Sore sekitar pukul lima pesawat mendarat dengan mulus. Selama menunggu bagasi hampir satu jam, Bagus tetap membersamai Lisna. Setelah Lisna menguasai diri, bagasi milik mereka juga sudah berada di tangan, Bagus mengajak Lisna mencari rumah makan. Seharian perut belum terisi makanan membuat mereka seakan tanaman layu.
Setelah menikmati makanan dan minuman hangat, Lisna tampak lebih baik. Sepiring nasi soto Lamongan yang ada di seputar bandara ternyata lumayan enak.
"Tujuanmu mau ke mana?" tanya Bagus.
"Ceritanya panjang. Intinya aku sedang melarikan diri dari sebuah pengkhianatan!" jawab Lisna pelan.
"Adakah tempat yang bisa kau tuju di kota ini?" tanya Bagus menginterogasi. Lisna menggeleng perlahan.
"Namanya saja orang minggat, maka aku tidak tahu ke mana arah tujuanku melangkah!" jawab Lisna lirih.
Bagus pun tertawa. Lisna kaget, tetapi kemudian tersenyum.
"Kau nggak nanya ke mana tujuanku?" Bagus gencar bertanya. Lisna pun hanya menggeleng.
"Ok. Aku akan menjawab pertanyaanku sendiri. Dengarkan, ya!" Bagus mencoba mencairkan suasana.
"Aku mendapatkan pekerjaan baru di sini. Nah, aku akan mendapatkan rumah dinas. Pertanyaanku, sekarang ... "
"Apa?" Lisna membelalak sebelum Bagus melanjutkan.