Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kala Keladi dan Kelapa Menua

23 April 2024   19:57 Diperbarui: 23 April 2024   20:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada hal-hal penting saat di SD. Pertama, lingkunganku menyediakan fasilitas hingga aku gemar membaca. Dua sepupuku, lelaki dan perempuan, jebolan Bahasa Indonesia IKIP Malang, memiliki selemari buku sastra karya sastrawan terkenal. Usia SD itu aku sudah menyantap Siti Nurbaya, Salah Pilih, Pertemuan Jodoh, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan lain-lain. Sejak saat itu aku gila membaca, terutama novel. Dalam hatiku, "Kali ini aku baca novel orang lain, suatu saat kelak, orang lain harus membaca novel karyaku!"

Kedua, mulai bertumbuhnya kemampuanku menulis dan membaca puisi atas bimbingan guru agama saat duduk di kelas 3. Sejak saat diajak mengikuti lomba baca puisi di mana-mana dan berhasil menjadi finalis bahkan menjuarai seni deklamasi itu, mulailah kegemaran menulis dan membaca puisiku terasah. Apalagi ketika di SMP khusus ditangani oleh guru Bahasa Indonesia dengan les privat sepulang sekolah, kian melejit saja hasil karya sastraku genre puisi ini. Selanjutnya, di SLTA tepatnya di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) kemampuan menulisku kian terasah karena dipercaya mengelola mading (majalah dinding). Cerpen perdanaku berjudul "Gempa," kutulis saat kelas 2 (tahun 1974) menceritakan korban gempa bumi. Kondisi rumah penduduk rata dengan tanah, padahal sekuat-kuatnya gempa paling hanya membuat retakan di dinding. Ternyata imajinasi liarku tersebut terjadi di Aceh dengan petaka tsunami tahun 2000. Hmmm, 26 tahun sebelum kejadian sudah menjadi karya secara luar biasa!

Sebagai hadiah menjadi lulusan terbaik kala itu, aku memperoleh tawaran diangkat menjadi guru SD di daerah pegunungan. Tentu saja aku memprotes, menolak, dan meminta diberi kesempatan berkuliah di IKIP Malang. Kakek nenek mendukung cita-citaku, tetapi tidak mampu membiayai kuliahku karena ketiadaan dana. Namun, aku ngotot ingin melanjutkan ke perguruan tinggi tempat kedua sepupuku dididik itu. Di samping karena nilaiku tertinggi, aku menghindari mengajar SD. Pengalaman mengajar saat berpraktik di SD membuatku trauma dan memutuskan tidak ingin mengajar di tingkat SD.

Kebetulan ada kerabat yang mengajak ikut daftar sekaligus tes di IKIP Malang. Terpujilah Tuhan, aku diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Dengan cara ngenger alias ikut nebeng keluarga, tepatnya di rumah adik ayah kandung yang tinggal dekat kampus IKIP Malang, aku memberanikan diri berkuliah. Salah satu support system-ku adalah ayah kandung yang tinggal di kota sama, tetapi aku tidak ikut beliau. Beliau yang purnawirawan ABRI hanya memberiku dana sekadar dan semampunya. Sangat bersyukur, sejak semester pertama aku memperoleh beasiswa sehingga masalah SPP praktis teratasi.

Kenangan terunik saat itu adalah kakek nenek yang hanya mengirim wesel pos semampunya. Pernah suatu saat aku memperoleh kiriman Rp1.250,00 kukira Rp12.500,00 hingga aku menangis karena malu. Ternyata, kiriman tidak cukup untuk hidup. Beasiswaku saat itu per bulan Rp13.500,00 diterimakan setahun sekali. Sebagai perbandingan biaya hidup per hari Rp100,00 untuk beli lauk pauk. Beras dikirim per bulan 10 kg dan kelapa 5 butir dititipkan lewat teman yang rutin mengambil jatah sembako.

Aku juga tidak bertopang dagu, tetapi bekerja part time sebagai guru honorer di salah satu sekolah swasta atas rekomendasi salah seorang dosenku. Di sela-sela jam perkuliahan, aku juga mengambil sulaman kruistik dan ikut salah satu penjahit bagian menjelujur dan menyetrika. Dengan demikian, aku bisa menyelesaikan masalah dana hidup.

Menjahit adalah sisi lain dari bagian puzzle hidupku. Keterampilan itu kuperoleh otodidak karena bibi yang tinggal bersama kakek nenek adalah penjahit. Karena itu, sejak remaja aku sudah bisa menjahit baju secara mandiri. Ketika purnabakti, tahun pertama dan kedua kuisi dengan menjahit lebih dari seratus baju: kemeja, kebaya, daster, blus, untuk kubagikan kepada para kelinci percobaanku.

Saat berkuliah aku mulai mengenal cinta. Ya, cinta tulus yang tidak berjalan mulus. Kedua orang tua pacar tidak merestui hubungan kami, hanya karena masalah bibit, bebed, dan bobot. Aku yang terlahir sebagai 'anak haram' karena ayah bundaku tidak terikat pernikahan, membuatku sebagai gadis broken home. Beruntung tidak broken heart pula oleh penolakan camer, calon mertua. Aku hadapi dengan pasrah diri saja. Kalau Tuhan menciptakanku, pasti memberiku jodoh sepadan.

Ketika semester lima, mata kuliahku sudah habis sehingga semester enam tinggal persiapan menulis skripsi. Namun, ada seseorang yang mengajakku menikah dengan cara ajaib. Ya, sangat ajaib karena aku tidak mengenal sebelumnya.

Akhir semester itu aku selesai melaksanakan PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di SMPN Kepanjen. Harus naik bus dan angkot. Namun, aku lupa tidak memiliki dana cukup. Paginya, aku harus membayar uang makan pacarku di warung depan indekos sehingga uangku untuk ongkos bus pulang ke Malang tidak cukup.

Oleh guru pamong, aku dititipkan guru yang bersepeda motor ke Malang. Nah, tepat sesampai di depan indekos, pacarku melihat aku dibonceng seorang lelaki. Padahal, beliau guru SMP Kepanjen yang berkenan memboncengku hingga sampai indekos. Beliau mengizinkanku menumpang atas desakan guru pamong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun