Singkat cerita, Muryati memperoleh pekerjaan dan kariernya mulai membaik. Pada suatu hari, Ganik sahabatnya yang bekerja di kedubes RI di Eropa meminta Muryati untuk ikut tes beasiswa sekolah di luar negeri. Muryati pun menurutinya dan berhasil mendapat beasiswa S-2 di Belanda. Ketika di Belanda, ia bertemu dengan adik iparnya yang bernama Handoko.
Handoko adalah seorang arsitek yang kala itu ditugaskan di Belanda untuk menyelesaikan suatu proyek. Muryati dan Handoko kemudian saling jatuh cinta dan mereka memutuskan untuk menikah di Indonesia. Setelah mendengar kabar pernikahan Muryati, Widodo tidak terima.
Setahun setelah pernikahan Muryati dengan Handoko, Widodo dibebaskan dari penjara. Ia terus mengunjungi Muryati, berharap bisa mengambil kembali hati Muryati. Akan tetapi, Muryati sudah bahagia dengan Handoko. Mereka berdua memiliki kecocokan. Handoko yang memiliki pemikiran terbuka menerima Muryati apa adanya. Mereka kemudian tinggal bersama di sebuah rumah peninggalan Ganik, sahabat Muryati, di Jalan Bandungan. Ya, Ganik sahabat baiknya itu meninggal dunia karena sakit, sementara kedua orang tuanya pun tewas dalam kecelakaan. Rumah di Jalan Bandungan hadiah Ganik itulah saksi kehidupan Muryati yang baru dan terus membaik.
Dalam novel ini Nh. Dini mendeskripsikan secara indah sehingga ada beberapa halaman yang saya tandai. Saya sangat terkesan oleh perjuangan sang tokoh dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Ketabahan, ketegaran, dan keteguhannya benar-benar menginspirasi saya. Begitulah harusnya menjadi wanita bermartabat. Aktif, kreatif, tidak mengenal lelah, dan tidak menyerah dalam kondisi apa pun. Saat dicela, dihina, dan dicap sebagai seseorang yang dianggap terlibat partai terlarang, geliatnya tidak pernah berkurang. Apalagi sebagai single parent yang harus bertanggung jawab menghidupi ketiga anaknya. Perjuangan yang luar biasa!
Saya juga terkesan seandainya itu benar-benar cerita nyata, sungguh hadiah di akhir cerita sangat melegakan. Setelah sekian lama terpuruk dengan cerita menyedihkan, pada akhirnya happy end yang diterimanya. Memang  layak, 'kan? Berlatar belakang masa susah zaman G 30 S PKI membuat saya menikmati pesan tersirat yang disampaikan. Saya mengalami masa itu dan melihat betapa sulitnya saudara yang tersangkut parpol itu bersosialisasi, apalagi menemukan pekerjaan layak.
Selanjutnya, beberapa bulan lalu, saya juga membaca dua buku yang juga sangat menginspirasi. Lagi-lagi tokohnya adalah wanita hebat dan kuat! Yang pertama berjudul Hairless (Gagasmedia, cetakan pertama 2011) dan kedua Reida Manurung: Beri Aku Waktu (Global Citra Media, cetakan pertama 2016). Kedua buku ini merupakan memoar penulisnya ketika menjadi survivor kanker. Pada Hairless Ranti Hannah menuliskan kisahnya melawan kanker payudara, sementara pada Reida Manurung: Beri Aku Waktu, menuliskan kisah nyatanya menjadi survivor kanker kulit stadium 4.
Saya sangat terkesan akan semangat dan perjuangan kedua wanita ini ketika mengalami hal terburuk dan dalam kondisi terpuruk. Mereka tetap mengandalkan Tuhan, bahkan menyemangati pasien lain agar tetap tegar dan tidak berputus asa dalam menanti keajaiban yang dianugerahkan Tuhan. Hati yang gembira adalah obat yang mujarab! Nah, membaca terutama buku-buku berkualitas bukan hanya menambah wawasan dan pengetahuan, melainkan juga menambah-nambahkan iman kepada Tuhan!Â
Demikianlah kesan yang saya peroleh saat saya membaca buku. Keempat buku ini, masing-masing tokoh sentralnya adalah wanita. Sungguh  sangat menginspirasi. Ini hanyalah sebagian kecil buku yang saya baca, tetapi lumayan terpatri di dalam hati.
Masih banyak hal belum saya sampaikan yang berasal dan bersumber dari buku lain. Bagi saya, membaca buku itu selain kulakan, juga merupakan sarana me time yang cerdas berkualitas. Karena itu, benar jika dikatakan bahwa buku adalah jendela dunia! Banyak berjalan banyak pula dilihat, banyak membaca tentulah banyak diketahui!
I wish thee as much pleasure in the reading, as I had in the writing. (Francis Quarles)
(Saya berharap Anda senang membaca, seperti yang saya tulis)