Mohon tunggu...
Nindira Aryudhani
Nindira Aryudhani Mohon Tunggu... Full time mom and housewife -

Full Time Mom and Housewife

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

'Mengasinkan' Kembali Produksi Garam Lokal

29 Juli 2017   09:42 Diperbarui: 29 Juli 2017   09:51 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekik ramai mahalnya harga garam akibat impor, tentu membuat bertanya-tanya. Indonesia sebagai negeri bahari dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, apakah lautnya sudah tak asin lagi? Lalu, pantaskah negeri kita yang dengan potensi besar tersebut sampai harus melakukan impor garam?

Mendalami peristiwa pergaraman ini, setidaknya dapat dikaji dari tiga sisi. Pertama, perubahan kebijakan impor garam. Kedua, kebijakan impor garam merugikan petani garam. Ketiga, teknologi produksi garam dalam rangka agregasi jumlah produksi lokal yang berkualitas.

Menengok kebijakan pergaraman dalam negeri, harus diakui, memang ironis. Di satu sisi, memang ada perubahan kebijakan tentang impor garam. Dari sisi jenisnya, garam industri memang dibedakan dengan garam konsumsi. Impor garam industri sebelumnya memerlukan rekomendasi Kementerian Perindustrian, sementara rekomendasi garam konsumsi dari KKP. Setelah ada regulasi baru, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Negara, izin impor dikeluarkan oleh KKP. Namun saat itu, rekomendasi izin impor garam oleh KKP tidak membedakan antara garam konsumsi dan garam industri. Maka, kemudian diputuskan bahwa wewenang impor garam industri untuk Kemendag saja, tanpa ada keterlibatan rekomendasi KKP. Yang mana, sebagian besar garam impor adalah garam industri.

Kebutuhan garam industri mencapai 2,3 juta ton setahun. Kebutuhan ini masih bergantung pada impor karena produksi dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan garam industri. Ini karena, garam produksi dalam negeri dianggap masih kurang murni kualitasnya. Kandungan NaCl garam dalam negeri disebutkan masih di bawah 94,7%. Sementara untuk garam industri, menghendaki kandungan air maksimal 0,5% dan kandungan NaCl minimal 98%. Yang mana, jenis garam yang demikian hanya dapat dipenuhi oleh impor.

Namun tak dapat dipungkiri pula, bahwa di sisi lain, ternyata kebijakan impor garam merugikan petani garam. Padahal, harga garam lokal di sejumlah wilayah, seperti di ibukota, Bogor, Sukabumi, beberapa kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Bali, melonjak hingga dua kali lipat. Di Karawang, harga garam melonjak hingga sepuluh kali lipat, yang terdampak adalah usaha industri ikan asin dan bandeng.

Naiknya harga garam, alasan pedagang, karena pasokan dari produsen menipis, bahkan kosong. Karena sepanjang 2016 lalu, curah hujan tak menentu. Ini berakibat pada tersendatnya panen garam; yang jika hujan, panen pun gagal. Disamping itu, memang akibat impor juga. Ini sebagaimana pernyataan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi, bahwa KKP perlu berhati-hati menetapkan volume impor mengingat isu perembesan garam industri ke pasar garam konsumsi yang santer selama ini. Setahun lalu, sekitar September 2016, harga garam di pasaran pernah mengalami penurunan dari Rp 700 per kilogram menjadi Rp 500 per kilogram. Penurunan harga ini karena adanya impor garam dari India dan Australia.

Akibatnya, demi memperoleh keuntungan lebih banyak, ada petani garam yang beralih dari produksi garam rakyat untuk konsumsi, ke produksi garam untuk spa. Dengan alasan, garam untuk spa harganya bisa mencapai tiga kali lipat harga garam konsumsi. Disamping itu, kualitas garam untuk spa juga dipastikan lebih baik, karena untuk kecantikan dan perawatan tubuh. Padahal jika ditilik lagi, di tengah-tengah masyarakat, lebih utama mana garam dapur dibandingkan garam spa? Berapa jumlah rakyat yang langganan spa dengan yang membutuhkan garam untuk konsumsi? Dan benarkah petani garam dalam negeri tidak mampu memproduksi garam berkualitas baik, yang juga sebagaimana dibutuhkan oleh industri? Toh faktanya, petani garam sebenarnya mampu memproduksi garam berkualitas baik. Hanya saja, sasarannya untuk industri spa, bukan industri publik seperti sektor petrokimia.

Selanjutnya, teknologi produksi garam. Pada 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melansir realisasi produksi garam mencapai nasional 2,8 juta ton atau naik dibandingkan pada 2014 yang hanya mencapai 2,5 juta ton. Lalu, benarkah tidak ada teknologi yang mampu membantu petani garam tradisonal untuk memperbaiki pola dan kualitas produksi garam? Sebenarnya, teknologi geomembran telah cukup menjadi jawaban.

Namun, banyak petani masih terkendala biaya untuk menggunakan teknologi ini, dengan alasan perlu modal besar, minimal sekitar Rp 24 juta. Meski pemerintah melalui KKP telah menyalurkan bantuan plastik geomembran kepada petani garam tradisional di sejumlah daerah, nyata-nya bantuan tersebut belum tepat guna. Disamping faktor cuaca yang masih menjadi penentu utama proses kelancaran produksi garam, jumlah plastik geomembran yang diperbantukan juga kurang memadai dengan luas area tambak garam.

Adapun, luas lahan saat ini tercatat 26.000 ha dengan asumsi produktivitas lahan rata-rata 75 ton/ha, maka produksi garam hanya sekitar 1,95 juta ton per tahun. Asosiasi pengusaha mengemukakan, klaim peningkatan produksi garam oleh pemerintah berpengaruh terhadap pengaturan distribusi garam lokal. Dia menambahkan produksi garam dalam negeri potensial mampu memenuhi kualifikasi industri apabila proses dan teknologi yang dimiliki oleh petani lokal bisa dikembangkan.

Jika teknologi geomembran program pemerintah berjalan dan manajemen air berlangsung baik, maka produktivitas dapat terkerek menjadi 100 ton per ha. Di sisi lain, pemerintah memasang target produksi garam rakyat 3,2 juta ton tahun ini. Saat dimintai keterangan, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi berujar target tahun ini sesungguhnya sudah lebih rendah dari tahun lalu yang dipatok 3,6 juta ton. Brahmantya menuturkan target produksi tahun ini dipasang setelah pemerintah melakukan audit kembali lahan tambak garam rakyat. Dari hasil pemeriksaan itu, tambak garam yang tadinya dilaporkan 29.000 ha, kini menjadi 24.000 ha. Tahun 2016 memang ada yang berubah dari tambak garam menjadi tambak yang lain.

Di tengah optimisme pemerintah menargetkan produksi garam rakyat 2017 sebanyak 3,2 juta ton, petambak mematok hanya 1,9 juta ton, jika cuaca tahun ini lebih bersahabat dari tahun lalu. Menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin, produksi tahun ini bisa mengulang realisasi 2015 dengan kenaikan 10% jika cuaca normal alias curah hujan berkurang memasuki semester II. APGRI mencatat produksi garam rakyat dua tahun lalu 1,7 juta ton. Estimasi APGRI itu didasarkan pada produktivitas setiap hektare 80 ton.

Pemerintah tahun ini akan mengembangkan pusat usaha garam rakyat (Pugar) di 15 kota setelah tahun lalu melaksanakannya di 14 kota dengan membangun 10.385 m jalan produksi dan menyalurkan 489.040,9 m2 geomembran. KKP juga akan membangun enam lagi gudang garam berkapasitas masing-masing 2.000 ton dengan anggaran Rp 1,8 miliar - Rp 2 miliar per gudang. Gudang untuk mendukung program resi gudang itu akan dibangun di Rembang, Brebes, Sampang, Demak, Tuban, dan Kupang. Tahun lalu, KKP juga membangun enam gudang di Indramayu, Pati, Pamekasan, Cirebon, Pangkep, dan Bima. Petambak dapat menyimpan hasil produksinya di gudang itu dan faktur resi nantinya dapat berfungsi sebagai jaminan untuk mengajukan kredit perbankan. KKP mencatat kemerosotan produksi garam tahun lalu terjadi akibat anomali cuaca yang disebabkan oleh La Nina dengan curah hujan tinggi yang mencapai lebih dari 150 mm per bulan, bahkan 300 mm per bulan di beberapa tempat.

Berdasarkan tiga uraian di atas, benarkah petani garam tradisional melulu gagap teknologi? Rasanya tidak. Pasalnya, wacana kebijakan pemerintah untuk petani garam tradisional berjudul "bantuan", bukan "fasilitas". Dalam wacana "bantuan", jika terdapat kendala modal, itu bukan tanggung jawab pemerintah. Jadi para petani tersebut dipersilakan memenuhi sisa kekurangan modalnya sendiri.

Lalu, wajarkah impor?

Untuk menyelesaikan permasalahan garam secara nasional, Pemerintah perlu membenahi sektor hulu dan hilir. Dari keseluruhan area produksi garam lokal di Indonesia, diperkirakan mampu memenuhi target kebutuhan garam di dalam negeri, baik untuk konsumsi maupun industri. Target ini dapat dicapai dengan memperbaiki data produksi dan mendorong industrialisasi garam. Kemudian, Pemerintah mendorong PT Garam berperan menyerap garam produksi petambak lokal, lalu menjual garam lokal kepada industri pengolahan garam yang menggunakan teknologi tinggi, yang sangat mungkin lebih canggih daripada geomembran. Semua demi meningkatkan kualitas produksi garam lokal.

Deputi II Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono optimistis Indonesia bisa swasembada garam pada 2017. Indonesia memiliki banyak wilayah yang berpotensi mendorong program nasional ini. Agung mengajak, para petani garam untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam nasional. Ditambah lagi upaya dari KKP untuk membantu meningkatkan kualitas garam milik petani. Dengan peningkatan kualitas garam diharapkan produksi garam tidak hanya untuk konsumsi, tapi juga untuk industri. Agung menyebutkan, kebutuhan garam nasional sekitar 4 juta ton. Jumlah itu terdiri atas garam industri sekitar 2 juta ton dan garam konsumsi sebesar 2 juta ton. Sedangkan produksi garam nasional mencapai 3,8 juta ton yang terdiri atas garam rakyat 3,1 juta ton dan PT Garam 700 ribu ton.

Untuk memenuhi kebutuhan industri, yang mengharuskan kualitas garam yang baik, namun saat ini dikatakan bahwa garam berkualitas baik tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Padahal realitanya, petani garam tradisional sesungguhnya mampu memproduksi garam berkualitas baik, misalnya saat mendapatkan order dari rumah-rumah spa tersebut.

Namun untuk mencapai target tersebut, ada satu kunci. Yaitu, para petani garam harus mendapatkan political will yang memadai dari pemerintah. Pemerintah perlu melakukan agregasi secara serius dalam produksi garam lokal. Yakni dengan mengelaborasi antara teknologi, penyediaan modal kepada petani garam, dan pengendalian impor. Pemerintah juga seharusnya tak perlu gentar dengan sebutan "rakyat ingin gratisan". Karena mengelola dan memfasilitasi segala urusan rakyat memang sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.

Impor memang boleh-boleh saja di kala kondisi mendesak. Namun, hendaklah impor bersifat jangka pendek. Jika impor berlarut-larut, maka itu terkategori ketergantungan impor. Ini justru menunjukkan, meski hanya dalam urusan garam, political will negara masih lemah. Garam, bagaimana pun adalah sumberdaya milik rakyat. Jadi seyogyanya, pengelolaan garam diprioritaskan untuk kebutuhan primer rakyat. Karenanya, sungguh penting agar prioritas produksi garam lokal dapat distok untuk konsumsi dan industri. Karena kedua sektor tersebut adalah kebutuhan primer. Sedangkan untuk spa, adalah kebutuhan sekunder atau tersier.

Sekali lagi, terlalu ironis jika garam impor, di balik mimpi besar swasembada garam 2017. Di sinilah penting dan gentingnya peran negara, yaitu sebagai pengatur, pengelola, dan pelaksana urusan-urusan kerakyatan. Urusan ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan oleh para petani garam. Jika kualitas garam lokal terus tertinggal dibandingkan garam impor, sehingga pemerintah terus-menerus membuka keran impor garam demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka dalam jangka panjang para petani garam akan terpinggirkan, bahkan akan merugikan petani.

Jadi, meski hanya dalam perkara masakan asin dan kurang asin, perlu peran negara secara sungguh-sungguh untuk mengembalikan "asin"-nya produksi garam lokal. Agar garam tak jadi "hambar". Agar kita tak melulu impor. Karena bagaimana pun, garam adalah sumberdaya milik rakyat. Segala pengelolaan kemanfaatan dari sumberdaya tersebut, harus dikembalikan untuk sebaik-baik kepentingan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun