Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membumikan Budaya Antre

3 April 2024   23:06 Diperbarui: 3 April 2024   23:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membumikan Budaya Antre

Ninik Sirtufi Rahayu

 

Duka menyelimuti keluarga Joni Malela (45) penyandang tunanetra dari Garut, Jawa Barat yang meninggal berdesakan saat silaturahmi di Istana Negara beberapa tahun silam. Seorang tunanetra yang ingin sungkem dan mendapat 'sedikit' berkat lebaran terpaksa menghembuskan napas penghabisan. Berkah yang didamba, malang yang diterima.

Masih teringat pula betapa tragis nasib yang dialami para pemburu sedekah di beberapa kota tahun lalu. Mereka yang berangkat mendamba derma, ternyata harus kehilangan nyawa. Semua itu terjadi karena membludaknya pemburu derma yang tidak dibarengi dengan rasa kesabaran dan kesadaran untuk antre secara tertib. Semua ingin serba instan, serba mudah, dan serba cepat.

            Budaya antre pernah ditayangkan televisi melalui visualisasi barisan itik yang tidak bersuara, "Week...week," tetapi diubah dengan, " Antre...antre...!" Rupanya kita sebagai manusia 'kalah' dengan kawanan itik yang sedikit lebih dapat diatur, mampu berbaris rapi, dan antre dengan sabar tanpa terburu-buru.

Iklan yang cukup menggelitik dan tidak terkesan melecehkan tersebut sebenarnya merupakan parodi jitu untuk mengingatkan manusia pentingnya kesabaran dalam barisan atau antrean demi keselamatan bersama. Mungkin untuk sekadar mengingatkannya, pihak televisi perlu menayang ulang agar kita sebagai makhluk paling sempurna ini sedikit memiliki rasa sadar diri untuk berintrospeksi dan berbagi.

            Budaya antre masih dapat kita nikmati di kantor-kantor yang memberlakukan penomorurutan bagi pengguna jasa, misalnya di kantor telekomunikasi, bank,  ataupun rumah-rumah sakit. Dengan penomoran antrean tersebut mau tidak mau para pengguna jasa harus bersabar menunggu giliran.

Namun, di luar hal itu secara umum budaya antre tersebut kini kian pudar. Tengok saja di jalan raya. Pengendara sepeda motor dengan tidak sabar berkelit ke kanan, bermanuver ke kiri agar dapat melewati halangan berbagai pengendara di depannya. Termasuk memotong jalur jalan pengendara lain (roda empat) di depan atau di sampingnya.  Dengan berkelak-kelok atau zig-zag semacam itu mereka berharap cepat sampai tujuan. Padahal, tradisi bersepeda motor ala tarzan seperti itu menakutkan, bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

            Sepeda motor sebagai moda transportasi murah meriah memang sedang digandrungi dalam rangka menekan dana mudik seperti saat sekarang. Namun,  sebagai sesama pengguna jalan raya yang praktis lebarnya tidak bertambah, para pengendara sepeda motor perlu lebih teratur, tidak seenak perut menyerobot atau menyelonong pada jalur pengendara lain. Arah berkendara yang tidak stabil, menyalib, menyelonong, menyerobot, dan zig-zag seperti itu memicu timbulnya laka lantas yang sebenarnya harus diupayakan dan dihindari oleh semua pengguna jalan.

Kemudahan memiliki sepeda motor dengan cicilan terjangkau seharusnya dibarengi dengan kepedulian terhadap sesama pengendara dan kehati-hatian yang istimewa, mengingat lebar sarana jalan yang tidak bertambah dan keharusan berbagi dengan moda transportasi lain yang lebih nyaman dibanding sepeda motor.

Jangan sebagaimana anak manja yang merajai jalan raya dan tidak peduli pada pengguna jalan yang lain. Jangan biarkan sopir roda empat ataupun angkutan lain yang lebih besar mengalah dan terkesan momong sang pengendara roda dua karena para sopir roda empat tersebut tidak mampu membaca kemauan pengendara roda dua berkendara. Apalagi dari berbagai laporan diketahui bahwa jumlah laka lantas terus meningkat dan didominasi oleh pengendara sepeda motor. Celakanya para korban tersebut masih berusia produktif bahkan umumnya menjadi sandaran hidup keluarga.

Kemudahan memperoleh kredit sepeda motor selayaknya diikuti dengan penyiapan pemerolehan pengetahuan berlalu lintas dari polantas. Mungkin saat memperoleh SIM C (yang juga mudah karena sebelum usia 17 tahun pun memperolehnya) para pengendara sepeda motor tersebut diberi bekal ekstra tentang kesadaran berkendara dengan lebih sabar dan santun.

Budaya antre dengan santun dan gentle pun harus dimiliki oleh para pengendara moda transportasi terbesar ini demi kenyamanan dan keamanan semua pengguna jalan raya.  Jika masing-masing pengendara mau dengan rendah hati mengalah dan tidak kesusu grusa-grusu semua arus kendaraan dapat diatasi, perjalanan nyaman dapat dinikmati, dan keselamatan yang didambakan pun dapat diraih.

Menyadari belum memasyarakatnya budaya antre secara tertib ini, perlu upaya untuk memasyarakatkannya. Budaya antre harus ditanamkan sejak dini baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat luas.

Penanaman pemahaman dan pengaplikasian budaya antre perlu diedukasikan sejak di rumah, misalnya pembiasaan antre menggunakan kamar mandi bagi anggota keluarga, pembudayaan makan bersama dengan mengutamakan pengambilan bahan pangan bagi yang lebih tua sementara yang lebih muda harus bersabar antre menunggu giliran, dan lain-lain.

Di sekolah pun para pendidik perlu menyosialisasikan budaya tertib antre  dengan berbaris rapi bersalaman dengan guru saat berhalalbihalal, tertib antre dalam peminjaman atau pengembalian buku perpustakaan, tertib antre dalam penggunaan toilet, dan lain-lain. Demikian juga di dalam lingkungan masyarakat.

Budaya luhur ini perlu disosialisasikan dan diimplementasikan lewat acara apa saja, misalnya arisan, pengajian, reuni, atau di setiap aktivitas kebersamaan yang lain agar rasa aman dan nyaman itu dapat dialami setiap insan. Perlu slogan atau kain rentang yang mengingatkan masyarakat akan pentingnya kesabaran dalam berantre serta berlalu lintas. Melalui kata-kata bijak di kain rentang atau spanduk itu diharapkan masyarakat semakin santun berkendara karena kita tahu betapa mahalnya sebuah nyawa.

Akhirnya, dengan penanaman adibudaya serta kehati-hatian yang prima, semoga di kemudian hari tidak lagi terjadi jumlah manusia yang bejibun berdesak-desakan maupun laka lantas di jalan raya. Semoga.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun