Manfaat Membaca: Masih Terpatri di Sini
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Â
Â
Â
I love to read. I wish I could advise more people to read. There's a whole new world in books. If you can't afford to travel, you travel mentally through reading. You can see anything and go any place you want to in reading. (Michael Jackson)
(Saya suka membaca. Saya berharap saya dapat menyarankan lebih banyak orang untuk membaca. Ada dunia baru dalam buku. Jika Anda tidak mampu untuk bepergian, Anda melakukan perjalanan secara mental melalui membaca. Anda dapat melihat apa saja dan pergi ke mana saja yang Anda inginkan dalam membaca.)
Lahir  akhir 1957 saya sempat menangi (Jw: mengalami) zaman rekasa (Jw: sulit). Saat  terjadi pergolakan yang terkenal dengan G-30-S PKI saya berusia sembilan tahun, duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Yang saya ingat saat itu, kehidupan begitu sulitnya. Keluarga tidak bisa makan nasi karena beras tidak ada. Kalau pun ada, harganya sangat mahal sehingga tidak terbeli.
Saat itu saya diasuh dan tinggal bersama kakek nenek di sebuah desa. Kakek pensiunan kepala sekolah, sementara nenek hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Namun, rumah kakek nenek lumayan besar. Dengan kamar sepuluh bisa digunakan sebagai indekos, baik guru maupun siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Â
Setiap hari, jika hendak makan nasi jagung, kami termasuk saya tentunya, harus menumbuk biji jagung sehingga menjadi butiran lebih kecil. Sering pula menumbuk bukan hanya jagung, melainkan juga gaplek, kemudian tepung singkong yang dijemur tersebut diolah menjadi pengganti nasi. Nasi gaplek terkenal dengan istilah tiwul. Dibandingkan nasi tiwul, menurut saya masih enak makan nasi empok yang terbuat dari jagung. Namun, jujur menumbuk kedua bahan pangan tersebut membuat telapak tangan panas dan mengelupas. Lauknya? Begitu ekstrem! Saya harus mencari ikan di rolak (pintu air) dengan cara memasang perangkap terbuat dari alat berbahan anyaman bamboo. Hasilnya? Ada wader, ikan kecil-kecil yang cukup sebagai teman nasi. Kadang juga ulat pohon bunga turi, laron, larva tawon atau lebah madu, kepompong ulat bulu api, bahkan hingga gangsir, hewan sebangsa jengkerik. Â Hewan-hewan ini biasa digoreng tanpa minyak di belanga tanah liat. Rasanya? Gurih sekali! Mungkin sangat aneh bagi generasi milenial saat ini. Namun, begitulah kenyataannya!
Setiap sore bersama teman-teman kecil sebaya, saya selalu antre minyak tanah sebagai bahan penerangan. Dengan jumlah sepuluh kamar, tentu satu liter minyak tanah tidak mencukupi sehingga kakek nenek selalu membeli minyak tanah jatah milik tetangga. Para tetangga cukup menggunakan ublik, pelita kecil home made yang terbuat dari kaleng bekas, tutupnya dilubangi untuk meletakkan sumbu sehingga bisa menjadi pelita di malam gelap.
Selain minyak tanah, kami mendapat jatah bulgur alias gandum kasar sebagai pengganti nasi juga. Sejujurnya, sekarang bahan pangan tersebut saya kira ayam pun tidak doyan. Eh, karena sayang jantung, saya sekarang juga gemar mengonsumsi gandum yang berganti nama menjadi sereal atau quaker oats merek recommended ... hah hah hah ....
Seingat saya banyak tetangga yang tiba-tiba hilang. Konon kabarnya dibunuh atau ditahan entah di bui mana. Bahkan ada yang dibuang ke Pulau Buru. Mereka dicurigai terlibat dalam partai terlarang. Ah, sebagai anak kecil, tahu apa saya? Yang saya tahu sebuah keluarga, tepatnya adik lelaki (almarhumah) istri kakek, tiba-tiba hilang, katanya karena terlibat. Sementara istrinya ditahan dan di-PHK secara sepihak. Tetiba ketiga putra-putrinya yang semula keluarga kaya raya berubah drastis menjadi sangat mengenaskan. Perekonomian terpuruk, bahkan dikucilkan masyarakat. Setelahnya hingga bertahun-tahun kemudian, mereka bertiga tidak bisa mencari pekerjaan karena keterlibatan orang tua mereka ke dalam partai terlarang itu. Akhirnya, mereka berjualan arang kayu di rumahnya. Sungguh begitu memprihatinkan sekali.
Satu hal yang masih saya ingat adalah dari sekolah kami ditugasi mencari biji mangga yang bertebaran di mana-mana. Nah, biji mangga yang disebut pelok tersebut diolah menjadi jenang, dodol, atau bubur. Memperoleh jatah makan bubur pelok merupakan hal mewah yang kami, anak-anak sukai. Karena itu, kami selalu beramai-ramai mencari dan menyetor pelok kepada guru kami.
Di sisi lain, ada hal yang sangat menyenangkan bagi saya. Dua  orang keluarga dekat kami jebolan IKIP Malang jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mereka berdua memiliki koleksi buku sastra satu almari penuh. Ya, mereka adalah kepala sekolah dan guru SPG yang indekos di rumah kami. Oleh karena itu, saya pun gemar membaca buku karya sastra tersebut macam Tenggelamnya Kapal van der Wijck novel karya Hamka terbitan tahun 1938. Buku yang saya baca cetakan kelima (tahun 1961).
Buku berusia lima tahun itu masih bagus karena terpelihara. Semua buku bersampul cokelat. Buku boleh dibaca, tetapi dengan catatan tidak boleh rusak, kotor, apalagi ditekuk. Dua kakak sepupu tersebut tampak senang melihat saya menyukai koleksinya. Walaupun novel dewasa, saya tetap melahapnya karena pada masa itu tidak disediakan bacaan untuk anak-anak. Maka, apa yang ada, itulah yang saya baca.
Nah, benar apa yang dinyatakan oleh istri Presiden George H. W. Bush ini. Jika kita mampu membaca sejak awal masuk sekolah, bahkan sebelum itu, tentu banyak hal yang bisa kita lakukan. Contoh konkretnya adalah saya sendiri yang sudah mampu membaca sejak sebelum bersekolah formal. Tradisi bisa membaca menulis sebelum bersekolah ini pun saya lanjutkan untuk ketiga jagoan kami. Bersyukur, mereka pun kini telah sukses berkarier, selangkah lebih majulah pokoknya. Â Inilah manfaat belajar membaca bersama sang Mama sebelum diajar guru di sekolahnya.
 "I'm a great believer that the most important years are the sort of early years but the preschool years and then into the first and second grades. If you get a good base in the first and second grade and you can read, you can do anything." (Barbara Bush)
(Saya sangat percaya bahwa tahun-tahun yang paling penting adalah tahun-tahun awal, tetapi tahun-tahun prasekolah dan kemudian ke kelas satu dan dua. Jika Anda mendapatkan dasar yang baik di kelas satu dan dua dan Anda bisa membaca, Anda bisa melakukan apa saja.)
Bayangkan, saya membacanya saat masih berusia sembilan atau sepuluh tahun. Sampai kini saya masih mengingatnya! Bukan hanya buku Hamka saja, melainkan Sitti Nurbaya, Salah Pilih, Pertemuan Jodoh, dan lain-lain. Namun, Tenggelamnya Kapal van der Wijck begitu mendapat tempat di hati saya. Alasannya? Karena judulnya unik dan susah dibaca hah haha ha ....
Novel tersebut semula merupakan cerita bersambung yang dimuat di majalah Pedoman Masyarakat, tempat penulis bekerja sebagai pimpinan redaksi tahun 1938, di Medan. Berlatar belakang kehidupan di Minangkabau, tanah asal penulis dengan masalah adat yang berlaku pada saat itu. Antara lain, perihal warisan, perjodohan dan kawin paksa, serta pertalian darah, dan status sosial yang sangat kuat berakar.
Novel ini laris di pasaran sejak cetakan pertama, hingga saat ini telah dicetak berkali-kali. Bahkan, Tenggelamnya Kapal van der Wijck ini menjadi bacaan sastra yang wajib dibaca pelajar di Indonesia dan Malaysia, sebab novel tersebut juga diterbitkan dalam bahasa Melayu. Melalui novel tersebut, penulis menyerukan persatuan bangsa untuk kaum pribumi, serta meninggalkan adat budaya yang tidak sesuai dan merugikan.
Pendekar Sutan membunuh Mamaknya (saudara laki-laki ibunya) karena masalah warisan sehingga ia harus dihukum dengan diasingkan ke luar dari Batipuh, Minangkabau dan dipenjara di Cilacap selama 12 tahun. Usai menjalani hukuman, Sutan pergi merantau ke Makassar dan berjumpa dengan wanita bernama Daeng Habibah. Ia lalu menikahinya. Mereka memiliki seorang putra yang dinamai Zainuddin.
Namun, tak lama setelah melahirkan, Daeng Habibah meninggal karena penyakit. Sutan pun menyusul tak lama setelah istrinya meninggal. Zainuddin yang hidup sebatang kara diasuh oleh Mak Base. Setelah dewasa, Zainuddin memutuskan pergi ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Minangkabau.
Akan tetapi, Zainuddin tidak disambut dengan baik oleh sanak keluarga sang ayah. Ia  malah diacuhkan. Hal itu karena ia memiliki darah ibu dari luar suku Minangkabau walau ayahnya berasal dari sana. Ia dianggap sudah terputus darah dengan keluarganya di Batipuh, sebab daerah Minangkabau menganggap wanitalah yang menjadi kepala keluarga (matrilineal) dan menjadi penyambung keturunan.
Di tempat yang baru itu, Zainuddin memiliki seorang teman bernama Hayati, wanita asal Minang yang kerap jadi tempatnya berkeluh kesah melalui surat. Kemudian lama-kelamaan keduanya saling suka. Apalagi, Hayati merasa kasihan pada Zainuddin yang terlunta-lunta.
Namun, percintaan antara Zainuddin dan Hayati kandas karena orang tua tidak merestui. Keluarga Hayati beranggapan bahwa Zainuddin, anak yang lahir dari perkawinan campur Minang dan Makasar, dianggap sebagai manusia yang tidak jelas asal-usulnya.
Mamak  Hayati menyuruh Zainuddin pergi keluar dari Batipuh karena tak suka dengan hubungan mereka. Zainuddin pun pergi ke Padang Panjang, meninggalkan Hayati yang berjanji untuk setia. Mamak Hayati kemudian menjodohkan wanita itu dengan Azis, pria Minang yang berasal dari keluarga terpandang serta kaya. Mau  tidak mau Hayati menerima pinangan Azis dan menikah dengannya.
Zainuddin yang mengetahui bahwa Hayati kekasihnya sudah menikah dengan pria lain, memutuskan pindah ke Batavia bersama Muluk temannya. Ia mulai menjadi penulis yang karya-karyanya disukai banyak orang. Setelahnya, ia kembali hijrah ke Surabaya, dan tinggal di sana dengan pekerjaan mapan.
Tak disangka, Azis pun pindah ke Surabaya bersama Hayati, istrinya. Namun, karena sering bertengkar, rumah tangga Azis dan Hayati terpaksa berpisah. Azis yang dipecat dari pekerjaan tak bisa lagi sombong dan terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Ia dan Hayati tinggal sementara di rumah mantan kekasih Hayati itu, yang kini sudah menjadi penulis terkenal.
Karena frustrasi, Azis memutuskan bunuh diri dan menuliskan surat wasiat untuk Zainuddin. Ia meminta Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin menolak menerima Hayati kembali karena sakit hati. Wanita  itu dianggapnya sudah mengkhianati dirinya. Ia malah membelikan Hayati sebuah tiket kapal Van Der Wijk yang berlayar dari Jawa ke Sumatera.
Dengan sedih karena suaminya meninggal dan Zainuddin menolaknya, Hayati pun pulang ke Minang. Di perjalanan, kapal Van Der Wijk tenggelam. Namun, sebagian penumpangnya berhasil diselamatkan di rumah sakit wilayah Tuban.
Zainuddin yang mendengar kabar tersebut segera berangkat ke Tuban untuk mencari Hayati. Di rumah sakit, ia menemukan Hayati sedang sekarat dan kemudian meninggal dunia.
Muluk, teman Zainuddin mengatakan bahwa Hayati sebenarnya masih mencintai Zainuddin. Mendengar hal itu, Zainuddin menyesali diri. Setelah memakamkan Hayati, Zainuddin dilanda kesedihan panjang dan jatuh sakit pula. Kondisi tubuhnya menjadi lemah, dan tak lama kemudian Zainuddin meninggal. Zainuddin dan Hayati dimakamkan berdampingan di tanah Jawa.
Kesan saya? Saat itu, saya merasakan betapa menderitanya wanita yang tidak direstui hubungan percintaannya oleh orang tua. Membaca novel tersebut, sungguh saat itu saya pun ikut menangis, menangisi perjalanan hidup dan cinta Hayati sang tokoh. Ternyata ketika dewasa, saya pun mengalami nasib mirip dengannya. Bukan keluarga saya yang menolak, melainkan sayalah yang ditolak keluarga kekasih. Inilah yang membuat saya terkesan sekali!
      Novel berikutnya yang sangat berkesan di hati saya berjudul Jalan Bandungan buah karya Nh. Dini. Novel ini saya baca ketika saya sudah menikah dan mengajar di salah sebuah sekolah. Karena ditugasi menjadi kepala perpustakaan, saya menjalin kerja sama dengan perpustakaan kota dan sering membawa murid ke tempat tersebut. Nah, saya pun berkesempatan membaca novel yang sangat menginspirasi itu. Novel ini menceritakan perjuangan Muryati melawan masa sulitnya. Kisahnya bermula saat ia bertemu dengan seorang pemuda bawahan ayahnya yang merupakan seorang jenderal perang. Pemuda tersebut bernama Widodo. Widodo kemudian melamar Muryati melalui ayahnya.
Sebagai seorang anak yang patuh, Muryati selalu memenuhi perintah ayahnya termasuk saat diminta ayahnya untuk menerima lamaran Widodo. Setelah pertunangan dilakukan, keduanya saling menjajaki untuk mengenal pribadi masing-masing. Karena ada perbedaan pandangan antara Widodo dan Muryati, gadis itu sempat ingin memutuskan pertunangannya. Bagi Muryati, Widodo adalah orang yang mempunyai pandangan sempit dalam menilai arti sebuah keluarga. Selain itu, Muryati juga merasa aneh karena Widodo tidak pernah sekalipun memperkenalkan mereka kepada keluarganya.
Widodo sering beralasan tidak jelas apabila ditanya mengenai keluarga. Meski begitu, Muryati tetap sabar hingga akhirnya mereka melangkah ke jenjang pernikahan.
Muryati awalnya bekerja sebagai seorang guru. Karena  keinginan suaminya ia terpaksa berhenti dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Alasan Widodo menyuruh Muryati berhenti menjadi seorang guru ialah karena Widodo merasa tersaingi dalam segi penghasilan. Widodo merasa dengan penghasilannya pun ia bisa menghidupi keluarga.
Dalam hal ini Widodo sungguh tidak berpikiran terbuka. Itulah  yang tidak disukai Muryati darinya. Tak hanya sampai di situ, masalah demi masalah terus muncul dalam rumah tangga Muryati dan Widodo.
Semakin lama, sikap Widodo semakin tertutup apabila Muryati bertanya tentang pekerjaannya. Widodo selalu pulang tanpa memberitahu terlebih dahulu akan pulang jam berapa, bahkan kadang tidak pulang berhari-hari. Sebagai seorang istri, tentu saja Muryati menginginkan keterbukaan dalam hubungan. Namun, Widodo tetap menjadi seseorang yang tertutup.
Hingga suatu hari, Muryati harus mengetahui sebuah fakta yang mengejutkan tentang suaminya. Widodo ditangkap oleh polisi karena terlibat dalam PKI (Partai Komunis Indonesia). Muryati sama sekali tak menyangka suaminya terlibat sebagai anggota aktif PKI. Setelah Widodo dipenjara, Muryati pun harus menghidupi ketiga anaknya sendirian.
Muryati yang hanya seorang ibu rumah tangga itu mulai mencari cara agar bisa menghidupi anak-anaknya. Lewat dukungan orang tua dan sahabat-sahabat baiknya saat SMA, Muryati bisa melalui masa-masa yang menyedihkan itu. Muryati kembali melamar ke beberapa sekolah untuk menjadi guru. Awalnya banyak sekolah yang menolak Muryati karena ia seorang istri anggota PKI. Namun, berkat kegigihannya, Muryati diterima untuk mengajar di sebuah sekolah.
Muryati mencoba bangkit dari keterpurukan demi ketiga anaknya. Sesekali Muryati mengajak anaknya untuk berkunjung ke sel, menemui ayahnya. Meski merasa kesal terhadap Widodo, ia tak pernah mengajarkan anak-anak untuk membenci ayahnya. Suatu hari, ketika Muryati berkunjung ke sel, ia mengajukan gugatan cerai pada Widodo. Hal itu merupakan keinginannya sejak dulu. Meski mereka sudah resmi bercerai, Muryati selalu menyuruh anak-anaknya untuk sering berkunjung menemui ayahnya di sel.
Singkat cerita, Muryati memperoleh pekerjaan dan kariernya mulai membaik. Pada suatu hari, Ganik sahabatnya yang bekerja di kedubes RI di Eropa meminta Muryati untuk ikut tes beasiswa sekolah di luar negeri. Muryati pun menurutinya dan berhasil mendapat beasiswa S-2 di Belanda. Ketika di Belanda, ia bertemu dengan adik iparnya yang bernama Handoko.
Handoko adalah seorang arsitek yang kala itu ditugaskan di Belanda untuk menyelesaikan suatu proyek. Muryati dan Handoko kemudian saling jatuh cinta dan mereka memutuskan untuk menikah di Indonesia. Setelah mendengar kabar pernikahan Muryati, Widodo tidak terima.
Setahun setelah pernikahan Muryati dengan Handoko, Widodo dibebaskan dari penjara. Ia terus mengunjungi Muryati, berharap bisa mengambil kembali hati Muryati. Akan tetapi, Muryati sudah bahagia dengan Handoko. Mereka berdua memiliki kecocokan. Handoko yang memiliki pemikiran terbuka menerima Muryati apa adanya. Mereka kemudian tinggal bersama di sebuah rumah peninggalan Ganik, sahabat Muryati, di Jalan Bandungan. Ya, Ganik sahabat baiknya itu meninggal dunia karena sakit, sementara kedua orang tuanya pun tewas dalam kecelakaan. Rumah di Jalan Bandungan hadiah Ganik itulah saksi kehidupan Muryati yang baru dan terus membaik.
Dalam novel ini Nh. Dini mendeskripsikan secara indah sehingga ada beberapa halaman yang saya tandai. Saya sangat terkesan oleh perjuangan sang tokoh dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Ketabahan, ketegaran, dan keteguhannya benar-benar menginspirasi saya. Begitulah harusnya menjadi wanita bermartabat. Aktif, kreatif, tidak mengenal lelah, dan tidak menyerah dalam kondisi apa pun. Saat dicela, dihina, dan dicap sebagai seseorang yang dianggap terlibat partai terlarang, geliatnya tidak pernah berkurang. Apalagi sebagai single parent yang harus bertanggung jawab menghidupi ketiga anaknya. Perjuangan yang luar biasa!
Saya juga terkesan seandainya itu benar-benar cerita nyata, sungguh hadiah di akhir cerita sangat melegakan. Setelah sekian lama terpuruk dengan cerita menyedihkan, pada akhirnya happy end yang diterimanya. Memang  layak, 'kan? Berlatar belakang masa susah zaman G 30 S PKI membuat saya menikmati pesan tersirat yang disampaikan. Saya mengalami masa itu dan melihat betapa sulitnya saudara yang tersangkut parpol itu bersosialisasi, apalagi menemukan pekerjaan layak.
Selanjutnya, beberapa bulan lalu, saya juga membaca dua buku yang juga sangat menginspirasi. Lagi-lagi tokohnya adalah wanita hebat dan kuat! Yang pertama berjudul Hairless (Gagasmedia, cetakan pertama 2011) dan kedua Reida Manurung: Beri Aku Waktu (Global Citra Media, cetakan pertama 2016). Kedua buku ini merupakan memoar penulisnya ketika menjadi survivor kanker. Pada Hairless Ranti Hannah menuliskan kisahnya melawan kanker payudara, sementara pada Reida Manurung: Beri Aku Waktu, menuliskan kisah nyatanya menjadi survivor kanker kulit stadium 4.
Saya sangat terkesan akan semangat dan perjuangan kedua wanita ini ketika mengalami hal terburuk dan dalam kondisi terpuruk. Mereka tetap mengandalkan Tuhan, bahkan menyemangati pasien lain agar tetap tegar dan tidak berputus asa dalam menanti keajaiban yang dianugerahkan Tuhan. Hati yang gembira adalah obat yang mujarab! Nah, membaca terutama buku-buku berkualitas bukan hanya menambah wawasan dan pengetahuan, melainkan juga menambah-nambahkan iman kepada Tuhan!Â
Demikianlah kesan yang saya peroleh saat saya membaca buku. Keempat buku ini, masing-masing tokoh sentralnya adalah wanita. Sungguh  sangat menginspirasi. Ini hanyalah sebagian kecil buku yang saya baca, tetapi lumayan terpatri di dalam hati.
Masih banyak hal belum saya sampaikan yang berasal dan bersumber dari buku lain. Bagi saya, membaca buku itu selain kulakan, juga merupakan sarana me time yang cerdas berkualitas. Karena itu, benar jika dikatakan bahwa buku adalah jendela dunia! Banyak berjalan banyak pula dilihat, banyak membaca tentulah banyak diketahui!
I wish thee as much pleasure in the reading, as I had in the writing. (Francis Quarles)
(Saya berharap Anda senang membaca, seperti yang saya tulis)
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI