sini. Begitulah ceritaku, Mbak!" katanya dengan mata berbinar-binar.

"Iya, seandainya aku tidak ditugaskan ke sini, kita tidak akan bertemu, ya!" kataku pula.

"Iya. Begitulah, Tuhan mempertemukan kita kembali dengan cara yang sangat luar biasa!" katanya kalem. 

"Aku membaca nama njenengan, aku salut. Dari dulu njenengan memang hebat. Aku mengaku jujur, dulu ketika tes masuk SPG, aku menyontek kertas jawaban njenengan!"

"Haaaa? Opo iyo?" ujarku kaget mendengar pengakuannya itu.

"Iyo, Mbak. Aku jujur. Mumpung ketemu Njenengan! Njenengan selalu berprestasi sejak SMP. Dadi bintang pelajar terus! Aku bersyukur iso lungguh jejer pas ujian masuk kae! Dadi aku iso nglirik lan nyonto jawabane Njenengan!"

Aku terheran-heran. Aku baru tahu kalau sahabatku ini menyontek pekerjaanku! Lebih terheran-heran lagi atas pengakuan jujurnya. Luar biasa!

Setelah pertemuan perdana itu, kami berkomunikasi intens. bahkan saat reuni ke Surabaya, aku mengajaknya menemaniku menyetir kendaraan pribadi dari Malang ke Surabaya. Hehe ... bahkan dia sempat bercerita kepada teman kalau aku membawa kendaraan dengan ngebut sehingga lumayan membuatnya ngeri. Sayang, dua tahun setelah itu, dia dipanggil pulang ke keabadian karena diabetis melitus. 

***

"Monggo Bu, kulo ndherekaken!"  ujar seseorang dengan sangat santun dalam Bahasa Jawa halus, artinya, "Mari, Bu, saya antarkan!" 

Aku baru pertama kali ke kota itu, belum tahu di mana tempat kuliahnya. Saat itu belum ada handphone apalagi GPS atau share lokasi. Karena itu, aku menuruti ajakannya. Turun dari bus yang kutumpangi, aku langsung mencari angkutan menuju lokasi perkuliahan.

 

Maka saat ditanyakan, "Ibu mau ke mana?" aku jawab bahwa aku hendak mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta yang ada. Beliau ternyata sudah paham. Namun, tidak sampai lima menit aku sudah sampai di tempat sasaran. Hanya berjalan lurus saja. Seandainya sudah tahu, tanpa naik ojek pun, berjalan kaki pun sampai di tempat dalam hitungan dua menitan!

Segera seseorang datang tergopoh-gopoh menjemputku, menanyakan apakah aku salah seorang dosen. Saat kujawab, "Iya!" sambil menyiapkan ongkos untuk seseorang yang mengantarku tadi.

"Tidak usah, Bu!"  kata seseorang yang kusangka ojek sambil tertawa. Sejujurnya aku sangat malu karena yang hendak kubayar tersebut ternyata adalah salah satu mahasiswa yang sengaja diminta menjemputku oleh Pak Dekan yang sehari sebelumnya memberi tahu bahwa aku akan datang menggantikan jadwal beliau.

Sungguh, hal itu merupakan pengalaman lucu. Namun, bisa menjadi bahan selingan saat mengajar karena mahasiswaku adalah para karyawan yang mengikuti kuliah sore sebagai tuntutan pekerjaan. Dalam kondisi sangat lelah, mereka harus berjuang untuk meraih gelar sarjana kalau tidak ingin dilindas peraturan pemerintah! Karena itu, gaya mengajar dengan diselingi canda akan sangat membantu menghilangkan kantuk dan lelah. 

Di antara mereka ada para guru SD, SMP, dan karyawan kantor pemerintah yang lain, misalnya kantor kecamatan. Dengan mengikuti kuliah jarak jauh tersebut, mereka berharap mengantongi ijazah sarjana sehingga status kepegawaian mereka terkatrol juga. Jika rumahnya jauh dari kota tempat titik perkuliahan diadakan, di antara mereka ada yang ngekos hanya untuk tidur malam hari. Dengan demikian, di pagi buta mereka kembali ke tempat pekerjaan dengan lebih fresh.

 

Sebenarnya, aku pun juga dalam kondisi lelah. Mulai pagi buta aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya, kemudian melaksanakan tugas sebagai salah satu guru di sekolah swasta dengan status diperbantukan. Pulang pukul 13.00 tanpa istirahat langsung mandi untuk menghilangkan bau keringat dan rasa kantuk. Makan siang secepat kilat lalu segera diantar suami ke terminal Gadang. Jika tidak diantar, hanya mengandalkan jasa angkutan umum, aku bisa terlambat. Karena itu, suami pun rela mengantarku. Setelah itu, aku naik bus arah ke salah satu kota di Malang Selatan. 

Kali ini aku di kelas Dampit. Di sanalah aku harus mengajar, jam pertama mulai pukul 15.15 -- 16.45 lanjut jam kedua pukul 17.00 -- 18. 30. Perjalanan dengan bus sekitar satu jam, dilanjutkan angkutan kota sekitar tiga puluh menit. Sampai di rumah pastilah sekitar pukul 21.00.

Ketika harus pulang berjalan kaki dari jalan besar menuju gang rumah kami, beberapa kali aku mendengar ocehan tetangga yang menyindirku. Misalnya, "Menjadi apa coba, pulang jam segini?" Sejujurnya, mendengar kicauan merdu seperti itu hati ini menjerit juga. Namun, kujawab dalam hatiku, "Akan kutunjukkan hasil kerja kerasku ini dengan suatu saat harus pindah ke rumah yang lain!" 

Saat itu usiaku sekitar tiga puluhan dan telah dikaruniai tiga orang anak lelaki cerdas dan tampan.  Sebagai seorang dosen, aku juga sangat menjaga penampilan dan kewibawaanku. Menurutku, aku harus tampil modis dan wangi karena menghadapi puluhan mahasiswa yang kuliah setelah bekerja. Jika sedang berdekatan dengan mereka, berharap bukan bau keringat,  melainkan bau parfum yang mereka hirup dari aroma ragaku. Selain itu, ketika mengajar, aku pun mengenakan asesoris yang cukup lengkap: seuntai kalung emas, gelang emas model kroncong dengan beberapa buah sehingga berbunyi gemerincing (he he he), dan giwang mutiara yang cukup mencolok. 

Namun, suatu saat yang lain, berbagai asesoris mahal ini justru membuatku ketakutan. Saat itu di sebelah kananku duduk, di sebuah bus dari daerah yang membawaku pulang kuliah pukul 19.00 adalah seorang lelaki muda. Beliau bertanya ini itu yang kujawab dengan jujur. Jujur bahwa aku sudah memiliki suami dengan tiga anak, namun beliau tidak percaya. Aku mulai ketakutan ketika beliau mendesakku. Sampai di terminal Gadang kembali, aku bersegera meninggalkannya untuk mencari angkutan kota. Memang aku tidak dijemput suami karena seperti biasa suamiku menjemput di pintu gang setelah turun dari angkutan kota nanti.

Ya, sesampai di terminal Gadang itu aku segera berlari meninggalkannya untuk mencari angkutan kota langganan. Untunglah banyak kenek yang sudah hafal denganku sehingga aku segera mencari tempat duduk di depan dengan jalur angkot menuju rumah. Arloji sudah menunjukkan angka 20.40 menit saat itu. Aku lega ketika duduk di angkot tidak kulihat beliau mengikutiku lagi. Maka, sejak itu aku melepas semua asesoris mahal dan menggantinya dengan asesoris imitasi yang tidak membuatku ketakutan. Apalagi, saat itu sedang marak gendam pula.  

***

Beberapa saat setelah pertemuanku dengan Dik Tadji, teman SMP-ku, kami diundang reuni di Surabaya. Aku memberitahu dan mengajak satu teman masa kecilku yang lain yang berdinas sebagai seorang bidan di Malang kabupaten. Kepada Dik Tadji juga kuberitahu untuk bersama-sama ke Surabaya. Aku meminta mefreka berdua berkumpul di rumahku, kemudian aku menyopiri kendaraanku untuk membawa kedua sahabat SMP-ku menuju Surabaya. Ternyata lucunya kedua temanku ini akhirnya menceritakan kepada temanku yang lain bahwa aku gemar menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi sehingga mereka ketakutan (he he he). Padahal sejujurnya aku belum pernah menyopiri sendiri ke luar kota seperti itu. Bermodal nekat, pokoknya!

Namun, siang itu, beberapa bulan setelah reuni di Surabaya, berita mengagetkan kudengar dari kampus. Temanku yang baik sekaligus pengurus daerah, Dik Tadji, telah menghembuskan napas terakhir karena mengidap diabetis mellitus. Padahal, bulan depan kami merencanakan hendak berkunjung ke rumahnya untuk memanen apel yang diceritakannya. Ternyata, Tuhan telah mengambilnya.

"Selamat jalan, Kawan! Pengabdianmu sungguh luar biasa!" senandikaku. Seandainya aku tidak menjadi dosen terbang yang ditugasi mengajar di daerah, di wilayah kekuasaannya, tentu aku tidak sempat bertemu dengannya. 

***  

Beberapa tahun telah berlalu. Kini aku benar-benar mendapatkan anugerah dari-Nya karena ternyata aku tinggal di rumah lain sehingga tidak lagi memiliki tetangga yang nyinyir dan suka berkicau. Saat berkesempatan berada di depan rumah mereka untuk menghadiri pemakaman salah seorang anggota keluarga sang suami, aku sempat mengemukakan bahwa dahulu dan kini kondisi kami berbeda. Dahulu aku berkeliaran hingga malam hari karena menjadi dosen terbang setelah menjadi guru di sekolah. Dengan bekerja ganda seperti itu, ternyata Tuhan memberikan kesempatan untuk memiliki rumah yang lain.

Salah seorang dari yang hadir tersebut adalah seseorang yang ketika aku masih berjuang dahulu menyangsikan pekerjaanku. Ya, mana mungkin aku berkoar-koar kepada setiap orang kalau aku harus mengajar sana-sini untuk mencukupi kebutuhan kami? Paling tidak aku menunjukkan bahwa kita tidak layak berburuk sangka terhadap orang lain. Apalagi sampai mengolok menyindir yang membuat telinga merah. Lebih baik sebenarnya jika kita mendoakan daripada mengolok atau menyindirnya. 

Inilah kisahku saat menjadi dosen terbang. Saat aku diberi kesempatan untuk bertemu dengan teman lama, merasa dikejar oleh penumpang bus, dan bahkan mendengar sindiran tetangga karena pulang terlalu malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun