Mengapa kita tidak berhenti sejenak untuk berpikir menikmati karya illahi dengan membiarkannya secara alami? Sebagai  wujud bahwa kita menghargai ciptaan-Nya, mari 'menyukakan hati' Tuhan agar bencana tak menimpa.
Dalam  puisi "Tuhan Telah Menegurmu", Apip Mustapa menuliskan jika bumi bergoncang dan angin meraung melintang pukang, bukankah itu pertanda teguran Tuhan?
Ebiet G. Ade bertanya, "Mengapa di tanahku terjadi bencana ... Mungkin Tuhan mulai bosan melihat ulah kita yang tidak berhenti berbuat dosa".
Penulis memiliki pohon kacang amazone yang berguna luar biasa. Pohon langka ini menjadi markas kutilang dan trocokan liar, terutama jika buah sudah merona jingga. Buah sebesar jempol tangan ini memang sangat manis. Â
Berbondong-bondonglah kedua jenis burung itu bertandang. Secara  bergantian dan berkala mereka datang menikmati sajian buah amazone. Bonusnya? Celoteh dan kicau riang mereka sangat menentramkan jiwa.
Nah, masihkah kita tidak memberikan suaka dan ruang hidup bagi burung sebagai satwa penyelamat, penyelaras, penyeimbang, dan penyedia 'nyanyian sorga' alami yang menyemarakkan konser ensamble simponi musik  harmonis pada alam ciptaan-Nya ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI