Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dosen Terbang

7 Mei 2024   09:44 Diperbarui: 30 Mei 2024   03:48 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saat itu usiaku sekitar tiga puluhan dan telah dikaruniai tiga orang anak lelaki cerdas dan tampan.  Sebagai seorang dosen, aku juga sangat menjaga penampilan dan kewibawaanku. Menurutku, aku harus tampil modis dan wangi karena menghadapi puluhan mahasiswa yang kuliah setelah bekerja. Jika sedang berdekatan dengan mereka, berharap bukan bau keringat,  melainkan bau parfum yang mereka hirup dari aroma ragaku. Selain itu, ketika mengajar, aku pun mengenakan asesoris yang cukup lengkap: seuntai kalung emas, gelang emas model kroncong dengan beberapa buah sehingga berbunyi gemerincing (he he he), dan giwang mutiara yang cukup mencolok. 

Namun, suatu saat yang lain, berbagai asesoris mahal ini justru membuatku ketakutan. Saat itu di sebelah kananku duduk, di sebuah bus dari daerah yang membawaku pulang kuliah pukul 19.00 adalah seorang lelaki muda. Beliau bertanya ini itu yang kujawab dengan jujur. Jujur bahwa aku sudah memiliki suami dengan tiga anak, namun beliau tidak percaya. Aku mulai ketakutan ketika beliau mendesakku. Sampai di terminal Gadang kembali, aku bersegera meninggalkannya untuk mencari angkutan kota. Memang aku tidak dijemput suami karena seperti biasa suamiku menjemput di pintu gang setelah turun dari angkutan kota nanti.

Ya, sesampai di terminal Gadang itu aku segera berlari meninggalkannya untuk mencari angkutan kota langganan. Untunglah banyak kenek yang sudah hafal denganku sehingga aku segera mencari tempat duduk di depan dengan jalur angkot menuju rumah. Arloji sudah menunjukkan angka 20.40 menit saat itu. Aku lega ketika duduk di angkot tidak kulihat beliau mengikutiku lagi. Maka, sejak itu aku melepas semua asesoris mahal dan menggantinya dengan asesoris imitasi yang tidak membuatku ketakutan. Apalagi, saat itu sedang marak gendam pula.  

***

Beberapa saat setelah pertemuanku dengan Dik Tadji, teman SMP-ku, kami diundang reuni di Surabaya. Aku memberitahu dan mengajak satu teman masa kecilku yang lain yang berdinas sebagai seorang bidan di Malang kabupaten. Kepada Dik Tadji juga kuberitahu untuk bersama-sama ke Surabaya. Aku meminta mefreka berdua berkumpul di rumahku, kemudian aku menyopiri kendaraanku untuk membawa kedua sahabat SMP-ku menuju Surabaya. Ternyata lucunya kedua temanku ini akhirnya menceritakan kepada temanku yang lain bahwa aku gemar menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi sehingga mereka ketakutan (he he he). Padahal sejujurnya aku belum pernah menyopiri sendiri ke luar kota seperti itu. Bermodal nekat, pokoknya!

Namun, siang itu, beberapa bulan setelah reuni di Surabaya, berita mengagetkan kudengar dari kampus. Temanku yang baik sekaligus pengurus daerah, Dik Tadji, telah menghembuskan napas terakhir karena mengidap diabetis mellitus. Padahal, bulan depan kami merencanakan hendak berkunjung ke rumahnya untuk memanen apel yang diceritakannya. Ternyata, Tuhan telah mengambilnya.

"Selamat jalan, Kawan! Pengabdianmu sungguh luar biasa!" senandikaku. Seandainya aku tidak menjadi dosen terbang yang ditugasi mengajar di daerah, di wilayah kekuasaannya, tentu aku tidak sempat bertemu dengannya. 

***  

Beberapa tahun telah berlalu. Kini aku benar-benar mendapatkan anugerah dari-Nya karena ternyata aku tinggal di rumah lain sehingga tidak lagi memiliki tetangga yang nyinyir dan suka berkicau. Saat berkesempatan berada di depan rumah mereka untuk menghadiri pemakaman salah seorang anggota keluarga sang suami, aku sempat mengemukakan bahwa dahulu dan kini kondisi kami berbeda. Dahulu aku berkeliaran hingga malam hari karena menjadi dosen terbang setelah menjadi guru di sekolah. Dengan bekerja ganda seperti itu, ternyata Tuhan memberikan kesempatan untuk memiliki rumah yang lain.

Salah seorang dari yang hadir tersebut adalah seseorang yang ketika aku masih berjuang dahulu menyangsikan pekerjaanku. Ya, mana mungkin aku berkoar-koar kepada setiap orang kalau aku harus mengajar sana-sini untuk mencukupi kebutuhan kami? Paling tidak aku menunjukkan bahwa kita tidak layak berburuk sangka terhadap orang lain. Apalagi sampai mengolok menyindir yang membuat telinga merah. Lebih baik sebenarnya jika kita mendoakan daripada mengolok atau menyindirnya. 

Inilah kisahku saat menjadi dosen terbang. Saat aku diberi kesempatan untuk bertemu dengan teman lama, merasa dikejar oleh penumpang bus, dan bahkan mendengar sindiran tetangga karena pulang terlalu malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun