"Tanggung, Bu!"
Nah, terlambat!
Keluarga di desa berpesan agar aku bisa membawa diri dan menitipkan nasib kepada ibu indekos sebagai orang tua kedua. Salah satu cara yang bisa kulakukan adalah dengan bersedia membantu kesulitan beliau. Ibu indekosku memang sudah sepuh. Untuk itulah aku bersedia membantu mengepel lantai, mencuci, dan menguras kamar mandi setidaknya seminggu sekali. Tentu beliau senang sehingga aku memperoleh kasih sayang dan imbalan. Aku hanya diminta memasak nasi sendiri, selebihnya untuk lauk-pauk akan diberi. Waw, banget bukan? Take and give- lah kasarnya!Â
Pagi itu aku salah mengantisipasi sehingga akibatnya terlambat beberapa menit. Kebetulan, sang dosen pun tepat waktu. Jadilah, aku terlambat. Namun, bukan hanya aku. Beberapa mahasiswa berderet di luar ruangan.
"Hai, kalian jangan di luar, Nak. Masuklah. Carilah tempat yang masih ada!" tiba-tiba Bapak Dosen membuka pintu dan mempersilakan kami masuk.
"Kucarikan kursi, nanti duduk dekatku, ya!"
Sekali lagi aku hanya mengangguk saja. Pikirku, lumayanlah dicarikan kursi dengan menyeretnya dari kelas lain. Mana berani aku yang mahasiswa baru ini melakukannya, coba?
Dari sinilah perkenalanku dengannya. Pada minggu berikutnya, seperti biasa rambut panjangku kuurai lepas. Akan tetapi, teman-teman yang sudah mengenal, mulai deh usil. Rambutku diikat dengan bangku kuliah yang terbuat dari kayu, atau ditempeli tulisan khas kenakalan mereka, misalnya, "Aku masih gadis!"
Kesal! Malu! Itu kesanku ketika seseorang iseng mengikat rambutku sehingga harus kesakitan saat berdiri hendak meninggalkan kursi. Sementara, tentu saja menjadi bahan tertawaan. Untunglah, si dia tampil membelaku.
"Jangan keterlaluanlah. Kalau rambut tertarik seperti itu kan sakit?" belanya sambil mengurai tali yang mengikat rambutku.
Tentu saja aku kesulitan, tak bisa melakukan sendiri karena yang diikat adalah bagian belakang. Berawal dari dicarikan kursi dan dibela saat teman lain mengganggu itulah, aku mengenalnya secara lebih dekat. Ternyata, kami sedaerah.