Sederet persyaratan, berikut konsekuensi yang terikut dalam PKH, sejatinya menunjukkan bahwa kebijakan ini berlandaskan pada asas kemanfaatan. Sebagai salah satu kebijakan produk sistem demokrasi-kapitalisme, nafas PKH justru sarat deal-deal semata. Ibarat kata, hubungan pemerintah dengan rakyat bagaikan hubungan kontrak atau perjanjian. Dimana pemerintah berkuasa menentukan pihak mana saja yang dibantu, dan pihak mana saja yang bantuannya harus dihentikan. Seyogyanya, tidak demikian.
Memang, dalam PKH, perempuan adalah penerima dana tunainya. Statusnya sebagai Pengurus Keluarga, jelas memungkinkannya menjadi pihak pengatur keuangan keluarga. Tapi bayangkan, andai keluarga yang diampunya sudah tak layak atau tak lagi memenuhi persyaratan peserta PKH, tentu dana PKH tersebut akan terhenti.
PKH memang bukan sumber ekonomi utama keluarga. Tapi saksikanlah, sungguh di luar sana ada neoliberalisasi telah menunjukkan makin parahnya himpitan ekonomi nasional. Harga bahan pangan rawan lonjakan, belum lagi yang lain seperti tarif listrik dan BBM yang tak tentu arah, pun biaya kesehatan dan pendidikan yang makin melejit. Semua ini sangat berpeluang menguras gaji suami.
Maka, andai mereka tak lagi menerima dana PKH tersebut, tidakkah pengaturan ekonomi rumah tangga sedikit banyak turut terguncang? Jika demikian, bagaimana biduk ekonomi keluarga akan mulus berlayar? Lantas, apakah perempuan yang tadinya berperan penuh sebagai ibu rumah tangga ini tega berdiam diri tanpa mampu menghasilkan uang? Pasti tak tega.
Dan tak pelak, tuntutan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga akan menarik kaum perempuan keluar dari sektor domestik agar bekerja di sektor publik. Konsentrasi dan kinerjanya akan terbagi, antara mengurus keluarga dan bekerja. Padahal hukum Islam tentang bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh). Jadi perempuan boleh bekerja, boleh juga tidak bekerja. Tapi bayangkan jika ia perempuan yang tengah hamil atau mempunyai balita, sementara karena tuntutan ekonomi mengharuskannya bekerja, bukankah seluruh anggota keluarga turut dipertaruhkan? Dan ini akan berimplikasi pada ketahanan keluarga hingga menjadi rawan tergoyahkan.
Bagaimana pun, perempuan, khususnya sebagai ibu dan pengurus keluarga, adalah sutradara bagi kelangsungan mahligai rumah tangga. Pada dirinyalah muara kasih sayang. Di tangannyalah fase pengasuhan dan pendidikan anak diselenggarakan. Dalam tanggung jawabnyalah pengaturan urusan rumah tangga tertuang.
Karenanya, posisi dan peran perempuan dalam keluarga seharusnya dilindungi. Dilindungi secara hakiki, bahwa mengurus keluarga adalah peran utama kaum perempuan sebagaimana yang diperintahkan Islam. Juga dilindungi secara materi, bahwa kaum perempuan adalah tulung rusuk suami, untuk disayangi dan dihormati. Maka, jangan jadikan ia sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Artinya, konsep nafkah bagi perempuan telah digariskan dengan jelas oleh Islam. Bahwa nafkah seorang perempuan dapat ditanggung oleh empat pihak, yaitu ayahnya, suaminya, anak laki-lakinya, dan saudara laki-lakinya. Jika keempat pihak ini juga tak mampu secara ekonomi, maka tanggung jawab nafkah itu diserahkan kepada negara.
Dalam hal ini seharusnya pemerintah sadar betul, bahwa posisinya sebagai penguasa adalah berperan mengurus rakyat. Pemerintah bertanggung jawab atas hajat hidup rakyatnya, pun kaum perempuan. Dan sungguh, hubungannya dengan rakyat bukan dua arah sebagaimana hubungan muamalah. Hubungannya justru hanya satu arah, yaitu dari pemerintah untuk rakyat. Dalam Islam, hubungan ini bahkan berlaku tanpa syarat.
Tinjauan Islam mengenai peran negara dalam akomodasi urusan masyarakat, diriwayatkan Ahmad dan al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia mendengar Nabi saw. pernah bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).