Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kata-kata Keramat

31 Maret 2024   08:03 Diperbarui: 31 Maret 2024   08:06 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurutku bagai gasinglah aku dan suami menyiapkan isi pundi-pundi. Tak kenal lelah!

Saat merasa lelah, suami memotivasiku begini, "Ma, ... (aha, ... sudah memiliki bocil panggilan pun berubah agar anaknya tidak memanggilku Dik), ingatlah seekor kuda. Kuda itu ditutup matanya, maksudnya memakai kacamata kuda, jika di depan hidungnya diiming-iming seikat rumput,  ia akan berjalan maju menuju rumput itu! Nah, jangan lihat kiri kanan, fokus di depan. Jangan hitung lelahmu. Kita harus kuat membawa beban sambil berjalan. Ya, seperti kuda itu!"

 

Ini pun kata-kata keramat kedua yang selalu kuingat, selain kata keramat dari mertua. Bermodalkan dua kata keramat itu sebagai azimat, aku bekerja keras bagai gasing hingga akhirnya kami dianugerahi-Nya rumah sendiri. Kami pun masih dipercaya oleh-Nya untuk memiliki dan mengasuh satu cowok lagi. Bersyukur mereka anak-anak yang patuh, baik, nrimo, dan sangat pintar. Ketiga cowok anugerah luar biasa bagi kami!

Ah, ternyata masih ada kendala yang harus kuberi kendali. Tetangga melihatku pulang malam berjalan kaki dari luar kota lewat gang depan rumahnya. Tetiba tanpa babibu  nyeletuk saat aku lewat di depan rumah mereka, "Hmmm ... kerja apaan wanita pulang malam begini kalau tidak ...."

Maaf aku pun tak tega menuliskannya. Intinya beliau meragukan jenis pekerjaan yang kugeluti dan berprasangka negatif terhadapku. Bagai terobek hatiku, tersayat nuraniku. Akan tetapi, tetap aku harus punya kendali untuk kendala ini.

Singkat kata, aku telah membaktikan dan membuktikan bahwa sekalipun sebagai anak haram yang datang ke rumah mertua tanpa membawa apa-apa selain kelamin doang, setelah suami lebih dahulu purna tanpa uang pensiun, akulah tulang punggung yang dimampukan-Nya menghidupi keluarga. Bahkan, sebelum tutup usia, mertua melihat dan merasakan kurnia-Nya untuk kami. Rumah yang cukup besar dan kendaraan pribadi beliau lihat sendiri ada pada kami.

Kini, setelah empat puluh lima tahun menikah, dimampukan-Nya kami meninggalkan teladan kepada anak-anak:  tanpa perselingkuhan, keluarga aman, nyaman, dan damai sejahtera. Kami  bisa menabung dan memberi masing-masing sebuah rumah kepada anak-anak, di samping satu rumah mungil kami. Dengan aneka kerumitan isi kawah candradimuka, kami pun bisa melewati ujian demi ujian mencapai cita dan asa.

Yang sangat membanggakan dan membahagiakan, sebagai pengobat duka lara  hatiku adalah: tiga putra kami dianugerahi-Nya karier mapan dan mantap. Dua di antara mereka diizinkan-Nya tinggal dan dikuliahkan-Nya berbeasiswa menyelesaikan program doktor hingga mancanegara. Satu lainnya berkarya dan berkarier di negeri jiran!

Inilah aku yang nglara ati  mendengar kata keramat mertua, tetangga, dan disemangati pula oleh kata keramat suamiku. Semoga kita tidak menghina sesama dengan mengoloknya menggunakan kata keramat. Iya kalau yang kita katai itu bisa menerima, kalau tidak? Bukankah kita menorehkan luka di hatinya? Bahkan, kita telah membunuhnya, membunuh semangat hidupnya! Maka benar kata pepatah, "Mulutmu adalah harimaumu!"

Note:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun