Penulis percaya pemerintah melalui aparat tingkat bawah semacam RT, RW, dan kelurahan pun telah memikirkan hal tersebut. Namun, masih saja ada anggota masyarakat yang ndableg dan pura-pura tidak mengetahui serta tidak peduli akan hal itu. Akibatnya, segala macam lalat dan serangga pembawa petaka kian gemuk dan menumpuk. Apalagi nyamuk yang menyebabkan penyakit demam berdarah dan cikunguya pun merajalela.
Ada sih lewat saluran media sosial bagaimana cara mengelola dan mengolah sampah agar berdaya guna, khususnya tidak mencemari lingkungan (dalam hal ini sungai). Namun, tentunya tidak semua anggota masyarakat mengikutinya alias masih perlu disosialisasikan berulang-ulang agar mendagar daging.
Penulis berandai-andai. Membayangkan jika sungai-sungai sejernih sungai masa lalu. Sungai seperti itu pasti dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi seperti halnya di Belanda. Sayang, masyarakat kita kurang menyadari arti penting sebuah sungai. Perlakuan terhadap sungai bahkan sangat tidak bijak. Jika terjadi banjir, bukankah masyarakat sendiri yang merugi dan menderita?
Alangkah menderitanya sungai-sungai masa kini. Airnya tidak mengalir sama sekali, kotor, berbau, dan ... ah ... siapa peduli? Andai sungai pun bisa berbicara, mungkin sungai-sungai yang menderita itu berhak meneriakkan tangisnya. Siapa peduli? Jika kemarau sulit mencari air bersih, siapa peduli pula? Jika air mata masyarakat mengalir karena sulit mencari air dan mata air, adakah kita masih tidak peduli terhadap pengelolaan air ini?
Apalagi dua dasawarsa terakhir kala musim hujan, jalanan di kotaku termasuk area sekitarnya berubah menjadi waterpark mendadak. Aduhai, .... Sedih tak terkira. Resapan di mana kalian berada? Setuju banget dengan ide Ebiet G Ade ... yang menulis lirik dan mengumandangkan, "Mungkin Tuhan mulai bosan melihat ulah kita ...."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H