X, seorang mahasiswa jurusan PGSD, merasa sangat tertekan dengan beban tugas yang tak kunjung selesai. Setiap malam ia begadang untuk menyelesaikan tugas, dan pagi harinya ia harus mengikuti kuliah yang padat hingga sore. Ia mulai merasa tidak memiliki energi dan motivasi untuk belajar. Setelah berkonsultasi dengan seorang mentor akademik, X belajar untuk mengatur waktu dengan lebih baik dan membagi waktunya untuk istirahat serta berolahraga. Dengan dukungan teman-temannya, ia juga mulai merasa lebih baik secara emosional dan mendapatkan kembali motivasi untuk belajar. Perlahan, nilai dan produktivitas akademiknya meningkat.
Rutinitas yang dialami mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan seringkali menyebabkan stres yang berujung pada kelelahan secara emosional, situasi ini disebut sebagai academic burnout. Burnout akademik adalah masalah signifikan yang mempengaruhi banyak mahasiswa. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti tekanan akademik, kurangnya minat terhadap tugas yang diberikan oleh dosen, dan perasaan ketidakmampuan untuk mengatasi tuntutan studi mereka (Schaufeli et al. (2002). Sedangkan menurut Pines dan Aronson (2013) Burnout pada mahasiswa adalah kondisi emosional di mana seseorang merasa lelah dan bosan akibat meningkatnya tuntutan tugas. Burnout yang dirasakan oleh mahasiswa adalah respons terhadap situasi yang mereka alami yang menuntut secara emosional. Burnout yang dialami oleh mahasiswa dapat didefinisikan sebagai perasaan putus asa dan tidak berdaya yang disebabkan oleh stres berkepanjangan terkait pembelajaran (Santrock, 2003).
Burnout akademik, seperti yang dialami oleh X, adalah hasil dari stres berkepanjangan akibat tekanan akademik. Menurut Teori Stres dan Koping oleh Lazarus dan Folkman (1984), stres terjadi ketika tuntutan yang dihadapi seseorang dianggap melebihi sumber daya yang dimiliki untuk mengatasinya. Jika tidak diimbangi dengan mekanisme koping yang baik, stres ini dapat berkembang menjadi bornout, yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional. Koping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan oleh seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres (Yani, 1997). Menurut Sarafino (2002), koping adalah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi.
Jika tidak dikelola dengan baik, stres ini akan menimbulkan efek yang buruk baik secara fisiologis maupun psikologis. Untuk mengatasi situasi tersebut, individu perlu menggunakan strategi koping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) strategi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Strategi koping berfokus pada masalah
Strategi ini digunakan ketika individu merasa bahwa sumber stres dapat dikendalikan atau diatasi. Fokusnya adalah pada tindakan konkret untuk mengurangi atau menghilangkan stres.
Contoh strategi:
- Mengidentifikasi sumber tekanan: Mahasiswa dapat membuat daftar tugas atau aktivitas yang paling membebani mereka, lalu menentukan prioritas.
- Perencanaan ulang: Setelah mengetahui prioritas, mahasiswa dapat merancang strategi untuk mengelola tugas, misalnya dengan memecah pekerjaan besar menjadi bagian-bagian kecil (Lazarus & Folkman, 1984).
- Mencari dukungan: Memiliki seseorang yang mendukung di masa-masa sulit dapat membantu mengatasi stres. Seperti berdiskusi dalam kelompok, menelepon teman, bercerita kepada terapis, atau berbagi masalah sehari-hari dengan orang tua atau pasangan, dapat membantu meringankan beban yang dihadapi.
2. Strategi koping berfokus pada emosi
Strategi ini digunakan ketika sumber stres sulit atau tidak mungkin diubah. Fokusnya adalah pada cara mengelola respons emosional individu terhadap situasi tersebut.
Contoh strategi:
- Reframing positif: Mengubah cara pandang terhadap situasi. Misalnya, melihat tugas sebagai kesempatan untuk belajar daripada beban yang memberatkan. Ini dapat membantu mengurangi dampak negatif emosional.
- Relaksasi: Menggunakan teknik seperti meditasi, latihan pernapasan, atau yoga. Latihan ini merupakan cara yang tepat untuk melatih pikiran agar tetap tenang saat menghadapi masalah.
- Mengekspresikan emosi: Menurut Lazarus dan Folkman (1984), menulis jurnal, berbicara dengan teman, atau menyalurkan emosi melalui seni bisa membantu meredakan stres secara sehat.
Selain menggunakan strategi koping, pendekatan berbasis teori Self-Determination oleh Decy dan Ryan (1985) juga dapat membantu mahasiswa dalam mengatasi burnout. Teori ini menjelaskan bahwa keseimbangan emosional dan motivasi yang optimal dapat dicapai melalui pemenuhan tiga kebutuhan dasar, yaitu:
1. Autonomi: Mahasiswa membutuhkan rasa kendali atas apa yang mereka lakukan. Ketika mereka merasa terlalu dikekang atau dipaksa untuk menjalankan tugas-tugas akademik, mereka cenderung kehilangan motivasi intrinsik dan dapat memperburuk burnout.
Contoh strategi: Mengatur jadwal belajar sendiri. Mahasiswa menyusun jadwal belajar yang sesuai dengan ritme kerja dan waktu produktivitas mereka. Misalnya, memilih untuk belajar di pagi hari karena merasa lebih fokus dibandingkan malam hari.
2. Kompetensi: Kompetensi adalah perasaan mampu dan percaya diri dalam menyelesaikan tugas atau tantangan. Rasa percaya diri ini sangat diperlukan oleh mahasiswa untuk meningkatkan motivasi dalam diri mereka.
Contoh strategi: Merayakan pencapaian kecil (self reward). Misalnya, merayakan keberhasilan menyelesaikan tugas mingguan dengan cara sederhana, seperti menonton film favorit atau makan makanan kesukaan.
3. Keterhubungan: Keterhubungan adalah perasaan dekat dan diterima oleh orang lain. Mahasiswa butuh merasa didukung dan tidak sendirian dalam menghadapi tantangan akademik. Dukungan dari orang lain bisa membantu mereka merasa lebih kuat dan dihargai.
Contoh strategi: Meminta dukungan emosional dari keluarga atau teman dekat: Saat merasa stres, mahasiswa dapat berbicara dengan orang-orang terdekat untuk melepaskan emosi dan mendapatkan dorongan semangat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa burnout akademik adalah kondisi emosional yang dialami mahasiswa akibat tekanan akademik yang berlebihan, kurangnya minat terhadap tugas, dan perasaan tidak mampu menghadapi tuntutan studi. Kondisi ini merupakan respons terhadap stres berkepanjangan yang dapat menyebabkan kelelahan secara fisik, mental, dan emosional. Burnout tidak hanya berdampak pada performa akademik, tetapi juga pada kesejahteraan psikologis mahasiswa. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang efektif untuk mengatasi dan mencegah burnout dengan menerapkan strategi kopling oleh Lazarus dan Folkman (1984) dan melakukan self-determination oleh Decy dan Ryan (1985). Dengan menerapkan cara-cara tersebut, mahasiswa diharapkan dapat mengelola tekanan akademik secara lebih efektif sehingga tidak hanya meningkatkan performa akademik, tetapi juga menjaga keseimbangan hidup mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI