Tambah Modern dengan AI
Dua tahun lalu, saat membuka lokakarya "Artificial Intelligence (AI), Internet of Things, dan Keamanan Siber di Lembaga Peradilan", Sekjen MK M. Guntur Hamzah ketika itu menyatakan, penggunaan kecerdasan buatan (AI) dapat membantu kinerja para pegawai sebagai bentuk kemajuan teknologi.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Pusat TIK saat itu, Sigit Purnomo menyebut, sejak awal pendiriannya MK didesain untuk menjadi lembaga peradilan modern dan terpercaya. Paradigma itu mengartikan, seluruh kegiatan MK dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan menggunakan ICT. Sigit berharap, teknologi AI bisa segera terwujud dan diterapkan di Mahkamah Konstitusi.
Jelaslah, diskusi terkait AI di MK, sejak dini sudah mengarahkan bahwa penerapan teknologi AI dikhususkan untuk membantu kinerja pegawai. Bukan menggantikan peran Hakim.Â
Setahun kemudian, Hakim MK Arief Hidayat saat menyampaikan kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Jember menegaskan konklusi tersebut. Katanya, peran hakim tidak akan pernah tergantikan karena memiliki rasa kemanusiaan.
"Tidak. Tetap pada masyarakat, peran human being masih tetap penting. Dalam memutus perkara ada rasa keyakinan. Komputer tidak punya keyakinan."
Selesai? Belum.
Inovasi AI masih terus berkembang. Untuk sementara, benarlah bahwa penerapan AI di lembaga peradilan masih sebatas "bantuan AI" dalam proses administrasi peradilan. Bukan putusan.
Penerapan AI yang (masih) terbatas itupun oleh Dewan Eropa diperketat. Diterbitkanlah tiga pedoman etika untuk AI yang dapat dipercaya. Yaitu harus sah (menghormati semua peraturan dan hukum yang berlaku), etis (menghormati prinsip dan nilai etika), dan kokoh (termasuk memperhatikan lingkungan sosial).