Mohon tunggu...
Nindy Faradila Hanafi
Nindy Faradila Hanafi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mafi qolbi ghairullah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam KH. Hasyim Asy'ari

1 April 2020   13:58 Diperbarui: 1 April 2020   13:53 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Problem pendidikan Islam saat ini sejatinya masih bermuara seputar pendidikan klasik, yaitu rendahnya moralitas dan tumpulnya rasionalitas. Hingga saat ini, banyak sekolah Islam yang secara moral belum memenuhi harapan, begitu juga dengan kualifikasi keilmuan yang masih di bawah standard kualitas pendidikan. 

Tujuan dan akhlak dalam menuntut ilmu yang bersifat religious tentu sangat diperlukan dalam upaya pembentukan dan pembinaan moral yang saat ini tengah mengalami krisis. 

Tujuan menuntut ilmu yang sesungguhnya ialah hanya untuk mencari ridho Allah, akan tetapi pandangan sebagian masyarakat yang mengganggap bahwa menempuh pendidikan adalah untuk mendapatkan pekerjaan dan kedudukan semata. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, misalnya konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yang meliputi kehidupan material maupun spiritual.

A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari

Nama lengkap KH. Hasyim Asy’ari yaitu Muhammd Hashim bin Ash’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halima atau yang popular dengan julukan Jaka Tingkir (Sultah Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin  Maulana Ishak bin Ainul Yaqin yang popular dengan sebutan Sunan Giri. Beliau lahir pada tanggal 10 April 1875, di Desa Gedang, Krcamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dan pada tanggal 25 Juli 1947 (72 tahun) beliau dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang. Beliau merupakan pendiri Nahdhatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia serta putra dari Kyai Asy’ari. Beliau adalah ulama sekaligus pemimpin dari Pondok Pesantren Keras, berada di selatan Jombang. Sementara ibunda beliau bernama Halimah, yakni memiliki silsilah keturunan dari Raja Brawijaya VI, yang dikenal dengan Lembung Peteng, ayahanda dari Jaka Tingkir (Raja Pajang). Sedangkan keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir adaah kakenya, kyai Utsman yang memimpun Pondok Pesantren Gedang, dengan seluruh ntri berasal dari Jawa pada akhir 19. Ayah dari kakek beliau yaitu Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang.

KH. Hasyim Asy’ari merupakan putra ketiga dari sebelas bersaudara. Sejak beliau berumur 14 tahun tealh banyak mendapat wejangan serta pengajaran tentang ilmu agama langsung dari ayahandanya dan kakek beliau. Berbagai motivasi besar yang beliau dapatkan dari kalangan keluarga, serta minat besar dalam menuntut ilmu  yang beliau miliki, membuat KH, hasyim Asy’ari muda tumbuh menjadi seorang yang pandai. Beliau juga pernah mendapat sebuah kesempatan yang diberikan sang ayah untuk membantu mengajar di pesantrennya, karena kepandaian beliau.

Ketika usia menginjak 15 tahun, beliau berkelana di Pondok Pesantren lain. Hal ini karena beliau merasa bwlum cukup menimba ilmu yang diterima sebelumnya. Tak hanya satu pondok pesantren saja beliau singgahi, tapi banyak pondok pesantren yang disinggahinya, antara lain Pondok Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Ketika beliau merantau di Pondok Pesantren Siwalan beliau belajar kepada Kyai Jakub, dan akhirnya beliau dijadikan menantu Kyai Ya’qub. Pada usianya yang ke 21. KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah, putri Kyai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan ini dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308H.

Setelah itu, KH. Hasyim asy’ari bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna untuk menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, kemudian beliau tinggal di Mekkah untuk menuntut imu. Hingga tujuh bulan kemudian istrinya yakni Nafisah meninggl dunia setelah melahirkan seorang putera pertama yang bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul Ibunya ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu membuat KH. Hasyim Asy’ari memutuskan utuk tidak berlama-lama si tanah suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian. KH. Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Mekkah ditemani saudaranya, Anis, yang kemudian meninggal disana. Pada kesempatan ini, ia tinggal di Mekkah selama tujuh tahun, menjalankan ibadah haji, belajar berbagai ilmu agama, dan bahkan bertapa di Gua Hira. Dalam perjalanannya di Mekkah itu, KH. Hasyim Asy’ari berjumpa dengan beberapa tokoh yang selanjutnya ia jadikan guru dalam berbagai ilmu agama Islam. Di antarnya guru KH. Muhammad Hasyim Asy’ari di Mekkah antara lain Syaikh Mahfuz al-Tirmasi, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dari Minangkabau yang merupakan ulama dan guru besar yang cukup dikenal di Mekkah, serta mejadi seorang imam Masjidil Haram. Selain itu KH. Muhammad Hasyim Asy’ari juga berguru kepada sejumlah tokoh di Mekkah, seperti Syaikh Ahmad Amin Al Athar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan Al Athar, Syeikh sayyid Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syaikh Shaleh Bafadhal, dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.

Beliau dianggap sebagai guru  dan julukan “Hadratu Syech” yang berarti “Maha Guru”. Kiprahnya tidak hanya di dunia pesantren, beliau ikut berjuang dalam membela Negara. Semangat kepahlawannya tidak pernah  kendor. Bahkan menjelang hari-hari akhir hidupnya. Bung Tomo dan panglima besar Jemnderal Soedirman kerap berkunjung ke Tebuireng untuk meminta nasehat beliau perihal perjuangan mengusir penjajah. Dalam pesantren tersebut bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, namunnjuga pengetahuan umum ikut mengiri pengajaran agama islam.para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuam umum,berorganisasi, dan berpidato. Cara demikian mendapat sambutan tidak mengenakkan dirinya, karena dikecam bid’ah. Meskipun kecaman itu terus bergulir tapi beliau tetap teguh dalam pendiriannya. Menurut beliau, mengajarkan agama islam berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjuan ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kyai Hasyim Asy’ari. Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertama berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan ikut menjadi besar.

Riwayat perjuangan KH. Hasyim Asy’ari sangatlah banyak dalam berbagai bidang , seperti kemasyarakatan, sosial, dan politik. Ketiganya merupakan cerminan dari praktek keagaman beliau dan pendidikan. Dalam bidang-bidang inilah beliau menunjukkan perjuangannya. Pertama, perjuangannya dalam bidang kemasyarakatan. Dalam bidang ini kiprah beliau diwujudkan dengan mendirikan Jam’iyah Nahdhatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 bersama sejumlah kyai.bahkan beliau smpat ditunjuk Syeikhul Albar dalam perkumpulan ulama terbesar di Indonesia ini. Organisasi ini didirikan pada haekatnya bertujuan karena belum adanya suatu organisasi yang mampu mempersatukan para ulma dan mengubah pandangan hidup mereka tentang zaman baru. Kebanyakan mereka tiak perduli terhadap keadaan di sekitarnya. Bangkitnya kaum ulama yang menggunakan NU sebagai wadah pergerakan, tidak dapat dilepaskan dari peran KH. Hasyim Asy’ari. Beliau berkeyakinan, bahwa tanpa persatuan dan kebangkitan ulama, terbuka kesempatan bagi pihak lain untuk mengadu domba. Selain itu, didirikannya NU bertujuan untuk menyatukan kekuatan Islam dengan kaum ulama sebagai wadah untuk menjalankan tugas peran yang tidak hanya terbatas dalam bidang kepesantrenan dan ritual keagamaan belaka, tetapi juga pada masalah sosial, ekonomi maupun persolan kemasyarakatan. Dengan Nahdhatul Ulama, beliau berjuan mempertahankan kepentingan umat. Disatukannya potensi umat Islam menjadi kekuatan kokoh dan kuat, tidak mudah menjadi korban oleh kepentingan politiknyang hanya  mencari kedudukan dengan mengatas namakan Islam. Kedua, bidang ekonomi, perjuangan KH. Hasyim Asy’ari juga layak di catat dalam bidang ekonomi. Perjuangan ini barangkali adalah cerminan  dari sikap hidup beliau, dimana meskipun zuhud, tidak larut untuk melupakan dunia sama sekali. Tercatat bahwa beliau dalah juga pekerja keras sebagai petabi dan pedagang yang kaya. Mengingat para kyai pesantren pada saat itu dalam mencari nafkah banyak yang melakukan aktifitas perekonomiannya lewat tani dan dagang bukan dengan mengajar. Perjuangan beliau dalam bidang ekonomi ini diwujudkan dengan merintis kerjasama dengan pelaku ekonomi pedesaan. Kerjasama itu disebut Syirkah Mu’awanah, bentuknya itu mirip koperasi atau perusahaan tetapi dasar operasinya menggunakan Syari’at Islam. Ketiga, yaitu di bidang politik. Kiprah beliau dalam bidang ini ditandai  dengan berdirinya wadah  federasi umat Islam Indonesia yang diprakarsai oleh sejumlah tokoh Indonesia yang kemudian lahirlah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang menghimpun banyak partai, organisasi dan perkumpulan Islam dalam berbagai aliran. Lembaga ini menjadi Masyumi yang didirikan tanggal 7 November 1945, yang kemudian menjadi partai aspirasi seluruh umat Islam. Perjuangan beliau dimulai dari perlawannya terhadap penjajahan Belanda. Beliau sering berulang kali mengeluarkan fatwa-fatwa yang sering menggemparkan pemerintah Hindia Belanda. Misalnya, ia mengharamkan  donor darah orang Islam dalam mmbantu peperangan Belanda dengan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, KH. Hasyim Asy’ari  memimpin MIAI (Maslim IslamAla Indoesia). Demikian pula dalam gerakan pemuda, seperti Hizbullah, Sabillah dan Masyumi, bahkan yang terakhir beliau menjadi ketua, membuat beliau dikenal sebagai kyai yang dikenal oleh banyak kalangan.

B. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari termasuk seorang penulis yang produktif. Sebagian besar ia menulis dalam Bahasa Arab dalam berbagai bidang ilmu seperti tasawuf, fikih dan hadis. Sampai sekarang sebagian kitab ini masih dipelajari di berbagai peantren. Mengenai karya Hasyim di peroleh dari dokumentasi Ishomuddin Hadziq yang diberi nama Irsyadus Sari. Hasyim Asy’ari merupakan seoranag ulama dan pemikir Islam yang begitu tajam pengamatannya dalam memahami kondisi masyarakat, hal ini terbukti dari berbagai karya yang tidak sedikit diberikan kepada masyarakat. Dengan harapan masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai Islam  dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup yang semakin rumit.

Kitab-kitab karya dari KH. Hasyim Asy’ari yaitu:

  1. Ababul ‘Alim Wal Muta’alim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan KH. Hasyim Asy’ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
  2. Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau serius disngkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syech juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembang di masyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlu sunnah wal jama’ah.akan tetapi, dalam ibadah amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunn Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama’ah tersebut.
  3. At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoail Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdhatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturahmi. Didalam kitab ini juga termuat Qunun Asas atau undang-undang dasar berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) serta 40 hadist nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdhatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturahim dengan masyarakat sekitar sehinnga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
  4. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang  kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui Al-qur’an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
  5. Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemic beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa hal yang tidak sesuai antara pandangan Nahdhatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
  6. At-Tanbiahtul Wajibat Li Man Yasna’Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang peringatan mauled nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada zaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan sholawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan mauled serta di hadiri oleh gadis gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati mauled nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sehingga beliau mengarang kitab ini. Tetapi di sisi laim peneliti meneliti kitab ini terdapat pemahaman bahwa, sebagai pakar hadits KH. Hasyim Asy’ari tahu persis peringatan mauled itu bid’ah. Disebutkan dalam kitab ini bahwa mulanya mauled di peringati dengan hadirnya sejumlah orang untuk mendengarkan bacan Al-qur’an, yang sudah ada di sejarah kelahiran serta perjalanan Nabi. Dari tradisi ini diharapkan pada umat Islam dapat memperoleh berka dan terdorong untuk meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Kegiatan positif inilah, yang termasuk bid”ah dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana penapat mayoritas ulama sunni praktik mauled ini dengan bisa di kategorikan sebagai bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) yang bisa ditoleransi, malah terkadang di sunnahkan, atau bahkan di anjurkan. Lebih dari sekedar bid’ah yang buruk (bid’ah sayyi’ah), KH. Hasyim Asy’ari menganggap perayan maulid Nabi yang menuju dengan maksiat seperti dalam kasus-kasus pada masa itu sebagai pelecehan terhadap keagungan martabat Rasulullah, bila itu dilakukan dengan sengaja, bisa mengakibatkan kekufuran bagi pelakunya.
  7. Dho’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah akan tetapi tidak mengetahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara/sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadimsebuah keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sesuai tuntunan agama.
  8. Muqaddimah Al-Qanun Al-Asasi li jam’iyyat Nahdhatul Ulama. Karangan ini berisi pemikiran dasar NU, terdiri ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, dan pesan-pesan penting yang melandasi berdirinya organisasi NU.
  9. Risalah Fi Ta’kid Al-Akhdzi bin Madzhab al-‘Aimmah al-Arba’ah. Karangan ini berisi tentang pentingnya berpedoman kepada empat madzhab, yaitu Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali.
  10. Mawai’idz. Karangan ini berisi tentang nasehat bagaimana menyelesaikan masalah yang muncul ditengah umat akibat hilangnya kebersamaan dalam membangun pemberdayaan.
  11. Al-Durror al-Muntashirah fi Masa’il Tis’a Asharah. Kitab ini berisi 19 masalah tentang kajian wali dan thariqah.
  12. Arba’ina Haditsan Tata’alaqu bin Mabad’i Jamiyyah Nahdhatul Ulama. Karangan ini berisi 40 hadits tentang pesan ketakwaan dan kebersamaan dalam hidup, yang harus menjadi fondasi kuat bagi umat dalam mengurangi kehidupan.
  13. An-Nur Al-Mubin Fi Mahbbati Sayyid al-Mursalin. Kitab ini menjelaskan tentang arti cinta kepada rasulullah SAW dengan mengikuti dan menghidupkan sunnahya. Kitab ini diterjemhakan oleh Khoiron Nahdhiyin dengan judul Cinta Rasul Utama.
  14. Ziyadah Ta’liqat ‘Ala Mundhumah Syaikh Abdullah Yasin al-Fansuruani. Kitab ini berisi tentang perdebatan antara Kyai Hasyim dan Syaikh Abdullah bin Yasin
  15. Al-tanbihat Al-Wajibah Liman Yashna’ Al-Maulid bin Al-Munkarat. Litab ini berisi tentang nasehat-nasehat penting bagi orang-orang yang merayakan hari kelahiran Nabi dengan cara-cara yang dilarang agama.
  16. Risalah Tusama bi Al-Jasus fi Ahkam Al-Nuqus. Menerangkan tentang permasalahan hokum memukul kentongan pada waktu masuk waktu solat.
  17. Risalah Jami’atul Maqashid. Menjelaskan tentang dasar-dasar aqidah Islamiyyah dan Ushul ahkam bagi orang mukallah untuk mencapai jalan tasawuf dan derajat wusul ila Allah.
  18. Al-Risalah fi al-Aqaid. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa, berisi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Tauhid.
  19. Miftah al-Falah fi Ahadith al-Nikah. Berisi tentang hadits-hadits yang berhubungan dengan pernikahan. Yang dikumpulkan dari hadits-hadits Nabawiyah
  20. Abyan al-Nizom fi Bayani MA Yu’maru bihi au Yanha ‘Anhu min Anwa’l al-siyam. Tentang macam-macam puasa yang diperbolehkan dan dilarang.
  21. Audah al-Bayan fi Ma Yata’allaqu bi Wazoifi Ramadhan. Berisi tentang hadits-hadits yang berhubungan dengan ramadhan. Tentang ibadah-ibadah di bulan Ramadhan dan keutamaan-keutamaannya.
  22. Ahsanu al-Kalam fi Ma Yata’allaqu bi Syaini al-‘id min al-Fadoili wa la-Ahkam. Berisi tentang hal-hal yang berhubungan dengan sholat id, baik mengenai keutamaan ataupun hukumnya.
  23.  Irshadu al-Mu’minin Ila Sirati Sayyid al-Mursalin. Berisi tentang ringkasan kisah perjalanan kehidupan Nabi daan para sahabat.
  24. Al-Manasik al-Shugra li Qasidi Ummi al-Qura. Risalah ini tentang haji dan umroh dan hal-hal yang diwajibkan didalamnya.
  25. Jami’ah al-MAqasid fi Bayani Mabadi al-Tauhid wa al-Fiqh wa al-Tasawuf li al-Murid. Berisi tentang kaidah-kaidah agama islam, pokok-pokok tasawuf dan cara berwusul kepada Allah.

Hampir semua karya Hadratussyaikh ditulis dalam bahasa Arab. Dalam kehidupan sehari-hari pun beliau lebih banyak menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi, terutama saat berbincang dengan sesame kiai, putra-putranya, dan para santri. Namun banyak di antara karya-karya tersebut kini sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun