Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kata-kata Keramat

31 Maret 2024   08:03 Diperbarui: 31 Maret 2024   08:06 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kata-kata Keramat

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Saat awal pernikahan mendadakku terpaksa kami tinggal di rumah mertua. Ya, pernikahanku mendadak bukan karena  by accident,  bukaaann ...! Aku menikah mendadak karena teriak lantang sayembaraku kepada kekasih ada yang menanggapinya.

Awalnya, gegara membayarkan SPP dan hutang warung kekasih, uangku habis sampai takmampu naik bus pulang dari tempatku PPL di luar kota. Maka, guru pembimbing PPL-ku menitipkanku nebeng guru lajang yang bersepeda motor.  Saat melihatku dibonceng sepeda motor orang  itulah, kekasihku yang melihat spontan mengolokku, "Dasar wanita bensin!" sambil mencibir.

"Ok, Mas. Jika ada lelaki, yang membawakanku sepeda motor enreiyen, aku bersedia menjadi isterinya. Takpeduli itu siapa!" teriakku lantang.

Ternyata ada orang yang mendengar dan membawakanku sepeda motor enreiyen saat aku libur semester di desa. Sampai tersesat dicarinya alamatku berbekal  ancer-ancer dari temanku. Maklum, saat itu belum ada Google Map!  Itulah sebabnya aku meninggalkan kekasihku hanya dalam hitungan hari! Dan menikahlah aku dengan seseorang, yang meminangku dengan sepeda motor gres. Lajang  dengan usia terpaut 16 tahun di atasku!

Background  hidupku memang kelam. Istri pertama ayah adalah kakak tiri ibuku. Saat ayah dinas di luar pulau, istri pertama berselingkuh hingga hamil. Ayah membalas perbuatan istri pertama itu pada ibuku. Ibuku hamil, tetapi ayah tidak bisa  menikahinya. Ayah menitipkan ibu kepada anak buah yang kemudian menikahinya. Takheran, banyak orang memberiku cap sebagai anak haram. Aku sering sangat berduka,  menangis, menyendiri, melampiaskan kepedihan dengan menulis puisi. Sayang takpernah terpikir untuk menyimpan puisi-puisi itu. Ya, biarlah sebagai pelampiasan kekesalan dan kesedihan hatiku saja! Sudah hilang bersama waktu!

Aku diasuh dan dibesarkan kakek nenek yang kupanggil bapak dan ibu. Mereka memang sangat menyayangi, tetapi tetap saja tak bisa mengisi kekosongan hatiku. Seperti ada sebagian yang hilang dari jiwaku ini!

Sepeda  motor enreiyen bawaan Mas Bojo itu kubawa kembali ke kota. Aku langsung dicabut paksa dari tempat  indekost ke rumahnya. Rumah mertua tentunya! Ini karena Mas Bojo anak tunggal!

Aku mau dipersunting menjadi istri Mas Bojo dengan syarat harus tetap diizinkan melanjutkan kuliah yang belum selesai. Bahkan, aku ingin melanjutkan lagi ke jenjang yang lebih tinggi. Mas Bojo menyanggupi. Inilah yang meluluhkan hatiku. Dari desa keraya-raya kuliah ke kota kalau cuma berkutat di dapur, sayang sekali bukan? Apalagi semester itu programku tinggal menulis tugas akhir saja untuk meraih gelar sarjana muda. Namun, program kampus berubah total. Program baru: strata satu! Mata kuliahku sudah habis lima semester yang berlalu. Jadilah aku menganggur. Saat itulah aku terpaksa tinggal di rumah mertua.

Suatu pagi, dari kamar kudengar obrolan mertua dengan dua saudara perempuannya. Kudengar mereka menggunjing, mengolok, menyindir, menertawakan, dan menghinaku. Dikatakan oleh mertua bahwa aku hanya membawa ....  _ maaf tidak tega aku menyebutnya_  satu kata paling jorok yang artinya kelamin perempuan!

Aku tergetar. Lunglai seluruh sendiku! Sebenarnya, saat bibi mengantar dari desa, kami membawa satu becak buah tangan berupa hasil bumi khas dari desa. Namun, semua itu tak diingat. Takada artinya memang dibanding harga sepeda motor!

Air mataku membanjir! Sesenggukan! Mas Bojo mendengar sendiri kata jorok olok-olok  ibunda. Dia  berusaha menenangkan dan menghiburku agar tabah menghadapi. Ibunda yang tak pernah mengenyam pendidikan formal itu berprofesi sebagai pedagang daging dan ikan segar di pasar. Karena itu, tutur kata pun terpengaruh oleh milieu -nya: pasar! Beliau tak bisa memilih kosa kata yang lebih halus dan estetis untuk menyatakan keinginannya.  

Dengan isakku, aku memohon agar suami membawaku keluar dari rumah itu untuk mengontrak rumah lain.

"Meski berdinding bambu aku mau Mas, asal tak mendengar kata pedas seperti itu!" rengekku.

Akhirnya, harus menunggu kelahiran putra pertama untuk bisa mengontrak rumah lain. Itu pun, karena bantuan seorang teman baik yang memahami kondisi kami.

Selama menunggu mengontrak itu, aku bolak-balik pulang ke desa agar tidak jenuh mendengar kosa kata aduhai bunda mertua. Yah, kosa kata keramat yang anehnya tak bisa benar-benar kulupakan. Selalu terngiang-ngiang.  

Beruntung kuambil positifnya.  Kukatakan dalam hati dan menjadi tekadku, "Akan kubuktikan bahwa aku bisa mencari harta dengan pendidikanku nanti! Akan kutunjukkan bahwa aku, wanita yang disebut-sebut hanya membawa kelamin ini, akan bekerja keras sehingga bisa membeli rumah dan kendaraan atas nama pribadi dari hasil keringat pemberian-Nya ini!"

Tekad ini pula yang kupatrikan dalam sanubariku dan menyemangati seluruh aktivitas hidupku! Kata-kata itu justru menjadi pemacu dan pemicu semangat juangku!

Singkat cerita, aku lulus! Senangnya bukan main. Betapa tidak, lulus di tengah-tengah dua balitaku. Perjuangan luar biasa, bukan? Tanpa asisten rumah tangga, loh! Itu yang aku sebut hebat! Kuliah, mengasuh dua balita, dan mengurus rumah tangga.

Setelah lulus, aku langsung bekerja. Pontang-panting, mengajar dan memberi les privat. Kali ini ada asisten rumah tangga dengan kedua putrinya yang karena keadaan nimbrung numpang  pada  kami. Merekalah yang membantu mengasuh dua balitaku. Jadi, kami bertujuh serumah.  Bertambahnya anggota keluarga, kebutuhan hidup pun meningkat. Uniknya, aku  diberkati-Nya dengan mengajar di beberapa tempat hingga luar kota sebagai dosen honorer di salah satu perguruan tinggi swasta, di samping menulis cerita anak. Waktu luang sore hingga malam pun masih kugunakan memberi les privat dari rumah ke rumah. Bahkan, pulang memberi les masih menyempatkan menerima pengetikan skripsi secara manual hingga larut malam.  Sungguh, luar biasa anugerah-Nya. Itulah sumber rezeki kami.

Di tengah kesibukan pun diberi-Nya tambah anugerah: si bungsu yang masih berjenis sama dengan kedua kakaknya. Ya, tiga jagoan tampan!

Menurutku bagai gasinglah aku dan suami menyiapkan isi pundi-pundi. Tak kenal lelah!

Saat merasa lelah, suami memotivasiku begini, "Ma, ... (aha, ... sudah memiliki bocil panggilan pun berubah agar anaknya tidak memanggilku Dik), ingatlah seekor kuda. Kuda itu ditutup matanya, maksudnya memakai kacamata kuda, jika di depan hidungnya diiming-iming seikat rumput,  ia akan berjalan maju menuju rumput itu! Nah, jangan lihat kiri kanan, fokus di depan. Jangan hitung lelahmu. Kita harus kuat membawa beban sambil berjalan. Ya, seperti kuda itu!"

 

Ini pun kata-kata keramat kedua yang selalu kuingat, selain kata keramat dari mertua. Bermodalkan dua kata keramat itu sebagai azimat, aku bekerja keras bagai gasing hingga akhirnya kami dianugerahi-Nya rumah sendiri. Kami pun masih dipercaya oleh-Nya untuk memiliki dan mengasuh satu cowok lagi. Bersyukur mereka anak-anak yang patuh, baik, nrimo, dan sangat pintar. Ketiga cowok anugerah luar biasa bagi kami!

Ah, ternyata masih ada kendala yang harus kuberi kendali. Tetangga melihatku pulang malam berjalan kaki dari luar kota lewat gang depan rumahnya. Tetiba tanpa babibu  nyeletuk saat aku lewat di depan rumah mereka, "Hmmm ... kerja apaan wanita pulang malam begini kalau tidak ...."

Maaf aku pun tak tega menuliskannya. Intinya beliau meragukan jenis pekerjaan yang kugeluti dan berprasangka negatif terhadapku. Bagai terobek hatiku, tersayat nuraniku. Akan tetapi, tetap aku harus punya kendali untuk kendala ini.

Singkat kata, aku telah membaktikan dan membuktikan bahwa sekalipun sebagai anak haram yang datang ke rumah mertua tanpa membawa apa-apa selain kelamin doang, setelah suami lebih dahulu purna tanpa uang pensiun, akulah tulang punggung yang dimampukan-Nya menghidupi keluarga. Bahkan, sebelum tutup usia, mertua melihat dan merasakan kurnia-Nya untuk kami. Rumah yang cukup besar dan kendaraan pribadi beliau lihat sendiri ada pada kami.

Kini, setelah empat puluh lima tahun menikah, dimampukan-Nya kami meninggalkan teladan kepada anak-anak:  tanpa perselingkuhan, keluarga aman, nyaman, dan damai sejahtera. Kami  bisa menabung dan memberi masing-masing sebuah rumah kepada anak-anak, di samping satu rumah mungil kami. Dengan aneka kerumitan isi kawah candradimuka, kami pun bisa melewati ujian demi ujian mencapai cita dan asa.

Yang sangat membanggakan dan membahagiakan, sebagai pengobat duka lara  hatiku adalah: tiga putra kami dianugerahi-Nya karier mapan dan mantap. Dua di antara mereka diizinkan-Nya tinggal dan dikuliahkan-Nya berbeasiswa menyelesaikan program doktor hingga mancanegara. Satu lainnya berkarya dan berkarier di negeri jiran!

Inilah aku yang nglara ati  mendengar kata keramat mertua, tetangga, dan disemangati pula oleh kata keramat suamiku. Semoga kita tidak menghina sesama dengan mengoloknya menggunakan kata keramat. Iya kalau yang kita katai itu bisa menerima, kalau tidak? Bukankah kita menorehkan luka di hatinya? Bahkan, kita telah membunuhnya, membunuh semangat hidupnya! Maka benar kata pepatah, "Mulutmu adalah harimaumu!"

Note:

enreiyen  'perlakuan pemakaian perdana untuk kendaraan baru'

ancer-ancer  'perkiraan'

keraya-raya  'dibela-belai'

nglara ati  'bersemangat melakukan aktivitas karena telah mengalami perundungan'

sesenggukan  tersedu-sedu, sedu-sedan

nrimo  menerima apa adanya, tidak pernah protes

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun