Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tukang Becak

18 April 2024   03:34 Diperbarui: 18 April 2024   03:37 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 Malam itu hati Andin sangat sedih. Pasien yang ditunggu semakin menurun kondisinya. Maka ia bertekad untuk pulang pagi itu hendak mengikuti ibadah di gereja. Biasanya ibadah pagi dilakukan pukul 05.00 dipimpin langsung oleh Ibu Pendeta.

Beberapa hari ini ia tak dapat memicingkan mata barang sedetik pun. Diperhatikan agar selang infus jangan sampai kehabisan. Demikian juga dengan tabung oksigen yang masih terpasang melintang di atas bibir pasien.

Jarum arloji menunjuk angka 03.50.  Bergegas keluar dari kamar rawat inap, disambarnya tas tangan dan dikalungkan keplek id card-nya. Penjaga pasien kamar sebelah mendongakkan kepala tatkala wanita mungil itu berusaha melewati tanpa suara. Dengan bahasa isyarat, diberitakan bahwa hendak keluar. 

Dengan terburu-buru wanita bercelana jeans itu melapor kepada security di pintu gerbang, meminta izin keluar area rumah sakit.

             "Masih terlalu pagi, Mbak. Kenapa nggak nunggu satu jam lagi?" tanya salah seorang security sambil membetulkan letak buku laporan.

             "Nggak, Pak. Acaranya pukul 05.00, jadi harus bersiap-siap dulu. Nanti selesai segera bali, kok!" alasannya.

            Tanpa menoleh lagi, dikejarnya waktu dengan langkah pasti. Dilewatinya  area ruang  jenazah yang terletak di pojok barat. Wangi puluhan melati yang mekar bersamaan di sekitar pagar pembatas antara taman dan ruang pangrukti layon itu memberi sensasi tersendiri. Semakin  dipercepat langkah menjauhi area rumah sakit.

Di pengkolan jalan terdekat dilihat seorang tukang becak sedang mangkal. Tanpa menawar, ia langsung  naik ke becak.

            "Klampok Kasri, Pak!"

            Tukang becak segera mengayuh tanpa suara. Wanita yang sesehari berprofesi sebagai guru itu kedinginan. Baru disadari bahwa jaketnya tertinggal di sandaran kursi ruang rawat inap. Beruntung scarf  lembut masih melilit leher. Untuk mengusir dingin, kedua lengan di-sedakep-kan di depan dada.

Becak terasa berjalan sangat lambat. Pengayuh becak sama sekali tidak berbicara. Hanya  desah napas diselingi derit pedal jelas terdengar. Maka, diusirnya sepi dengan memuji Tuhan. Beberapa lagu rohani yang dihafal disenandungkan penuh penghayatan. Sambil kedua telapak kaki ikut membirama.

Jalanan sangat sepi. Tidak ada satu kendaraan pun yang berpapasan dengannya. Melewati jalur kota yang biasanya ramai, kini terasa sangat sunyi. Jalan terasa sangat lapang dan lengang.

            Sesampai perempatan yang terkenal dengan sebutan Beadrik _ mungkin aslinya Beatrik_ , jalanan agak naik. Tukang becak turun dan mendorong becaknya dengan berat. Tiba-tiba ban becak kempes sehingga tampak kesulitan mendorongnya.

Wanita berkaos pink lengan panjang made in Jerman, warisan dari salah seorang saudara saat pulang mudik sejenak ke tanah air, itu tahu diri. Tanpa dikomando melompat turun. Karena merasa agak dekat dengan rumah, dikatakannya cukup sampai di tempat itu saja. Sambil berniat berolahraga dan mengusir dingin, ia berinisiatif melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Diambilnya  dompet dan diberikan sejumlah uang lelah kepada tukang becak itu.

Setelah menerima uang, tentu tak lagi diperhatikan roda kempes becaknya. Dia duduk di sebuah batu besar yang ada di tempat sepi itu. Sepintas dilihat sangat kelelahan.

Dahi Andin mengernyit. Mengapa tukang becak ini tidak mengucapkan sepatah kata pun? Meski diulurkannya tangan memberikan sejumlah uang sambil mengucapkan terima kasih, itu pun tidak direspons.  Sambil menyisir rambut dengan jari tangan, dicoba memahami dan tak berburuk sangka. Bisa jadi si tukang becak tunawicara, bukan?

Dilanjutkan perjalanan dengan agak berlari. Satu kilometer lagi toh sudah sampai. Tinggal belok kanan melewati gang kampung. Sudah  agak remang menuju terang. Arloji menunjuk angka 04.20.

Tetiba terdengar deru mesin sepeda motor dari belakang. Mengetahui berjalan sendiri, pengendara bertanya.

"Mbak Andin? Dari mana pagi-pagi begini, kok sendirian?" Tetangganya, petugas Kamling sedang berkeliling.

"Dari rumah sakit, Mas! Jaga malam!"

"Oohh, ... naik apa tadi?"

"Becak. Turun di situ tuh ... barusan!"  Sambil menunjuk tempat dia berhenti.

"Mbak jangan bercanda, ya! Aku nggak lihat ada becak di situ!"

"Ada. Aku barusan turun. Bannya kempes malah!" Tangannya menunjuk arah belakang tempat becak berhenti.  

Benar, ternyata tidak ada becak di sana! Baru tersadar. Sisi  kiri kanan tempat itu adalah makam terluas.   

"Oh!" dikatupkannya telapak tangan membekap mulut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun