Tulis, tulis, dan tulis! Kata motivasi yang selalu dilontarkan oleh sosok bunda dalam dunia literasi, Anis Hidayatie. Aku memang tak pandai dalam merangkai kata-kata, tapi berkat bunda setidaknya membuatku lebih percaya diri dalam menuangkan isi pikiran ke dalam aksara.Â
Begitupula dengan tulisan ini, beliaulah yang mendorongku untuk merangkai kata-kata. "Sempatkan waktu menulis, niatkan untuk membantu mereka yang kekurangan".Â
Awalnya aku tak peduli, karena menulis membutuhkan waktu untuk mereylexkan pikiran sejenak dan merangkai kata, apalagi di sela hiruk pikuk dunia kerja.Â
Namun setelah membaca puisi beliau terkait mereka yang jauh dari kata beruntung membuatku ingin melakukan hal serupa, sekalipun lewat tulisan sederhana ini. Setidaknya agar niatan baik seorang Widz Stoops bisa tersampaikan dan akupun memperoleh kebaikannya untuk mengasah kemampuan di dunia literasi.
Azhar Irfani, sosok yang ku kenal dalam sebuah kegiatan pelatihan bahasa inggris beberapa waktu lalu yang diadakan oleh salah satu instansi di daerahku, Kabupaten Malang.Â
Pak Azhar, begitu aku memanggilnya. Usia yang terpaut jauh membuatku menganggapnya sebagai kakak senior di kegiatan tersebut, tetapi sebenarnya lebih cocok sebagai paman bagiku.
Belum berpasangan di usia 43 tahun, aku merasa itu adalah prinsip hidupnya untuk membujang, hidup sendirian, sampai benar-benar siap. Namun ternyata aku salah setelah menyelami tentang kehidupannya lebih dalam, semua kesan pertama dari perkenalan di kelaspun berbalik.
Sosok Azhar dengan wibawanya di kesan pertama rupanya merupakan sosok yang telah patah arang, kemudian dia mencoba bangkit untuk berjuang. Bukan hanya dari segi asmara, kehidupan ekonominya pun bisa dikatakan kurang layak bagi seorang yang terlahir dari keluarga darah biru di kalangannya.
Lagi-lagi hal ini membuatku lebih bersyukur. Betapa tidak, sekalipun aku tak terlahir dari keluarga bangsawan yang serba berada, tetapi mendapati kehidupan dari sosok Azhar membuatku masih merasa lebih beruntung.Â
Sekilas memang pria dengan perawakan minimalis itu terlihat nampak berkecukupan dari segi ekonomi, kendatipun tidak sepenuhnya benar. Setelah menyelami tentang kesehariannya, betapa memprihatinkan kehidupan yang dia lakoni.