Saat anyang-anyangen itu Mama menangis bukan hanya karena kesakitan, melainkan memohon dengan rendah hati kepada Tuhan yang merenda ragamu dan menciptakanmu berada di rahim Mama. Ya, Mama ingin setidaknya kelak kalian menghargai dan menghormati perjuangan Mama. Perjuangan Papa yang mencari nafkah bagi kita selama Mama tidak bisa menghasilkan uang karena sedang berbadan dua.
Sejak triwulan pertama, tubuh Mama mulai beradaptasi dengan kehadiran dan keberadaanmu di rahim Mama. Rasa luar biasa dan pengorbanan untuk tetap bisa makan dengan asupan gizi bagus sangat menyita waktu dan pikiran. Setiap rama mual itu datang, setiap apa yang Mama makan harus tumpah, Mama tetap bertahan untuk makan. Ya, sesulit apa pun, sepahit apa pun, Mama harus makan karena bukan hanya Mama, melainkan juga dirimu harus menerima asupan gizi terbaik.
Pada triwulan kedua, tendangan dan gerakanmu yang membuat Mama geli juga harus Mama syukuri. Semakin hari kepandaian gerakanmu kian nyata. Tahukah kalian, Nak? Kebahagiaan luar biasa yang Mama rasakan atas makhluk mungil kecintaan kami berdua. Saat itu belum ada USG, tetapi kami sudah menetapkan nama buatmu, karena kami yakin bahwa kalian adalah jagoan kecil kami.Â
Memasuki triwulan ketiga, secara manusia penderitaan memang kian mendera. Akan tetapi, dibandingkan dengan penantian kehadiranmu di dunia, derita selama hamil itu bukanlah apa-apa. Hal biasa bagi setiap wanita yang diberi anugerah hamil dan melahirkan. Jadi, yang ada adalah rasa bangga dan bahagia semata.
Karena Mama menikah muda dan kurang memperoleh akses bacaan saat itu, Mama tidak tahu bagaimana melahirkan nanti, dan tidak seorang pun memberi tahu Mama bagaimana harus menghadapinya. Para orang tua di lingkungan Mama, Mbah Putri dan Mbah Buyutmu pun tidak pernah memberitahukan masalah persalinan karena mereka pikir toh semua wanita hamil akan mengalaminya. Jadi, Mama bagai katak di dalam tempurung!
Hingga akhirnya, Mama merasa malam itu ada cairan hangat yang keluar. Nah, Mbah Putri meminta Papa mengantar Mama ke rumah sakit bersepeda motor. Mama hanya dilapisi dua kain saja tanpa diberi tahu harus membawa perlengkapan apa pun. Namun, Mama merasa harus membawa baju baik untuk Mama maupun untuk calon putra kami. Beberapa helai baju bayi sudah kami beli dari toko beberapa saat sebelumnya.
Sampai di rumah sakit bersalin, ada sedikit drama yang jika Mama ingat membuat tertawa. Ya, karena takut, Mama bersembunyi di balik pintu. Akhirnya, ditemukan salah seorang perawat. Singkat cerita, Mama diajari kok bagaimana menghadapi masa itu.
Luar biasanya adalah dokter yang menangani, saudara teman akrab Papa, almarhum dr. Atmodjo, begitu sabar dan gratis! Bahkan, resep dokter pun atas nama beliau sehingga tak sepeser pun kami membayar. Luar biasa, bukan?
Atas kebaikan dokter inilah diam-diam Mama memohon kepada-Nya agar kelak putra Mama menjadi seorang dokter yang baik hati dan murah hati seperti itu.
Nah, ternyata Mama melahirkan dengan cara normal, tanpa jahitan sama sekali. Bahkan, dua puluh bulan kemudian, Mama melahirkan putra kedua! Baik putra pertama maupun putra kedua adalah jagoan yang sangat tampan dan menggemaskan!
"My hope is to raise my children so that they love themselves so fiercely that they refuse to settle for anything less than they deserve." Berharap mampu membesarkan anak-anak agar mereka mencintai diri mereka sendiri sehingga menolak menerima sesuatu yang kurang pantas mereka dapatkan. Itulah harapan sejati seorang ibu.