Muqodimah
Beberapa waktu lalu, Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa, menyampaikan kebijakan baru. Yakni adanya dana sebagai bagian Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditujukan bagi ibu hamil dan yang mempunyai balita, masing-masing sebesar Rp 1,2 juta. Dana tersebut, menurut Khofifah, akan diterima setahun empat kali pencairan. Pada kesempatan yang sama, Khofifah menyatakan pihak lain sesama penerima PKH. Yaitu yang mempunyai anak usia sekolah dasar (SD) mendapatkan Rp 450 ribu, SMP Rp 750 ribu, SMA dan sederajat mendapat Rp 1 juta. Dana PKH tahap pertama itu akan dibagikan Maret 2016 [1].
Khofifah juga menegaskan, kementeriannya telah melakukan validasi data penerima. Dari hasil validasi tersebut, diketahui terdapat tambahan data penerima. Sebelumnya, jumlah penerima PKH hanya 2,5 juta, sekarang ada 3,5 juta orang, sehingga totalnya ada 6 juta penerima PKH pada 2016. Tambahan tersebut berasal dari data orang dengan kecacatan berat (ODKB) yang berjumlah 163.000 di seluruh Indonesia. Selain itu, juga terdapat penerima dari lansia berusia 70 tahun ke atas, yang berada dalam kondisi ekonomi kurang mampu. Ia mengatakan, secara total anggaran untuk PKH 2016 adalah Rp 3,15 triliun yang diberikan untuk seluruh penerima PKH di Indonesia. “Insya Allah, Maret mulai cair dananya,” ujarnya [1].
Dana PKH tersebut dapat diambil di kantor pos terdekat, sesuai dengan waktu pengambilan. Ia juga meminta masyarakat tidak perlu khawatir ada penyimpangan, sebab bantuan langsung tersebut diberikan kepada penerima langsung [1].
Selayang Pandang PKH (Program Keluarga Harapan)
PKH (Program Keluarga Harapan) adalah program pemberian uang tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan dengan melaksanakan kewajibannya. Program semacam ini secara internasional dikenal sebagai program conditional cash transfers (CCT)atau program Bantuan Tunai Bersyarat. Persyaratan tersebut dapat berupa kehadiran di fasilitas pendidikan (misalnya bagi anak usia sekolah), ataupun kehadiran di fasilitas kesehatan (misalnya bagi anak balita, atau bagi ibu hamil) [2].
PKH adalah program perlindungan sosial yang dalam jangka pendek bertujuan mengurangi beban RTSM dan dalam jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi, sehingga generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan. Pelaksanaan PKH juga mendukung upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals,MDGs). Lima komponen MDGs yang akan terbantu oleh PKH yaitu: pengurangan penduduk miskin dan kelaparan; pendidikan dasar; kesetaraan gender; pengurangan angka kematian bayi dan balita; pengurangan kematian ibu melahirkan [2].
Teknis pelaksanaan program ini didasarkan pada 3 hal. Pertama, verifikasi, yang merupakan esensi utama dari PKH. Kegiatan verifikasi mengecek kepatuhan peserta memenuhi persayaratan yang telah ditetapkan. Kedua, PKH melaksanakan pemotongan bantuan tunai bagi keluarga yang tidak mematuhi kewajiban yang telah ditetapkan. Peserta PKH mengetahui persis bahwa mereka harus memenuhi sejumlah kewajiban untuk dapat menerima bantuan tunai. Peserta adalah elemen penting dalam program ini. Pengetahuan atas kewajiban ini yang menjadi dasar perubahan perilaku keluarga dan anggota keluarga di bidang pendidikan dan kesehatan. Ketiga, peserta PKH mengetahui persis bahwa mereka harus memenuhi sejumlah kewajiban untuk dapat menerima bantuan tunai. Peserta adalah elemen penting dalam program ini. Pengetahuan atas kewajiban ini yang menjadi dasar perubahan perilaku keluarga dan anggota keluarga di bidang pendidikan dan kesehatan [2].
Tujuan PKH adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mengubah perilaku yang kurang mendukung peningkatan kesejahteraan dari kelompok paling miskin. Tujuan ini berkaitan langsung dengan upaya mempercepat pencapaian target MDGs. Secara khusus, tujuan PKH adalah: pertama, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi peserta PKH; kedua, meningkatkan taraf pendidikan peserta PKH; ketiga, meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil (bumil), ibu nifas, bawah lima tahun (balita) dan anak prasekolah anggota Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM)/Keluarga Sangat Miskin (KSM) [2].
Sasaran PKH
Sampai dengan tahun 2014, ditargetkan cakupan PKH adalah sebesar 3,2 juta keluarga. Sasaran PKH yang sebelumnya berbasis Rumah Tangga, terhitung sejak saat tersebut berubah menjadi berbasis Keluarga. Perubahan ini untuk mengakomodasi prinsip bahwa keluarga (yaitu orang tua–ayah, ibu–dan anak) adalah satu orang tua memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan masa depan anak. Karena itu keluarga adalah unit yang sangat relevan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam upaya memutus rantai kemiskinan antar generasi. Beberapa keluarga dapat berkumpul dalam satu rumah tangga yang mencerminkan satu kesatuan pengeluaran konsumsi (yang dioperasionalkan dalam bentuk satu dapur) [2].
PKH diberikan kepada Keluarga Sangat Miskin (KSM). Data keluarga yang dapat menjadi peserta PKH didapatkan dari Basis Data Terpadu dan memenuhi sedikitnya satu kriteria kepesertaan program berikut, yaitu memiliki ibu hamil/nifas/anak balita, memiliki anak usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan dasar (anak pra sekolah), anak usia SD/MI/Paket A/SDLB (usia 7-12 tahun), anak SLTP/MTs/Paket B/SMLB (Usia 12-15), anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar termasuk anak dengan disabilitas. Seluruh keluarga di dalam suatu rumah tangga berhak menerima bantuan tunai apabila memenuhi kriteria kepesertaan program dan memenuhi kewajibannya [2].
Ketika awalnya dilaksanakan sebagai suatu kegiatan uji coba di tahun 2007, PKH dijalankan di 7 (tujuh) provinsi, 48 kabupaten/kota, dan melayani 387.928 RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin). Pada tahun 2011, pelaksanaan PKH telah dikembangkan di 25 provinsi, 118 kabupaten/kota, dan melayani 1,1juta RSTM [2].
Pada tahap perluasan, PKH akan dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah penerima manfaat (beneficiaries), atau peserta PKH akan ditingkatkan secara bertahap hingga menjangkau seluruh keluarga dalam rumah tangga sangat miskin (RTSM), dengan menyesuaikan kemampuan negara. Hingga tahun 2014 peserta PKH ditargetkan sebesar 3,2 juta Keluarga Sangat Miskin (KSM) [2].
Bantuan dana tunai PKH diberikan kepada ibu atau perempuan dewasa (nenek, bibi atau kakak perempuan) dan selanjutnya disebut Pengurus Keluarga. Dana yang diberikan kepada pengurus keluarga perempuan ini telah terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penerima bantuan. Pengecualian dari ketentuan diatas dapat dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya bila tidak ada perempuan dewasa dalam keluarga maka dapat digantikan oleh kepala keluarga. Sebagai bukti kepesertaan PKH, KSM diberikan Kartu Peserta PKH. Uang bantuan dapat diambil oleh Pengurus Keluarga di Kantor Pos terdekat dengan membawa Kartu Peserta PKH dan tidak dapat diwakilkan. Sebagian peserta PKH menerima bantuan melalui rekening bank (BRI) [2].
Hak peserta PKH adalah menerima bantuan uang tunai; menerima pelayanan kesehatan (ibu dan bayi) di Puskemas, Posyandu, Polindes, dan lain-lain sesuai ketentuan yang berlaku; menerima pelayanan pendidikan bagi anak usia wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu, kewajiban peserta PKH agar memperoleh bantuan tunai, mereka diwajibkan memenuhi persyaratan dan komitmen untuk ikut berperan aktif dalam kegiatan pendidikan anak dan kesehatan keluarga, terutama ibu dan anak [2].
Mekanisme Pelaksanaan PKH
Seluruh anggota rumah tangga yang menjadi penerima bantuan PKH, diharuskan menjalankan kewajiban sebagai peserta PKH. Apabila peserta PKH tidak memenuhi kewajiban atas syarat kepersertaan dalam tiga bulan, maka akan dilakukan pengurangan pembayaran bantuan tunai, bahkan dapat dihentikan. Pemotongan langsung dikenakan terhadap total bantuan pada periode tersebut. Penggunaan bantuan tidak diatur dan ditentukan, tetapi diprioritaskan untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Penggunaan bantuan tidak diperbolehkan untuk konsumsi yang merugikan hak anak seperti rokok, minuman keras, judi dan lainnya. Mengingat bahwa besaran bantuan PKH telah berjalan selama hampir 5 tahun, maka pada tahun-tahun mendatang besaran bantuan ini akan dievaluasi dan disesuaikan dengan tingkat harga dan kemampuan keuangan negara [2].
Peserta PKH juga berhak mendapatkan layanan program Bantuan Sosial secara terintegrasi. Karena peserta PKH merupakan kelompok yang paling miskin, maka idealnya peserta PKH juga secara otomatis mendapatkan program lainnya seperti Jaminan Kesehatan, Bantuan Pendidikan bagi Siswa Miskin, Beras untuk Rumah Tangga Miskin, dan lainnya. Siswa dari Rumah Tangga peserta PKH seharusnya mendapatkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM).Hal ini telah dicantumkan di dalam Pedoman Umum BSM Kemendikbud dan Kemenag. Selain itu sudah ada Surat Edaran dari Dirjen Pendidikan Islam No: Dj.1/PP.04/51.2014, Kementerian Agama mengenai Prioritas anak peserta PKH untuk memperoleh BSM dari Kemenag [2].
Meski PKH termasuk program jangka panjang, namun kepesertaan PKH tidak akan bersifat permanen. Kepesertaan penerima bantuan PKH selama enam tahun selama mereka masih memenuhi persyaratan yang ditentukan, apabila tidak ada lagi persyaratan yang mengikat maka mereka harus keluar secara alamiah (Natural Exit). Untuk peserta PKH yang tidak keluar alamiah, setelah enam tahun diharapkan terjadi perubahan perilaku terhadap peserta PKH dalam bidang pendidikan, kesehatan dan peningkatan status sosial ekonomi. Pada tahun kelima kepesertaan PKH akan dilakukan resertifikasi. Resertifikasi adalah kegiatan pendataan ulang yang dilakukan pada tahun kelima kepesertaan rumah tangga dengan menggunakan metode tertentu [2].
Pelaksanaan resertifikasi pada tahun kelima kepesertaan PKH dilakukan dengan melihat kondisi sosial ekonomi serta syarat kepesertaan rumah tangga PKH. Rumah tangga yang tidak memenuhi persyaratan akan keluar dari program (Lulus), sementara itu untuk mereka yang masih memenuhi persyaratan akan menerima tambahan program selama tiga tahun (Transisi). Rumah Tangga yang Lulus (Graduasi) direkomendasikan untuk menerima program perlindungan sosial lainnya. Rumah Tangga Transisi diwajibkan untuk mengikuti kegiatan Pertemuan Peningkatan Kemampuan keluarga (P2K2) dengan memperoleh pengetahuan mengenai; Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga [2].
PKH, Kedok Kedermawanan Pemerintah
Sederet persyaratan, berikut konsekuensi yang terikut dalam PKH, sejatinya menunjukkan bahwa kebijakan ini berlandaskan pada asas kemanfaatan. Sebagai salah satu kebijakan produk sistem demokrasi-kapitalisme, nafas PKH justru sarat deal-deal semata. Ibarat kata, hubungan pemerintah dengan rakyat bagaikan hubungan kontrak atau perjanjian. Dimana pemerintah berkuasa menentukan pihak mana saja yang dibantu, dan pihak mana saja yang bantuannya harus dihentikan. Seyogyanya, tidak demikian.
Memang, dalam PKH, perempuan adalah penerima dana tunainya. Statusnya sebagai Pengurus Keluarga, jelas memungkinkannya menjadi pihak pengatur keuangan keluarga. Tapi bayangkan, andai keluarga yang diampunya sudah tak layak atau tak lagi memenuhi persyaratan peserta PKH, tentu dana PKH tersebut akan terhenti.
PKH memang bukan sumber ekonomi utama keluarga. Tapi saksikanlah, sungguh di luar sana ada neoliberalisasi telah menunjukkan makin parahnya himpitan ekonomi nasional. Harga bahan pangan rawan lonjakan, belum lagi yang lain seperti tarif listrik dan BBM yang tak tentu arah, pun biaya kesehatan dan pendidikan yang makin melejit. Semua ini sangat berpeluang menguras gaji suami.
Maka, andai mereka tak lagi menerima dana PKH tersebut, tidakkah pengaturan ekonomi rumah tangga sedikit banyak turut terguncang? Jika demikian, bagaimana biduk ekonomi keluarga akan mulus berlayar? Lantas, apakah perempuan yang tadinya berperan penuh sebagai ibu rumah tangga ini tega berdiam diri tanpa mampu menghasilkan uang? Pasti tak tega.
Dan tak pelak, tuntutan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga akan menarik kaum perempuan keluar dari sektor domestik agar bekerja di sektor publik. Konsentrasi dan kinerjanya akan terbagi, antara mengurus keluarga dan bekerja. Padahal hukum Islam tentang bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh). Jadi perempuan boleh bekerja, boleh juga tidak bekerja. Tapi bayangkan jika ia perempuan yang tengah hamil atau mempunyai balita, sementara karena tuntutan ekonomi mengharuskannya bekerja, bukankah seluruh anggota keluarga turut dipertaruhkan? Dan ini akan berimplikasi pada ketahanan keluarga hingga menjadi rawan tergoyahkan.
Bagaimana pun, perempuan, khususnya sebagai ibu dan pengurus keluarga, adalah sutradara bagi kelangsungan mahligai rumah tangga. Pada dirinyalah muara kasih sayang. Di tangannyalah fase pengasuhan dan pendidikan anak diselenggarakan. Dalam tanggung jawabnyalah pengaturan urusan rumah tangga tertuang.
Karenanya, posisi dan peran perempuan dalam keluarga seharusnya dilindungi. Dilindungi secara hakiki, bahwa mengurus keluarga adalah peran utama kaum perempuan sebagaimana yang diperintahkan Islam. Juga dilindungi secara materi, bahwa kaum perempuan adalah tulung rusuk suami, untuk disayangi dan dihormati. Maka, jangan jadikan ia sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Artinya, konsep nafkah bagi perempuan telah digariskan dengan jelas oleh Islam. Bahwa nafkah seorang perempuan dapat ditanggung oleh empat pihak, yaitu ayahnya, suaminya, anak laki-lakinya, dan saudara laki-lakinya. Jika keempat pihak ini juga tak mampu secara ekonomi, maka tanggung jawab nafkah itu diserahkan kepada negara.
Dalam hal ini seharusnya pemerintah sadar betul, bahwa posisinya sebagai penguasa adalah berperan mengurus rakyat. Pemerintah bertanggung jawab atas hajat hidup rakyatnya, pun kaum perempuan. Dan sungguh, hubungannya dengan rakyat bukan dua arah sebagaimana hubungan muamalah. Hubungannya justru hanya satu arah, yaitu dari pemerintah untuk rakyat. Dalam Islam, hubungan ini bahkan berlaku tanpa syarat.
Tinjauan Islam mengenai peran negara dalam akomodasi urusan masyarakat, diriwayatkan Ahmad dan al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia mendengar Nabi saw. pernah bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Apakah hubungan satu arah ini dapat diharapkan dari sistem demokrasi-kapitalisme yang tegak di negeri ini? Rasanya tidak. Politik dalam sistem demokrasi-kapitalisme adalah based on profit, bukan murni pengurusan urusan rakyat.
Khatimah
Dari sini jelas, bahwa kebijakan perlindungan sosial semacam PKH, hanyalah kedok untuk menutupi status berlepas tangannya pemerintah pada peran asasinya. Hubungan pemerintah terhadap rakyat bukan hubungan perlindungan sosial, apalagi kedermawanan. Tapi hubungan pengurusan urusan rakyat itu sesungguhnya adalah kewajiban. Yang jika pemerintah berlepas tangan, itu artinya pemerintah melakukan kezhaliman.
Bertolak dari itu semua, kepada seluruh kaum Muslimin, mari berjuang menegakkan Khilafah, sebagai model terbaik negara yang menyejahterakan. Khilafah memiliki mekanisme pengaturan berekonomi berdasarkan prinsip hukum Islam yang terbukti dalam kurun 13 abad mampu mewujudkan kesejahteraan secara material. Hanya dengan tegaknya Khilafah, sistem demokrasi-kapitalisme-liberal bisa dicampakkan. Kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah di akhir zaman diberitakan Rasulullaah saw: “Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim). Aamiin.
Wallaahu a’lam bish showab [].
Pustaka:
[2] http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-i/program-keluarga-harapan-pkh/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H