Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sedikit Tentang Rokok

9 April 2024   21:37 Diperbarui: 9 April 2024   21:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedikit Tentang Rokok

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Rokok memang menimbulkan pro dan kontra. Benda yang satu ini susah-susah gampang diatur. Jika dilarang, akan berdampak sosial dan ekonomis bagi masyarakat. Namun, secara medis nyata-nyata mampu menjadi pemicu munculnya penyakit pembunuh terbesar kedua setelah serangan jantung.

Meski pada tiap bungkus kemasan rokok dan pada tiap-tiap iklan yang terpampang tertulis akibat merokok antara lain dapat menimbulkan berbagai penyakit berbahaya seperti kanker dan kemandulan, toh... tidak menyiutkan nyali siapa pun. Dari  kakek-kakek hingga kanak-kanak  (kalau saja bisa) diharap menjadi perokok.

Bagi pengusaha pabrik rokok, jika masyarakat Indonesia menjadi perokok (berat) merupakan keuntungan yang tiada tara. (Bukan rahasia lagi jika pengusaha rokok ini menjadi penyumbang terbesar pemasukan daerah!) Selain itu, pabrik rokok pun mampu menyerap jutaan pekerja. Artinya, jika pabrik rokok ditutup, bakal ada jutaan orang pula yang terpaksa nonjob dan akan menambah jumlah panjang pengangguran yang sudah sekian juta di negeri ini.

Di dalam asap rokok terkandung zat kimia berbahaya seperti tar dan nikotin yang jika telanjur masuk ke dalam tubuh tak gampang membuangnya. Zat karsinogen pemicu kanker ini yang takdapat dilihat mata ini terpaksa dihirup oleh justru bukan perokok itu sendiri. Korbannya adalah perokok pasif.  Suka atau tidak suka, mau tidak mau perokok pasif ini terpaksa 'menikmati' asap buangan sarat racun karena kebetulan berada di lingkungan perokok. Terpaksa,  telanjur, tidak  dapat berbuat banyak, dan serba salah. Areal  bebas rokok (area khusus untuk merokok) pun, kalau ada, sangat terbatas. Tidak semua kantor memiliki ruang khusus ini.

Di  sekolah, sosok pendidik (dan karyawan) merupakan tokoh identifikasi bagi siswa. Pegawai di lingkungan pendidikan sebaiknya memang bukanlah perokok. (Bahkan, salah satu kriteria pemilihan guru/kepala sekolah teladan adalah tidak merokok). Namun, kenyataannya tidak demikian dan diakui banyak pihak bahwa kebiasaan merokok ini sulit dihentikan meski obat yang dapat membantu menghentikannya gencar diiklankan. Nah, jika pendidik (yang notabene berpendidikan tinggi) tersebut perokok, mestinya tahu diri di mana tempat pantas untuk merokok dan menghormati orang-orang yang tidak suka akan asap rokoknya.

Dunia pendidikan (baca: sekolah) merupakan institusi strategis untuk memberitahu dan sekaligus memberi contoh konkret kepada siswa bahwa hidup tanpa rokok adalah sehat. Bukankah seharusnya 'hidup tanpa asap rokok' tidak hanya dilakukan dalam sehari yakni saat peringatan hari tanpa asap rokok?

 

Karena memang cukup dilematis, seyogyanya masalah rokok ini disikapi dengan arif dan cendekia. Bagi para pengusaha rokok, hendaknya selalu menguji kandungan asap rokok yang dihasilkan dan mencari solusi agar (kalau bisa) rokok yang dihasilkan tanpa asap. Para  petinggi negara dari tingkat pusat hingga daerah berkenan memberi teladan bijak, sementara para perokok pun semakin arif dan tahu diri.  Tidak  sembarangan menikmati rokok kesayangannya apalagi mengepulkan asap rokoknya di sembarang tempat adalah solusi cerdas.

Harus diingat (dengan arif) bahwa  asap tersebut akan dapat merugikan orang lain. Para  perokok pasif pun harus mendapat hak dan perlindungan untuk memperoleh oksigen sehat. Ketika asap knalpot dan cerobong pelbagai pabrik sudah kian tak terkendali, 'ruang terbuka hijau' yang bebas polusi sangat minim, di manakah kita dapat menghirup oksigen sehat itu? Bukankah (andai bisa berbicara) paru-paru kita pun membutuhkan pasokan oksigen sehat yang bebas polutan?

Kalau zaman penulis masih remaja, dengan ketat orang tua memberi tahu bagaimana seharusnya adab seorang wanita (terhormat). Namun, barangkali zaman telah berubah. Beberapa tahun lalu, termasuk beberapa hari lalu, penulis melihat sendiri betapa wanita pun merokok dengan santai.

Ya, saat penulis dibawa anak ke ibu kota, bukan rahasialah jika wanita merokok di salah sebuah restoran. Demikian pula, beberapa hari lalu, masih pada bulan puasa ini, penulis pun melihat beberapa wanita mengisap rokok di suatu tempat makan berpenutup korden.

Hanya bisa memendam pertanyaan dalam hati, zaman telah berubah. Di kota tempat penulis berdomisili, wanita pun rupanya sah-sah saja merokok di tempat umum sebagaimana di kota besar. Hmm,  ... barangkali penulis terlalu kolot atau terlalu udik jika masih memegang prinsip kuno. Wanita, yang dalam bahasa Jawa   keratabasa  semacam akronim, wani ditata. Artinya berani ditata. Hidup tertata, ditata oleh aturan cukup ketat. Entahlah, apakah itu masih dianggap berlaku. Namun, bagi penulis hal itu mutlak perlu.

Melihat pemandangan yang membuat hati miris tersebut, penulis hanya mampu menghela napas panjang. Beruntung keluarga, ketiga jagoan, dua menantu, dan satu cucu ikut cukup ketat memegang prinsip. Jangan bertingkah atau berulah sembaranganlah di luar rumah, terutama berkenaan dengan rokok. Seleksi ketat juga buat calon menantu, dong! Hehe ....

Di pintu masuk rumah, sengaja kami beri tulisan tersirat agar para tamu tidak merokok di area rumah kami. Jahat? Ya, karena paru-paru sangat berharga. Bahkan tak akan pernah terbeli karena sangat mahal harganya! 

Cangkok paru-paru? Memang bisa berhasil? Berapa M? Nah, kan ....   mending berseteru dengan asap rokok sajalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun