Kalau zaman penulis masih remaja, dengan ketat orang tua memberi tahu bagaimana seharusnya adab seorang wanita (terhormat). Namun, barangkali zaman telah berubah. Beberapa tahun lalu, termasuk beberapa hari lalu, penulis melihat sendiri betapa wanita pun merokok dengan santai.
Ya, saat penulis dibawa anak ke ibu kota, bukan rahasialah jika wanita merokok di salah sebuah restoran. Demikian pula, beberapa hari lalu, masih pada bulan puasa ini, penulis pun melihat beberapa wanita mengisap rokok di suatu tempat makan berpenutup korden.
Hanya bisa memendam pertanyaan dalam hati, zaman telah berubah. Di kota tempat penulis berdomisili, wanita pun rupanya sah-sah saja merokok di tempat umum sebagaimana di kota besar. Hmm,  ... barangkali penulis terlalu kolot atau terlalu udik jika masih memegang prinsip kuno. Wanita, yang dalam bahasa Jawa  keratabasa semacam akronim, wani ditata. Artinya berani ditata. Hidup tertata, ditata oleh aturan cukup ketat. Entahlah, apakah itu masih dianggap berlaku. Namun, bagi penulis hal itu mutlak perlu.
Melihat pemandangan yang membuat hati miris tersebut, penulis hanya mampu menghela napas panjang. Beruntung keluarga, ketiga jagoan, dua menantu, dan satu cucu ikut cukup ketat memegang prinsip. Jangan bertingkah atau berulah sembaranganlah di luar rumah, terutama berkenaan dengan rokok. Seleksi ketat juga buat calon menantu, dong! Hehe ....
Di pintu masuk rumah, sengaja kami beri tulisan tersirat agar para tamu tidak merokok di area rumah kami. Jahat? Ya, karena paru-paru sangat berharga. Bahkan tak akan pernah terbeli karena sangat mahal harganya!Â
Cangkok paru-paru? Memang bisa berhasil? Berapa M? Nah, kan .... Â mending berseteru dengan asap rokok sajalah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H