Mungkin saja penolakan kedua orang tua Mas Yus itu karmaku. Akan tetapi, sejujurnya memang pertunangan dengan Mas Kun itu bukanlah atas kemauanku. Pertunangan terpaksa, tepatnya. Aku memang tidak mencintai apalagi menginginkan pertunangan itu. Maka, ketika aku tidak diizinkan melanjutkan kuliah sebagaimana kesepakatan sebelumnya, tentu saja aku gendro, melawan arus untuk membatalkan pertunangan seumur jagung itu. Sebenarnya bukan membatalkan, melainkan tepatnya meminta menunda pernikahan karena berbagai alasan. Satu di antaranya aku ingin melanjutkan kuliah, selain memang belum bisa memasak.
Nah, kalau kini aku merasa tertolak oleh keluarga Mas Yus, impaslah sudah. Ketika aku tidak mencintai seseorang yang tulus mencintaiku, aku menginginkan berpisah. Kini, ketika aku setengah mati  mencintai seseorang dengan setulus hati, ternyata aku pun harus merelakan berpisah dengannya. Impas, bukan? Nah, loh! Aku memetik buah perbuatanku sebelumnya!
Bagaimanapun, ternyata kelenjar tirta netra ini tidak bisa kuajak berkompromi. Kelenjar itu menumpahkan semua perbendaharaan air sehingga merembes tak terbendung melalui pipi mulus ini dengan deras. Mengakibatkan penglihatan makin memburam.
Beginilah bentuk karma itu! Tentu aku tidak dapat menyalahkan begitu saja perasaan hati ini. Cinta yang sedang tidak bersahabat denganku. Cinta yang harus kurelakan terlepas. Persis seperti cinta pertama saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Yah, dewa cinta yang tidak pernah berpihak kepadaku.
Cinta pertamaku memang berakhir dengan pilu. Cinta monyet yang  berlangsung beberapa tahun itu akhirnya pupus ketika si dia meninggalkanku. Si dia menikahi gadis yang berada di kota lain, tempatnya menimba ilmu.
Ya, karena terpaut setahun di atasku, saat aku naik ke kelas tiga SMP, Mas Wid cinta monyetku itu melanjutkan ke SPMA di Kota Madiun. Komunikasi dengan surat-menyurat berjalan lancar setahun pertama, dan mulai menyurut saat-saat selanjutnya. Ketika pulang ke kotaku, masih dua tiga kali dia sempat datang ke rumah. Namun, selanjutnya justru berita pernikahannyalah yang kudengar dari sahabat dekat yang mengetahui kabar dan memiliki foto pernikahan tersebut.
Ternyata, kini untuk kedua kalinya aku harus merelakan kepergian seseorang yang kucintai dan kusayangi sepenuh hati. Kalau pada pengalaman cinta remaja masa sebelumnya, aku bisa melewati masa-masa kegagalan cinta, kini pasti aku pun bisa. Aku yakin, bisa melewatinya! Biarlah untuk kesekian kalinya aku merasakan kegagalan dalam percintaan.
Cinta pertama dan berlanjut ke cinta remajaku sungguh berakhir dengan pilu. Namun, hidup masih harus terus berlanjut. Aku harus bisa melupakannya. Harus bisa move on!
Mulailah kulalui lembaran hidup ini tanpa tambatan hati. Aku mulai berfokus pada perkuliahan. Pagi hingga siang kuliah, pada jadwal tertentu mengajar di salah sebuah sekolah swasta, kadang membantu teman yang bekerja sebagai pramuniaga salah sebuah restoran yang melegenda. Di saat senggang lain mencoba mengambil sulaman atau kruistik sebagai perintang waktu sekaligus mencari tambahan uang saku.
Satu hobi yang tidak bisa kutinggalkan adalah mengikuti komunitas menulis, khususnya puisi. Walaupun tidak lagi berlama-lama seperti ketika masih memiliki hubungan spesial dengan Mas Yus. Apalagi kalau acara diadakan pada malam hari. Yang jelas sebelum pukul sembilan malam aku harus izin cabut lebih dulu. Sesuai peraturan yang tempat indekos terapkan.
Para anak indekos harus sampai di rumah sebelum pukul 21.00. Tamu yang berkunjung pun tidak boleh melewati waktu itu. Biasanya, pukul 20.45 ibu sepuh pemilik indekos berkeliling untuk mengontrol masing-masing penghuni kamar dan segera mengunci gerbang depan tepat waktu. Mau tidak mau, jika masih ada tamu yang berada di teras, harus segera hengkang dan berpamitan secara berjamaah apalagi kalau si ibu sepuh sudah siap di dekat gerbang dengan gembok pagar dan anak kunci bergemerincing itu. Â Time is over! Â Waktu berkunjung habis!Â