Mohon tunggu...
Nindira Aryudhani
Nindira Aryudhani Mohon Tunggu... Full time mom and housewife -

Full Time Mom and Housewife

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

'Mengasinkan' Kembali Produksi Garam Lokal

29 Juli 2017   09:42 Diperbarui: 29 Juli 2017   09:51 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah optimisme pemerintah menargetkan produksi garam rakyat 2017 sebanyak 3,2 juta ton, petambak mematok hanya 1,9 juta ton, jika cuaca tahun ini lebih bersahabat dari tahun lalu. Menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin, produksi tahun ini bisa mengulang realisasi 2015 dengan kenaikan 10% jika cuaca normal alias curah hujan berkurang memasuki semester II. APGRI mencatat produksi garam rakyat dua tahun lalu 1,7 juta ton. Estimasi APGRI itu didasarkan pada produktivitas setiap hektare 80 ton.

Pemerintah tahun ini akan mengembangkan pusat usaha garam rakyat (Pugar) di 15 kota setelah tahun lalu melaksanakannya di 14 kota dengan membangun 10.385 m jalan produksi dan menyalurkan 489.040,9 m2 geomembran. KKP juga akan membangun enam lagi gudang garam berkapasitas masing-masing 2.000 ton dengan anggaran Rp 1,8 miliar - Rp 2 miliar per gudang. Gudang untuk mendukung program resi gudang itu akan dibangun di Rembang, Brebes, Sampang, Demak, Tuban, dan Kupang. Tahun lalu, KKP juga membangun enam gudang di Indramayu, Pati, Pamekasan, Cirebon, Pangkep, dan Bima. Petambak dapat menyimpan hasil produksinya di gudang itu dan faktur resi nantinya dapat berfungsi sebagai jaminan untuk mengajukan kredit perbankan. KKP mencatat kemerosotan produksi garam tahun lalu terjadi akibat anomali cuaca yang disebabkan oleh La Nina dengan curah hujan tinggi yang mencapai lebih dari 150 mm per bulan, bahkan 300 mm per bulan di beberapa tempat.

Berdasarkan tiga uraian di atas, benarkah petani garam tradisional melulu gagap teknologi? Rasanya tidak. Pasalnya, wacana kebijakan pemerintah untuk petani garam tradisional berjudul "bantuan", bukan "fasilitas". Dalam wacana "bantuan", jika terdapat kendala modal, itu bukan tanggung jawab pemerintah. Jadi para petani tersebut dipersilakan memenuhi sisa kekurangan modalnya sendiri.

Lalu, wajarkah impor?

Untuk menyelesaikan permasalahan garam secara nasional, Pemerintah perlu membenahi sektor hulu dan hilir. Dari keseluruhan area produksi garam lokal di Indonesia, diperkirakan mampu memenuhi target kebutuhan garam di dalam negeri, baik untuk konsumsi maupun industri. Target ini dapat dicapai dengan memperbaiki data produksi dan mendorong industrialisasi garam. Kemudian, Pemerintah mendorong PT Garam berperan menyerap garam produksi petambak lokal, lalu menjual garam lokal kepada industri pengolahan garam yang menggunakan teknologi tinggi, yang sangat mungkin lebih canggih daripada geomembran. Semua demi meningkatkan kualitas produksi garam lokal.

Deputi II Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono optimistis Indonesia bisa swasembada garam pada 2017. Indonesia memiliki banyak wilayah yang berpotensi mendorong program nasional ini. Agung mengajak, para petani garam untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam nasional. Ditambah lagi upaya dari KKP untuk membantu meningkatkan kualitas garam milik petani. Dengan peningkatan kualitas garam diharapkan produksi garam tidak hanya untuk konsumsi, tapi juga untuk industri. Agung menyebutkan, kebutuhan garam nasional sekitar 4 juta ton. Jumlah itu terdiri atas garam industri sekitar 2 juta ton dan garam konsumsi sebesar 2 juta ton. Sedangkan produksi garam nasional mencapai 3,8 juta ton yang terdiri atas garam rakyat 3,1 juta ton dan PT Garam 700 ribu ton.

Untuk memenuhi kebutuhan industri, yang mengharuskan kualitas garam yang baik, namun saat ini dikatakan bahwa garam berkualitas baik tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Padahal realitanya, petani garam tradisional sesungguhnya mampu memproduksi garam berkualitas baik, misalnya saat mendapatkan order dari rumah-rumah spa tersebut.

Namun untuk mencapai target tersebut, ada satu kunci. Yaitu, para petani garam harus mendapatkan political will yang memadai dari pemerintah. Pemerintah perlu melakukan agregasi secara serius dalam produksi garam lokal. Yakni dengan mengelaborasi antara teknologi, penyediaan modal kepada petani garam, dan pengendalian impor. Pemerintah juga seharusnya tak perlu gentar dengan sebutan "rakyat ingin gratisan". Karena mengelola dan memfasilitasi segala urusan rakyat memang sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.

Impor memang boleh-boleh saja di kala kondisi mendesak. Namun, hendaklah impor bersifat jangka pendek. Jika impor berlarut-larut, maka itu terkategori ketergantungan impor. Ini justru menunjukkan, meski hanya dalam urusan garam, political will negara masih lemah. Garam, bagaimana pun adalah sumberdaya milik rakyat. Jadi seyogyanya, pengelolaan garam diprioritaskan untuk kebutuhan primer rakyat. Karenanya, sungguh penting agar prioritas produksi garam lokal dapat distok untuk konsumsi dan industri. Karena kedua sektor tersebut adalah kebutuhan primer. Sedangkan untuk spa, adalah kebutuhan sekunder atau tersier.

Sekali lagi, terlalu ironis jika garam impor, di balik mimpi besar swasembada garam 2017. Di sinilah penting dan gentingnya peran negara, yaitu sebagai pengatur, pengelola, dan pelaksana urusan-urusan kerakyatan. Urusan ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan oleh para petani garam. Jika kualitas garam lokal terus tertinggal dibandingkan garam impor, sehingga pemerintah terus-menerus membuka keran impor garam demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka dalam jangka panjang para petani garam akan terpinggirkan, bahkan akan merugikan petani.

Jadi, meski hanya dalam perkara masakan asin dan kurang asin, perlu peran negara secara sungguh-sungguh untuk mengembalikan "asin"-nya produksi garam lokal. Agar garam tak jadi "hambar". Agar kita tak melulu impor. Karena bagaimana pun, garam adalah sumberdaya milik rakyat. Segala pengelolaan kemanfaatan dari sumberdaya tersebut, harus dikembalikan untuk sebaik-baik kepentingan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun