Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Singgah untuk Minum

24 April 2024   13:08 Diperbarui: 24 April 2024   13:10 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Singgah untuk Minum

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

Masa kecil penulis oleh orang tua selalu diminta menyiapkan air minum matang di kendhi kemudian diletakkan di tempat khusus yang sudah dipersiapkan di pagar atau di regol gerbang rumah. Maksudnya, agar siapa pun yang berjalan kaki bisa singgah untuk menghilangkan haus secara gratis. Selalu disediakan tempat duduk pula. Para pejalan kaki di sepanjang jalan pedesaan itu selalu dipersilakan singgah untuk sekadar melepas lelah dan memuaskan rasa dahaganya setelah menempuh perjalanan jauh. Maklum, alat transportasi sangat minim dan jarak antara satu desa ke desa lain cukup jauh melewati areal persawahan atau perkebunan tebu. Rasa peduli begitu lekat dengan penduduk desa sehingga hampir di setiap pagar rumah selalu disiapkan minuman alami gratis itu.

Dahulu, setiap musafir rasanya selalu bertoleransi. Bahkan masing-masing pemilik rumah seperti diceritakan di atas berkenan mengantisipasi para musafir dengan cara menyiapkan air putih sekadar pelepas dahaga dan tempat duduk di setiap gerbang. Ada kepedulian antarsesama yang membuat hidup terasa aman dan nyaman.

Namun, keamanan dan kenyamanan dalam perjalanan itu kini sudah punah. Masing-masing musafir yang bepergian harus mempersiapkan bekal sedemikian rupa agar tidak kehausan dan kelaparan di perjalanan. Di samping itu, masih perlu diperlengkapi dengan kewaspadaan superekstra karena banyaknya penjahat yang acapkali menyamar sebagai dewa penolong.

Saat bepergian ke tempat lain apalagi seorang diri harus berhati-hati. Dalam perjalanan berjumpa dengan berbagai tipe orang dan berbagai tujuan pula. Memercayai orang lain apalagi yang baru saja dikenal di perjalanan juga sangat riskan.

Memang, kadang bertentangan dengan hati nurani. Misalnya, masak sih kita tidak berkenalan atau paling tidak bertegur sapa? Jika 'diam' terkesan sombong, tetapi cukup tebersit rasa takut jangan-jangan kita berhadapan dengan penjahat itu sendiri. Bukankah penjahat pun bisa berpenampilan begitu baik, rapi, elegan, sopan, dan tampak saleh? Sungguh dilematis!

Mendengar cerita beberapa teman, saudara, dan juga membaca media cetak, kita makin mengenal berbagai modus operandi penjahat. Misalnya, ada yang memberikan minuman selama dalam perjalanan. Seolah-olah berperan sebagai malaikat yang 'baik hati'. Ternyata, minuman itu mengandung obat tertentu yang dapat membius (bahkan hingga pingsan) sehingga pemberi minum (yang ternyata penjahat) itu dapat dengan leluasa menguras harta korban.

Ada juga dengan bersekongkol dengan beberapa orang di angkutan umum, misalnya di mikrolet. Salah satu penjahat sengaja menjatuhkan uang receh sehingga penumpang di sebelahnya membantu memunguti uang yang berjatuhan. Saat itulah tanpa disadari dompetnya sendiri telah 'berpindah' secara cepat karena pencopet di sebelahnya begitu lihai.  

Model  hipnotis juga marak terjadi. Berpura-pura sebagai dukun sakti, berdalih 'menyelamatkan' harta korban, padahal merampoknya. Ataupun  gendam sehingga korban tidak menyadari hartanya telah beralih tangan. Belum lagi aneka tipuan via sms yang menguras ATM korbannya. Trik-trik penjahat itu harus diwaspadai baik oleh pengguna angkutan umum termasuk masyarakat awam.

Akhir-akhir ini kejahatan kian merajalela bukan hanya menimpa para musafir, melainkan juga yang tidak sedang bepergian. Perampokan toko emas, nasabah bank, dan rumah kosong menjadi topik tiap hari. Bahkan berbagai tipuan mengatasnamakan pembagian hadiah gratis, atau kerja part timer di dunia virtual, ternyata merupakan sindikat penipu yang membodohi dan menguras dana korban.

Implikasinya, selalu waspada dan berusaha meminimalisasi terjadinya kejahatan dengan meminta dukungan pihak kepolisian. Memang, musibah bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Namun, antisipasi masih relevan kita lakukan agar keselamatan dan keamanan diri terjaga secara prima.

Sejak dulu, para orang tua juga menasihatkan bahwa hidup ini bagaikan musafir yang singgah minum. Kita sebagai musafir dan sekaligus pemudik! Ya, mau tidak mau harus bersiap 'pulang' kembali ke kekekalan. Hidup di dunia ini Hania sementara waktu saja bagaikan sedang singgah untuk minum.

Perjalanan panjang masih akan dilakukan kembali, entah di dunia yang seperti apa. Untuk itu, jika kita mengingat bahwa suatu saat kita pasti 'pulang' kembali kepada Sang Pencipta dan harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan di dunia ini, ada baiknya kita segera berbenah diri.

Barangkali di tengah perjalanan hidup ini kita pun berlaku curang dan culas sehingga merugikan sesama. Barangkali pula kita belum memberikan sebagian bekal kita kepada sesama saat sesama kelaparan di perjalanan. Atau mungkin kita malah mencelakakan dan mengorbankan sesama kita?

Barangkali ada baiknya kita menengok ke belakang sejenak, kalau-kalau masih ada yang perlu kita benahi. Barangkali kita harus mengatur ulang persiapan perbekalan kerohanian agar kelak kita sampai pada terminal terakhir.Mari kita berintrospeksi: adakah kita sebagai musafir yang berjalan secara bijak?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun