Mohon tunggu...
Ninid Alfatih
Ninid Alfatih Mohon Tunggu... Guru - ibu 3 anak

just a reader

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KH Abdul Fatah Jalalain: Revolusi dari Bilik Pesantren

28 Februari 2020   16:06 Diperbarui: 28 Februari 2020   16:01 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiai Fattah juga seorang kiai yang menguasai ilmu kanuragan dan metafisika, sebagaimana nampak dalam cerita di atas. Konon di antara para santrinya, ada beberapa yang tidak kasat mata. Mereka dipersilakan ikut mengaji, asalkan tidak mengganggu.
 Bermodal 6 orang santri yang dibawakan KH Hasyim dari Tebuireng, pesantren Nglawak berkembang pesat di bawah asuhan yai Fattah hingga ratusan bahkan ribuan. Mereka tersebar di wilayah Nganjuk. Karena lokalnya tidak mencukupi, mereka tinggal di rumah penduduk yang punya hubungan baik dengan kiai Fatah.

Di sela pengajian kitab, Kiai Fatah juga mengenalkan pelajaran bahasa Inggris kepada para santri. Pengajarnya adalah Abdul Matin, seorang anggota pasukan Sekutu dari etnis India (Gurkha) yang desersi setelah mengetahui ternyata yang dihadapi adalah sesama pemeluk Islam. Pengajar asing itu dibayar dengan beberapa kilo beras saja, karena kondisi saat itu tidak memungkinkah secara finansial. Apalagi Kiai Fattah bukan orang yang berkecukupan. Hidupnya sepenuhnya untuk ngramut umat.

Kiai Fattah juga seorang pembaca yang berpikiran terbuka. Membaca Panjebar Semangat adalah salah satu rutinitas beliau. Terhadap putra putrinya beliau perlakukan sama. Putri-putrinya bahkan bersekolah di SMP disamping mengaji kitab salaf yang diampunya sendiri. Sesuatu yang sangat tidak umum pada masa itu. Tapi yai Fattah bersiteguh bahwa pendidikan itu hal yang utama.

Kiai Fattah juga pernah berkecimpung dalam dunia politik saat bergabung di DPRGR kabupaten Nganjuk. Tidak semua sepakat dengan pilihan beliau ini. Tapi bagi Kiai Fatah, perjuangan tidak mengenal tempat. Di manapun dibutuhkan beliau mendarmabaktikan diri di sana.

Dalam ingatan keluarganya, Kiai Fattah tak pernah lepas berpuasa. Hidupnya senantiasa dalam kesederhanaan. Tubuhnya amat kurus dan digerogoti penyakit paru-paru. Penyakit yang mengantarkan beliau menemui Kekasihnya di tahun 1969. Hanya separuh perjalanan di DPR yang sempat beliau jalani sampai dengan wafatnya. Namun jejaknya tetap terpatri di benak para santri dan keluarganya dengan segala kesederhanaannya

Tulisan ini pernah tayang di pesantren.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun