pekerjaan tetap dan layak adalah mimpi untuk mereka. Keinginan mereka untuk mandiri dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa adanya rasa belas kasihan dari orang lain. Namun, itu semua bukanlah hal yang mudah bagi beberapa difabel. Salah satunya Abdul Aziz yang merupakan seorang difabel tuna daksa pada bagian tangan.Â
Bagi penyandang disabilitas memilikiKondisinya sudah demikian semenjak beliau berada di dalam kandungan. Pak Aziz sendiri tidak mengetahui berapa tepat usianya saat ini. Hal itu karena adanya keterbatasan pendidikan pada keluarganya. Beliau memperkirakan usianya sekitar 35-40an. Menurut penuturannya, dapat dikatakan beliau tidak memiliki Akta Kelahiran.Â
Satu-satunya hal yang diingat oleh beliau dan keluarganya hanya hari lahirnya saja yaitu hari jumat. Keterbatasan yang beliau miliki cukup berpengaruh pada kehidupannya. Dan juga latar belakang ekonomi keluarga Pak Aziz yang bisa dikatakan rendah. Pendidikan terakhir beliau hanya sampai Madrasah Ibtidaiyah atau setara dengan Sekolah Dasar. Saat ini beliau masih lajang dan masih tinggal bersama kedua orang tuanya.
Kebutuhan sehari-hari keluarga Pak Aziz diperoleh dari penghasilan orang tuanya yang berprofesi sebagai buruh tani. Penghasilannya dalam sehari sebesar Rp.50.000, sedangkan dalam setengah hari sebesar Rp. 25.000 sampai Rp. 30.000. Keluarga Pak Aziz benar-benar membebaskan beliau dalam hal pekerjaan, bekerja atau pun tidak itu tidak menjadi masalah.Â
Orang tua Pak Aziz memahami keadaannya sehingga tidak memaksanya bahkan cenderung tak tega. Walaupun sebenarnya dalam hati beliau sangat ingin bekerja untuk melatih dirinya agar bisa menjadi mandiri. Dengan keinginan tersebut beliau sempat berusaha untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.Â
Pak Aziz sendiri pernah ikut bekerja membantu usaha pengolahan kripik singkong, tepatnya di bagian pengupasan bahan dengan upah di bawah rata rata. Hasil yang didapatkan tersebut sedikit banyaknya diberikan kepada orang tuanya sebagai bentuk (balas budi) agar dapat sama-sama merasakan rezeki yang diperoleh.Â
Karena keterbatasanya tersebut, Aziz hanya diberi upah seadanya yakni 10.000 hingga 15.000, perharinya, beliau diperbolekan bekerja hanya karena bentuk belas kasih dan apresiasi oleh majikanya atas kemauan Aziz untuk bekerja
Keluarga Pak Aziz terdaftar sebagai penerima bantuan dari PKH. Program ini berupa bantuan uang tunai yang diberikan 3 bulan sekali dan diberikan pada setiap Kartu Keluarga yang telah terdaftar.Â
Selain itu, dari pihak pemerintah daerah sendiri, pada zaman Bu Faida Bupati Kabupaten Jember periode sebelumnya pernah memberikan bantuan berupa uang tunai semasa pandemi Covid-19.Balai Desa setempat pernah mengadakan pelatihan kerja seperti halnya membuat ondel-ondel, namun pelatihan itu masih jarang dijalankan.Â
Di samping itu, Pak Aziz sempat melakukan pelatihan di bidang tata boga yang dilaksanakan oleh BLK. Pelatihan yang diberikan itu beragam seperti tata boga, jahit, dan elektronik. Sayangnya, beliau hanya diperkenankan untuk melihat saja dan menyerap ilmu yang diberikan tanpa turut berpatisipasi dalam praktik yang dilakukan.
Pelatihan biasa dilakukan selama satu minggu. Selama pelatihan, peserta yang hadir tidak diberikan modal untuk usaha namun diberikan uang untuk kebutuhan transportasi. Selain itu, peserta juga diberi alat-alat pendukung sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Beberapa pelatihan yang diadakan sebenarnya tidak mencakup untuk semua kriteria difabel. Bagi Pak Aziz sendiri pelatihan yang dilakukan hanya sia-sia apalagi untuk seorang difabel tuna daksa di bagian tangan.Â
Dari pelatihan yang diadakan oleh BLK seperi tata boga, jahit dan elektronik hanya cocok untuk diperuntukkan bagi difabel yang tidak terlalu parah. Karena pelatihan-pelatihan tersebut cocok bagi difabel dengan kondisi keterbatasan tidak terlalu parah. Bantuan dari pemerintah pun dirasa kurang membantu bagi seorang difabel.Â
Seringnya keterlambatan bantuan dari pemerintah dan juga bantuan berupa uang hanya akan bersifat sementara sedangkan yang mereka butuhkan bantuan untuk mereka dapat menghidupi ekonomi mereka secara mandiri seperti bantuan pekerjaan dan modal untuk berwirausaha.Â
Disini dapat dikatakan bahwasanya perlu ada solusi lain mengenai prespektif fenomena ini. Faktor adanya pelatihan serta bantuan juga harus dipikirkan terkait solusi tepat gunanya, agar semua kalangan dan jenis difabel dapat merasakan dampak dari adanya upaya pemerintah yang tepat yanng pada akhirnya juga menjadikan difabel menjadi mandiri dalam kebutuhan sehari-harinya.
Fenomena ini menjadi sangat menarik ketika ia diupandang dalam kajian akademis terutama kajian sosiologi. Sosiologi memandang dengan pemikiran teoritis meminjam konsep teori pertukaran George Homans bahwa dalam setiap interaksi antar individu memiliki konsepsi tersendiri. George Homans sendiri merupakan seorang sosiolog yang berasal dari Amerika Serikat.Â
Homans menjelaskan teori pertukaran ini memiliki asumsi dasar hampir sama dengan konsep-konsep psikologi. Homans menjelaskan bahwasanya teori pertukaran ini memiliki implikasi terhadap pola interaksi manusia dengan masyarakat. interaksi ini bisa saja terbentuk dari kebutuhan-kebutuhan yang diterima atau diinginkan oleh manusia tersebut.Â
Homans dalam bukunya yang berjudul Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi diantaranya proposisi sukses, proposisi kejenuhan-kerugian, proposisi persetujuan-agresi, dan yang terakhir ialah proposisi rasionalits.
Dalam fenomena ini, kajian sosiologis Homans dapat digunakan untuk meneropong bagaimana perilaku komunitas atau aktor difabel di Jember. Aziz selaku individu yang memiliki interaksi sosial di masyarakat dikonsepsikan oleh Homans sebagai aktor. Dalam konsep berpikir pertukaran sosial, aktor selalu memiliki interaksi yang menguntungkan.Â
Dimana interaksi inilah yang nantinya akan mendorong terjadinya kebijakan atau pengaruh makro dalam hal ini hadirnya kebijakan pemerintah. Aziz sebagai aktor dala narasi pertukaran sosial selalu dihadapkan dengan hasi yang diperoleh. Ketika Aziz menjadi seorang karyawan di usaha keripik singkong, ia mendapatkan pemghargaan berupa gaji sebesar 15.000 sampai 20.000 rupiah/hari.
Homans juga menjelaskan bahwa dalam pemberian reward tersebut ada usaha yang harus dilakukan, dalam fenomena ini Aziz sebagai penyandang disabilitas tidak hanya berdiam diri saja ketika ia mendapatkan penghasilan itu. Dimana keterbatasan yang ia punya tidak menyurutkan aksinya untuk bisa berusaha sendiri dan mampu bangkit dari keterpurukan.Â
Usaha yang dilakukannya sangat maksimal sehingga ia dipercaya bisa bekerja di dalam segmentasi usaha mikro, dan ia sering mendapatkan pelatihan dan bantuan dari pemerintah, mengingat usaha-usaha yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhannya terus menerus berjalan.Â
Aziz bisa dikatakan sebagai aktor yang produktif karena ia dianggap sebagai kaum marjinal dan sering mendapatkan diskriminasi, akan tetapi ia membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah alasan utama untuk menyerah dan meratapi nasib.
Penulis:
Maulida Farra Dibba
Nurhidayati Cahya Ningrum
Ragil Risang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H