Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kala Keladi dan Kelapa Menua

23 April 2024   19:57 Diperbarui: 23 April 2024   20:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kala Keladi dan Kelapa Menua

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Smile is always the best way to present the world that you're strong and ready to face any problem."

#

Pernah 'kan mendengar karmina, si pantun kilat itu, yang berbunyi, "Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi." Atau, "Tua-tua kelapa, makin tua banyak santannya?" Demikian pulalah dengan kisah hidupku.

Ya, aku perempuan yang tak lagi muda. Namun, tidak dengan semangatku yang makin menggelora. Aku lahir dengan membawa sejuta cerita penuh derita dari keluarga tak utuh, bahkan berantakan. Kisah kelabu yang mengharu biru. Namun, kini aku tidak peduli dengan semua itu.

"Adaku bukan karenaku!" begitu pesan spesial Kepsek SLTA-ku sekaligus kerabat yang sanggup dan sangat menguatkan dari keterpurukanku. Kalimat azimat yang sarat nasihat dan pekat berhikmat untuk selalu kupegang erat-erat!

Kakek nenek selaku orang tua pengganti dan pengasuhku, memberiku nama Ninik Sirtufi Laely Herwanti Rahayu. Akan tetapi, ketika mendaftar mandiri, nama itu hanya ditangkap dan direkam tiga kata oleh guru SD petugas pendaftaran siswa kelas satu. Lahir pada akhir bulan November, aku dibesarkan dengan penuh cinta oleh mereka di sebuah desa kecil. Desa yang terkenal dengan produksi batik tulis halus, di area dataran rendah dengan persawahan luas yang sejuk, aman, nyaman, tentram, dan damai, terlebih dengan suasana hangat kekeluargaan.

Karena kakek kepala sekolah, jauh di daerah pegunungan, sejak usia lima tahunan, setiap hari aku ikut ke sekolah. Dibonceng bukan di sadel belakang, melainkan di kursi rotan khusus yang diletakkan di setang sepeda. Hmm, saat itu belum ada TK, jadi aku layaknya siswa terkecil yang ikut duduk manis di deret kursi terdepan. Siswa pupuk bawang, penumpang gelap di kelas, ahahaha! Agar bisa duduk di kursi lumayan tinggi, bahkan aku dibekali bantal oleh nenek hingga bisa duduk nyaman. Karena itu, tak heran jika pada usia 6 tahun aku sudah lancar calistung, baca tulis dan hitung.

Kakek pensiun tepat ketika aku usia sekolah. Enam tahun yang dituakan satu tahun karena harus usia tujuh tahun katanya. Saat tangan kiri melingkari atas kepala bisa menjangkau telinga kanan atau sebaliknya. Hehe, lucu. Cobalah kita jangkau telinga kiri dengan menggunakan tangan kanan atau sebaliknya melalui kepala. Begitulah ukuran umur sekolah saat itu.

Mulailah aku masuk kelas satu. Namun, ternyata aku bikin ulah. Bosan, kesal, dan tidak tahan diajari membaca mengeja karena sudah mampu membaca koran. Aku ngisruh dan akibatnya dimasukkan ke kelas dua. Munggah gantungan, alias naik percobaan kata mereka. Kelas akselerasi. Bersyukur, kisah pendidikanku berjalan mulus. Sejak SD hingga SLTA aku selalu memperoleh nilai dan peringkat tertinggi di tiap jenjang pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun