Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Air, Mata Air, dan Air Mata

14 April 2024   09:15 Diperbarui: 14 April 2024   09:38 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Air, Mata Air,  dan  Air Mata

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

Lima dasawarsa silam saat masuk Kota Malang, penulis pernah indekos di rumah seorang ibu yang bukan main cerewetnya. Setiap keluar dari kamar mandi, beliau selalu mengomentari berapa gayung air yang telah kami gunakan untuk mandi. Waduh,  ... kesal sekali rasanya. Apalagi hal itu dikatakan dengan nada sinis dan wajah yang aduhai sadis!

Setelah empat dasawarsa berlalu, sepuluh tahun silam, kebetulan memiliki kamar berlebih yang bisa digunakan sebagai indekos mahasiswi, penulis baru 'tahu rasa'. Betapa  masalah air memang tak dapat dianggap sepele. Benar, ternyata para 'wanita' terkenal lebih boros menggunakan air.

            Musim kemarau menyebabkan sebagian masyarakat di daerah tertentu selalu kekurangan air. Media  cetak dan elektronika selalu melaporkan betapa menderitanya masyarakat yang kekurangan air tersebut. Di sinilah baru kita sadari betapa mahalnya air itu. Tanpa air makhluk hidup tidak dapat hidup nyaman. Namun demikian, kita tidak pernah memikirkan bagaimana melestarikan dan mengelola sumber air agar air di bumi ini tetap dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

            Bermain di sungai saat masih kecil sangat mengasyikkan. Air sungai begitu jernih, berbagai ikan berenangan dan bergeleparan dengan leluasa. Saat   pulang   sekolah (SD) penulis selalu membawa irik atau rege wadah berlubang dari anyaman bambu menuju rolak (pintu air) dekat rumah bersama beberapa teman.

Menadahkan alat itu di pintu air, pasti pulang membawa ikan wader yang cukup digoreng sebagai lauk seluruh anggota keluarga. Sekarang? Sungai di sebelah rumah berwarna hitam pekat dan berbau. Sampah menumpuk di sepanjang aliran. Masyarakat dari tempat lain pun sengaja datang dengan mengendarai sepeda motor bahkan mobil  hanya untuk membuang sampah di sungai itu. Tak ada beda dengan tempat pembuangan sampah!

            Masa kecil penulis, masyarakat memiliki tempat sampah dan tempat buangan air limbah rumah tangga yang lazim disebut juglangan dan peceren. Sampah akan dikelola sendiri. Demikian juga air limbah rumah tangga. Meski rumah kami dekat sungai, tak ada warga yang mengalirkan limbah rumah tangganya di sungai itu. Seolah-olah ada semacam konvensi untuk memelihara sungai tetap jernih. Dengan arif orang tua menyiasatinya sehingga alam tetap lestari.

Peceren sebagai penampung air limbah rumah tangga itu berukuran panjang, lebar, tinggi sekitar satu meter, dikelilingi sereh, tanaman rimpang lain, dan ditebari bibit lele. Secara berkala, lele itu pun dipanen untuk mencukupi gizi keluarga. Orang tua kita ternyata telah mengolah limbahnya secara bijak! Sereh itu ternyata pengusir nyamuk hingga peceren tidak menjadi sarang nyamuk. Walhasil, sungai di dekat rumah pun tetap jernih, mengalir tanpa limbah rumah tangga apalagi limbah industri.

Sungguh sangat berbeda dengan masa sekarang. Rumah-rumah penduduk dengan luas tanah yang relatif kecil tanpa sanitasi dan pengolahan limbah rumah tangga. Apalagi terpikir untuk memiliki sumur resapan yang melestarikan mata air dan sumber air. Bahkan, segala macam limbah baik limbah rumah tangga maupun industri dialirkan ke sungai. Sampah  sekalipun. Masyarakat yang konon kian pandai malah tidak dapat membedakan antara sungai dan tempat sampah! Tak pelak jika tak ada sungai sejernih sungai masa lalu.

Penulis percaya pemerintah melalui aparat tingkat bawah semacam RT, RW, dan kelurahan pun telah memikirkan hal tersebut. Namun, masih saja ada anggota masyarakat yang ndableg dan pura-pura tidak mengetahui serta tidak peduli akan hal itu. Akibatnya, segala macam lalat dan serangga pembawa petaka kian gemuk dan menumpuk. Apalagi nyamuk yang menyebabkan penyakit demam berdarah dan cikunguya pun merajalela.

Ada sih lewat saluran media sosial bagaimana cara mengelola dan mengolah sampah agar berdaya guna, khususnya tidak mencemari lingkungan (dalam hal ini sungai). Namun, tentunya tidak semua anggota masyarakat mengikutinya alias masih perlu disosialisasikan berulang-ulang agar mendagar daging.

Penulis berandai-andai. Membayangkan jika sungai-sungai sejernih sungai masa lalu. Sungai seperti itu pasti dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi seperti halnya di Belanda. Sayang, masyarakat kita kurang menyadari arti penting sebuah sungai. Perlakuan terhadap sungai bahkan sangat tidak bijak. Jika terjadi banjir, bukankah masyarakat sendiri yang merugi dan menderita?

Alangkah menderitanya sungai-sungai masa kini. Airnya tidak mengalir sama sekali, kotor, berbau, dan ... ah ... siapa peduli? Andai sungai pun bisa berbicara, mungkin sungai-sungai yang menderita itu berhak meneriakkan tangisnya. Siapa peduli? Jika kemarau sulit mencari air bersih, siapa peduli pula? Jika air mata masyarakat mengalir karena sulit mencari air dan mata air, adakah kita masih tidak peduli terhadap pengelolaan air ini?

Apalagi dua dasawarsa terakhir kala musim hujan, jalanan di kotaku termasuk area sekitarnya berubah menjadi waterpark mendadak. Aduhai, .... Sedih tak terkira. Resapan di mana kalian berada? Setuju banget dengan ide Ebiet G Ade ... yang menulis lirik dan mengumandangkan, "Mungkin Tuhan mulai bosan melihat ulah kita ...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun