Demikian pula keinginan Papa untuk memiliki putra yang melanjutkan karier bekerja di suatu bank pun terlaksana. Karena peristiwa menyedihkan, Papa terpaksa keluar dari salah sebuah bank saat kariernya memuncak. Sakit  hatinya disampaikan melalui doa, berharap putra kami ada yang melanjutkan karier sebagai akuntan dan bankir. Terpujilah nama-Nya Yang Mahamulia karena sulung dan putra kedua memiliki kepiawaian di bidang tersebut. Persis seperti cita-cita ayahnya!
Nak, Mama sadar bahwa Mama berasal dari desa yang dengan perjuangan keras bisa mandiri. Nah, mandiri dan tidak pernah menghina seseorang adalah hal yang Mama inginkan kalian miliki. Memiliki rasa empati dan simpati, termasuk welas asih sangat Mama harapkan. Ternyata, suatu saat mata Mama dicelikkan oleh  sikap, sifat, dan perlakuan kalian terhadap orang kecil. Kalian membuka mata hati kami bahwa apa yang sudah kami tanamkan sejak dini, ternyata mendarah daging di dalam kehidupan kalian.
Mas Dokter, si bungsu, yang membuat Mama Papa bangga karena menggratiskan biaya pengobatan pasien yang memerlukan, persis seperti yang alm. dr. Atmodjo lakukan. Hatinya yang baik, peramah, dan penyabar ... sungguh fotokopi sang almarhum yang ketika ketiga putra kami masih balita dikiriminya mainan alat kedokteran. Mungkin, saat itu beliau pun menitipkan pesan tersirat agar profesinya menurun kepada putra kami. Hal yang sangat tidak kami sadari, ternyata bungsu memegang tongkat estafet itu.
Si sulung yang mengambil alih peran pendampingan dan pendanaan studi lanjut untuk adik ipar tiri yang ditinggalkan ayah kandungnya menikah lagi pun menjadi bukti bahwa putra kami ini berjiwa luar biasa. Titik tirta netra Mama menuliskan kemuliaan hatimu ini, Nak! Kesuksesanmu itu tidak kaunikmati sendiri, tetapi kaubagikan pula kepada yang memerlukannya.
Sementara si tengah yang lebih pendiam pun tidak kalah hebat perjuangannya. Konon kalau masalah beri-memberi dialah jagonya. Tidak perlu diberi tahu dan memberi tahu, otomatis dilakukannya. Termasuk, dana yang ditransfer khusus buat kami untuk makan enak, katanya.
Â
Ketiga kalian adalah putra yang sangat kami banggakan. Kalian telah berhasil membahagiakan hati kami di masa tua kami ini. Semua harapan yang kami jadikan asa saat lalu, telah kalian wujudkan.
Tahukah, Nak? Saat ini ketika Mama Papa sudah purna, kami begitu lega. Hati kami senantiasa bersyukur mendengar berita tentang kalian yang peduli dan rendah hati. Kami selalu terhenyak manakala teman-teman baik kalian menceritakan bagaimana perhatian kalian terhadap mereka. Maka, hingga saat ini kami tetap mendoakan dan menyebut nama kalian satu per satu sambil tetap memohon pinter, wasis, wicaksono, mursid, dan sampurno.
"Love your parents. We are so busy growing up, we often forget that our parents are growing old." Kata bijak ini sangat tepat untuk mengakhiri cerita Mama; pesan kami buat kalian bertiga, jagoan luar biasa harta terindah milik kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H