Gilang diam, Ia tak berani menatapku, seperti ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Bicaranya pun hanya yang penting saja, setelah itu diam. Dua minggu terakhir pun, pesan-pesan yang ku kirim lewat whatsapp tak langsung direspon padahal sedang on. Bila ku tanya jawabnya singkat, “Aku sangat sibuk Wik”. Aku pun tak berani memaksa, tapi jujur aku selalu mencari jawabannya sendiri. Apakah ada yang salah denganku?. Adakah perbuatan dan kata-kataku ada yang menyakiti hatinya?. Pernah suatu kali kutanyakan pada Gilang, dan Ia selalu menjawab dengan singkat, cukup satu atau dua kata. "tidak". Tulisnya.
Sore itu, kemacetan terjadi di halaman kantorku. Pemandangan yang selalu menghiasi hari-hari jam pulang kantor. Bising knalpot terus berlomba, suara mesin berbagai merk kendaraan besi pun tak mau kalah. Terkadang terdengar suara umpatan sesama supir angkot yang berebut penumpang dan tak sabar mengantri. Aku pun harus sabar untuk ke luar pintu gerbang kantor.
Hapeku bergetar, pesan whatsapp masuk di ponselku. Ku buka. Pesan singkat dari Gilang, “ Wik, ku tunggu di bakmi Gajah Mada ya”. Aku pun membalasnya cukup dengan kata “ya”. Akhirnya kami bisa bertemu, setelah sekian lama Gilang selalu menghindar atau mungkin benar-benar sibuk dengan dunia kerjanya. Ia memesan dua porsi Mie goreng rasa jamur. Menu kesukaanku juga mas Gilang. Tak banyak yang diobrolkan antara aku dan mas Gilang, selebihnya diam. Sebelum pulang aku bisikan kata mesra padanya “Mas, aku kangen”. Mas Gilang hanya tersenyum dan berucap “Hati-hati di jalan”. Sejak itu aku pun tak pernah lagi bertemu. Nomor ponselnya pun tak aktif lagi. Rupanya, itu pertemuan terakhirku dengan mas Gilang. Rasa sesak di dada waktu itu, membayangi tiap langkahku, tapi aku harus ikhlas, mungkin mas Gilang bukan jodohku.
******
Bertahun-tahun, aku tak pernah mendengar berita mas Gilang, seolah-olah mas Gilang lenyap ditelan bumi. Komunikasi di antara kami total terputus. Aku pun mulai bisa melupakan mas Gilang. Sejak itu, aku memutuskan merantau. Kaliurang tempatku lahir, ku tinggalkan. Jejak kenangan mesra dan indah bersama mas Gilang pun harus ku kubur. Cericit burung penyrak yang selalu menjadi saksi bisu pertemuan aku dan mas Gilang pun tak lagi terdengar. Tetes embun yang kerap singgah di wajahku tak pernah lagi dihapus mas Gilang. Aku harus memulai menghapus satu persatu kenangan terindah bersama mas Gilang. Aku pun harus menutup nama mas Gilang untuk memberi tempat pada lelaki lain. Lelaki yang akhirnya memberikan buah hati untukku. Lelaki pilihan bapak yang dijodohkan untukku dan aku hanya manut saja.
Bapak selalu berkata padaku untuk melupakan mas Gilang. “Nduk, sampai kapan kamu akan tetap menunggu Gilang, sampai jadi perawan tua”. Begitu bapak selalu berkata padaku. Waktu itu, aku hanya diam menunduk dan menahan nafas. Aku tak berani menjawab apa lagi membantah perintah Bapak. Sebab bila itu dilakukan berarti aku tak punya hormat lagi pada orang tua. Akhirnya aku menikah dengan lelaki pilihan Bapak, meski tak ada cinta dalam hatiku. Lelaki anak jurangan beras teman Bapak akhirnya meminangku. Tak ada cinta dihati, tapi kodratnya anak perempuan harus mituhu kepada orang tua.
*****
Sembilan belas tahun telah berlalu, sejak terakhir aku dan mas Gilang makan di bakmi Gajah Mada di Malioboro pada suatu sore. Aku dipertemukan kembali dengan mas Gilang di sebuah resto di plaza Senayan. Pertemuan yang tak disengaja, atau mungkin Tuhan yang mengaturnya?. Entahlah, aku menganggapnya hanya sebuah kebetulan.
Waktu itu aku sedang menikmati lezatnya Mie Ayam Kalasan. Seorang lelaki tegap menghampiriku dan menyapaku. “Assalamualaikum Wik”. Aku hanya diam, mataku menatap lelaki tegap di sampingku. Ku amati dengan cermat wajahnya, lekuk pipinya, sorot matanya dan semua itu membawaku pada sosok mas Gilang. “Waalaikumsalam, Kau mas Gilang?” Aku berdiri menyambut uluran tangannya. Ia tersenyum dan mengangguk. Kami kemudian duduk dan mengobrol renyah tentang hidup juga tentang cerita masa lalu, dan kini aku benar-benar tahu mengapa mas Gilang menutup dan mengunci hatinya untukku.
“Maafkan aku waktu itu Wik”. Mas Gilang mulai membuka cerita masa lalunya. Aku dengarkan setiap kata yang ke luar dari bibir mungil mas Gilang. “Aku tak pernah ingin membuatmu luka, tapi waktu begitu cepat dan aku ingin berbakti untuk terakhir kalinya pada ibu”. Mas Gilang menarik nafas panjang, matanya menatap masa sembilan belas tahun silam. Sesekali bibirnya tersenyum. Aku terus mendengarkan cerita mas Gilang dengan hati sedikit cemburu.
“Ibu, menjodohkan aku dengan seorang paramedis yang merawat ibuku”. Mas Gilang diam, seolah mengumpulkan kembali ingatannya. “Aku tak bisa menolaknya Wik. Aku ingin di sisa umur ibuku, ia bahagia”. Mas Gilam kembali diam, lalu dihapusnya keringat di keningnya. “Setelah menikah, aku menetap di Surabaya”. Lanjut mas Gilang. Ku teguk just jambu untuk menutupi perasaannku, sesekali ku mencuri pandang melalui sudut mataku. “Ia masih gagah seperti dulu”, batinku.