Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cinta Fitri sebagai Solusi

14 April 2024   23:40 Diperbarui: 14 April 2024   23:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta Fitri sebagai Solusi 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Izinkan penulis membagikan artikel lawas yang ditulis beberapa tahun silam. Artikel yang penulis buat dalam rangka mengatasi kesulitan mencari bahan pembelajaran materi sastra Indonesia di sekolah pinggiran.  Kala itu sekitar tahun 2009 ketika maraknya penayangan sinetron atau telenovela ala Indonesia bertajuk Cinta Fitri.  

Materi pembelajaran Bahasa Indonesia meliputi materi bahasa dan sastra Indonesia. Oleh karenanya, mau tidak mau, suka tidak suka, dan bahkan bisa tidak bisa guru bahasa Indonesia harus mengajarkan materi Sastra Indonesia ini. Bagi guru yang tidak menyukai materi sastra, hal ini tentu akan menjadi beban tersendiri. Namun, guru dapat memanfaatkan moment atau peristiwa penting yang terjadi di sekitar kita.

Salah satu di antara materi sastra yang harus disampaikan kepada siswa adalah unsur intrinsik sastra. Sebagai unsur pembangun yang berasal dari dalam cerita, unsur tersebut dapat dipilah menjadi beberapa bagian, yakni (1) tema, (2) alur (plot), (3) setting (latar) yang meliputi latar waktu, tempat, dan suasana, (4) tokoh/penokohan, (5) watak tokoh/karakter dan cara penggambaran karakter tokoh tersebut, (6) amanat (pesan), (7) sudut pandang, dan (8) gaya (bahasa dan penyajian). Sementara, unsur nilai yang meliputi berbagai nilai dalam kehidupan seperti (a) nilai moral, (b) nilai religi, (c) nilai sosial, dan (d) nilai budaya seringkali dimasukkan ke dalam unsur ekstrinsik sastra. Untuk mengingat unsur-unsur ini penulis memanfaatkan jembatan keledai "Telur sekotak mana udangnya atau TALToWAS" sebagai akronim dari beberapa unsur di atas (Malang Post, Minggu 12 April 2009)

Materi sastra kelas sembilan SMP/MTs di antaranya adalah menemukan nilai kehidupan yang terdapat di dalam cerita pendek (cerpen). Jika semua siswa memiliki motivasi gemar membaca, materi ini dapat menjadi materi favorit yang ditunggu-tunggu baik oleh siswa maupun guru. Sebaliknya, jika siswa kita adalah siswa sekolah pinggiran yang notabene memiliki motivasi belajar kurang memuaskan dan bukan sebagai siswa yang gemar membaca, menjadi materi tersulit baik bagi guru maupun siswa (terima kasih khusus buat Ibu Edi Puspito guru Bahasa Indonesia SMP PGRI 3 Malang atas curhatnya)

Menonton  televisi (baca: sinetron) bagi masyarakat merupakan agenda rutin yang tidak dapat ditinggalkan. Budaya tersebut cukup mendarah daging sehingga hampir setiap keluarga pasti akan menyalakan TV pada saat-saat jam belajar antara pukul 18.00 hingga 21.00 bahkan mungkin juga melebihi jam tersebut. Kepentingan anak-anak yang masih berada pada usia sekolah seringkali terkalahkan. Belum lagi jika si anak tidak memiliki kamar sendiri, alias belajar di ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga. Dapat dipastikan bahwa jam belajar anak akan terbuang sia-sia karena anak-anak tersebut 'harus' menikmati sajian tontonan yang lebih mengasyikkan.

Pada jam-jam belajar tersebut, pada umumnya setiap stasiun televisi pemerintah maupun swasta tidak ada yang menyiarkan acara anak-anak atau siaran pendidikan. Acara yang ada biasanya adalah sinetron, sementara acara pendidikan disiarkan pada jam-jam tayang yang tidak selalu ditonton anak yang berstatus siswa. Taruhlah acara Binar 'Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar' yang salah satu pemandunya Maudy Kusnaedi. Acara yang sangat bagus sebagai sarana pembelajaran materi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini justru tayang pada jam dua siang. Hampir tidak ada siswa (mungkin juga guru) yang mengikuti siaran tersebut. Belum lagi alasan bahwa stasiun  televisi pemerintah (TVRI) yang setiap hari menayangkan materi pelajaran ini kurang diminati pemirsa. Padahal, TVRI setiap jam 07.00 menyiarkan Matematika, dan 08.00 Bahasa Indonesia dan diulang kembali pada jam 14.00 dan 15.00. Sayang, bukan?

Cinta Fitri yang ditayangkan oleh SCTV merupakan sinetron yang sangat digemari dan ditunggu para pemirsa. Mantan Presiden RI, Bapak B.J. Habibie, pun sangat respek terhadap kelanjutan cerita yang memperoleh tiga award sekaligus sebagai pemain aktor dan aktris terbaik dan sinetron yang paling digemari. Oleh karenanya, hampir semua anggota masyarakat (termasuk siswa) menikmati sinetron tersebut.

Di kelas sebagai apresiasi terhadap tiap episode penayangan Cinta Fitri, guru dapat menanyakan siapa tokoh yang paling disukai dan siapa pula yang paling tidak disukai. Mereka akan menyebut Fitri Rahayu (Shireen Sungkar) atau Farel Hutama (Teuku Wisnu) sebagai tokoh idola. Mischa (Dinda Kania Dewi) pada umumnya dikenal sebagai tokoh jahat yang tidak disukai. Dari pertanyaan inilah, kemudian siswa digiring ke arah penokohan, yakni sebagai tokoh protagonis dan antagonis.

Materi utama berikutnya adalah nilai sastra. Nilai-nilai apa yang siswa rasakan setelah menikmati sinetron tersebut bila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari?

Misalnya, hal-hal baik apa yang dilakukan oleh tokoh protagonis? Atau sebaliknya hal-hal jahat/jelek apa yang dilakukan tokoh dan hal tersebut tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari? Saat isterinya (Fitri) melahirkan di kamar bersalin, Farel bersimpuh di lantai untuk berdoa kepada Tuhan tanpa menghiraukan orang yang lalu lalang di koridor rumah sakit merupakan nilai religi yang patut diteladani dalam kehidupan sehari-hari. Saat Mischa berbuat jahat/curang terhadap tokoh lain sebagai nilai moral, dan sebagainya.

Tak ada  rotan akar pun jadi. Jika siswa belum terbiasa membaca cerita (cerpen), kita dapat memanfaatkan apa yang ada di lingkungan kita. Kita manfaatkan tayangan sinetron yang ditunggu-tunggu kelanjutannya ini sebagai materi pembelajaran dengan tentu saja (terpaksa) mewajibkan siswa untuk mengikuti acara penayangan cerita tersebut. Idealnya setiap siswa SMP telah membaca beberapa buku cerita. Akan tetapi, bagi siswa pinggiran hal tersebut tidak terjadi.

Tentu saja hal ini menjadi kendala bagi guru jika ternyata siswa tidak pernah membaca dan menikmati bagaimana nikmatnya menjadi pembaca yang kecanduan terhadap bacaan. Menjadi PR juga bagi guru, pihak sekolah, dan dinas terkait untuk menggerakkan dan menggalakkan budaya gemar membaca bagi siswa (pinggiran) yang belum tersentuh oleh derum Motor Cerdas dan Mobil Pintar Ibu Negara Ani Yudhoyono yang sampai diekspos dan diekspor ke mancanegara, ataupun Minibus Perpustakaan Keliling seperti pernah dilakukan oleh Perpustakaan Umum Kota Malang beberapa tahun silam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun